Rupiah Dan Inflasi

Tanggal 13 juni BI menaikan suku bunga teladan ( BI rate ) dari 5,75% menjadi 6%. Kemudian tanggal  11 juli kembali BI Rate naik 50 basis poin (bps) menjadi 6,5 persen. Suku bunga Fasilitas Simpanan BI juga naik 50 bps menjadi 4,75 persen, sementara suku bunga Lending Facility tetap 6,75 persen. Dipenghujung agustus ini kembali BI Rate naik sebesar 50 bps menjadi 7,00 persen, suku bunga Lending Facility (LF) sebesar 25 bps menjadi 7,00 persen, dan suku bunga Deposit Facility (DF) sebesar 50 bps menjadi 5,25 persen. Artinya dalam tiga bulan terjadi tiga kali kenaikan BI rate. Apa penyebabnya ? tentu sebagai reaksi pemerintah mengerem laju inflasi dan melorotnya rupiah.  Suku bunga yaitu instrument kebijakan menyerupai obat antibiotic, yang bisa pribadi dirasakan dampaknya bagi sisakit namun tidak menyembuhkan penyebab penyakit itu sendiri. Hanya problem waktu, penyebab penyakit itu akan tiba lagi. Begitupula dengan kenaikan suku bunga bukanlah instrument memperbaiki kurs mata uang dan inflasi. Kenaikan suku bunga hanya peredam gejolak saja. Yang niscaya bahwa kebijakan menaikkan suku bunga teladan yaitu tidak pro sektor riel. Ini semakin membuktikan keadaan sesungguhnya bahwa pemerintah tidak punya rasa percaya diri atas design pembangunan yang ada selama ini.  Pemerintah panic dan keliatan dibawah tekanan konspirasi para pemain uang dibursa.

Semua tahun bahwa kenaikan suku bunga akan berdampak kepada naiknya bunga deposito dan bunga simpanan masyarakat. Ini tentu sangat menguntungkan orang kaya yang menumpuk uang korupnya di perbankan. Disisi lain mendorong naiknya suku bunga pertolongan yang diberikan perbankan. Ini akan membebani sektor produksi dan dalam jangka panjang bisa menjadikan NPL, apalagi situasi pasar global yang menyusut dan jatuhnya harga komoditas utama Indonesia.  Masyarakat juga akan menanggung beban kenaikan bunga kredit pada pertolongan menyerupai perumahan dan kendaraan. Kredit konsumen kemungkinan besar terpengaruh. Menurunnya kredit konsumen akan menekan pula konsumsi masyarakat. Gejala perlambatan konsumsi domestik beberapa bulan terakhir dikhawatirkan akan terus berlangsung dan semakin menciptakan pertumbuhan ekonomi yang bersandar kepada konsumsi akan jatuh. Perlambatan pertumbuhan PDB yang terjadi pada paruh pertama 2013 bisa berlanjut pada tahun 2014. Efeknya ke penciptaan lapangan kerja. Situasi ini kian memberatkan masyarakat yang sekarang dihadapkan pada lonjakan harga. Bunga utang yang harus dibayar pemerintah juga meningkat dan semakin lemahnya daya dukung APBN untuk expansi social.

Dalam praktek selalu misal ; kalau suku bunga 7 % maka inflasi akan menjadi 14% dan bunga pertolongan bank akan sebesar 17 % ( selisihnya untuk margin bank). Sehatkah ini? Hasil penelitian Robert Shiler tahun 1997  bahwa 77 persen dari masyarakat yang di survey menyatakan bahwa inflasi mengganggu daya beli mereka dan menciptakan mereka lebih miskin. Jika inflasi menciptakan orang lebih miskin dan kita ketahui bahwa inflasi memiliki korelasi yang positif terhadap bunga, maka ini berarti bahwa “suku bunga menciptakan orang lebih miskin”. Dengan kata lain suku bunga merusak daya beli dan memiskinkan orang yang meminjam uang maupun yang tidak meminjam uang serta menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain “Inflasi = bunga” yaitu sama-sama menurunkan daya beli masyarakaat dan menjadikan masyarakat lebih miskin. Berdasarkan analisis Michael Lipton tahun 1992 menyimpulkan bahwa, semakin tinggi suku bunga maka semakin rendah insentif untuk menerapkan teknik pertanian yang memperhatikan konservasi lingkungan. Dari fakta ini, sanggup disimpulkan bahwa makin tinggi suku bunga maka makin besar kemungkinan rusaknya lingkungan dan akan semakin besar sumber daya yang dikuras, hasilnya akan semakin cepat bumi ini rusak.

Menurut aku sudah saatnya pemerintah tidak lagi menerapkan inflation targeting dalam kebijakan moneter dimana Inflasi dijaga terus rendah dengan menahan peredaran uang di masyarakat. Dan cara yang digunakan selalu sama, yakni menaikkan suku bunga. Biarkan saja rupiah  bergerak sesuai kehendak pasar. Sudah saatnya pemerintah untuk berani membuka borok yang selama ini disimpan rapat demi citra. Biarkan rakyat tahu bahwa inflasi kita dua digit. Berapapun inflasi tidak ada problem selagi rakyat bisa belanja dan barang tersedia. Berapapun nilai rupiah tidak ada problem selagi acara produksi terus berkembang. Karenanya sudah saatnya pemerintah focus kepada memperkuat neraca pembayaran dan neraca perdagangan. Ini bekerjasama dengan kebijakan sektor rill yang bertumpu kepada kemandirian dibidang ekonomi. Jika pemerintah dan BI tetap menentukan mempertahankan kebijakan suku bunga tinggi demi orang kaya , pemulihan dari keterpurukan sektor riil nanti membutuhkan waktu lama. Kalau acara perjuangan terganggu, maka ujung – ujungnya akan memicu terjadinya gelombang PHK, dan revolusi tidak bisa dihindari. Chaos terjadi, maka terjadilah…

Sumber https://culas.blogspot.com/

Artikel Terkait