Di Jakarta ,dimana saja , juga dipinggir jalan raya nampak papan iklan berukuran besar yang mungkin sanggup menutupi wajah buram Jakarta yang dihuni oleh sebagian besar para pendatang yang sanggup dikatakan gagal.. Iklan jaringan telepon selular yang berkompetisi, real estate , Bank, Hotel, serta seluruh limpahan layanan berkelas yang terbentang dari utara ke selatan dan timur ke barat Jakarta. Meskinpun begitu saya menyukai Jakarta. Ada bangunan Masijd terbesar di Asia Tenggara memperlihatkan penampilan sebagai kota religius, serta kemurnian tradisi orang Betawi. Jakarta, setiap hari menyerupai berada di open yang melelahkan dijalanan yang sesak dan macet atau menjadi kubangan besar ketika musin hujan. Tidak peduli seberapa keras kota ini berusaha terlihat menyerupai belahan dunia barat, Jakarta tetap belahan dunia bab timur, yang selalu bersembunyi dari lingkungan yang kumuh, para tunawisma yang tertidur dibawah jembatan, stasion kota. Seluruhnya sengaja dirahasiakan ketika rombongan tamu asing tiba berkunjung ke Istana, kecuali Mc Donald dan Starbuck.
Hidup layak mungkin bukanlah suatu balas dendam terbaik, tetapi itu satu satunya kecenderungan yang ada bagi orang orang betawi yang kini merupakan minoritas populasi. Mereka terpinggirkan hanya dengan sedikit harta sehabis melepas tanahnya untuk penduduk pendatang. Dan kemudian hidup dalam keterbatasan dipinggir kota, yang mungkin sanggup sedikit menghibur mereka untuk mencoba gaya hidup kota Jakarta dari kejauhan. Jakarta menyerupai kehidupan barat, juga samahalnya sebagian kota di negeri ini yang mempunyai majalah Playboy, trend, life style, yang mengajak para orang muda living imaging. Tempat hiburan malam dan maksiat gampang ditemukan semudah mendapat sebungkus rokok. Para sebagian pendatang Jakarta yang terpinggirkan telah menambah aroma kepahitan hidup ditengah maraknya penawaran real estate walau memberi pekerjaan bagi ribuan mereka dan mempercantik kota. Gubernur atau siapapun orang besar yang ada di Jakarta sepertinya mengerti jikalau hasrat kerakusan ini yaitu lem yang mempersatukan penduduk kota.
Dibawah rezim yang pro barat dan neoliberal , Jakarta telah berkembang daerah menebar uang korupsi. Korupsi remeh pada masa kemudian telah menjadi korupsi systematis bergaya wall street. Maka orangpun mulai saling curiga. Satpam dihadirkan disetiap pemukiman glamor dan apartement. Para koruptor yang private maupun pejabat public digosipkan oleh rakyat kumuh diwarung warung kopi dan kadang diteriakan didepan gedung DPRD namun Pejabat Kota diam diam dan hirau tak acuh. Orang orang taat dan religius pergi kemesjid kumuh. Kadang orang orang yang dibilang islam mendasar yaitu satu satunya yang bicara perihal kebenaran dikota ini. Mereka mengolok olok korupsi dan prilaku elite gres reformis yang lebih munafik ketimbang rezim militer. Kemarahan ada diJakarta, Terutama ketika para rakyat melihat Mercedez Band, BMW melintas, tetap tidak pernah mengekspresikannya secara terbuka. Penguasa mungkin sedang menjamu raksasa raksasa dari jepang atau Eropa atau AS disalah satu hotel berbintang yang ada dijantung Kota, tetapi dilorong lorong kumuh perkampungan miskin , mereka menghitung tumpukan karton yang didapatnya dari daerah sampah dan menepatkan kaligraphi Allah dan Muhammad di rumahnya yang kumuh.
Kemunafikan yaitu air susu ibu disini. Satu demi satu Pasar Tradisional yang berada diwilayah tanah emas, di privatisasi, yang tak dilirik oleh investor dibiarkan kumuh dan terlupakan. Pejabat kota yang meng claim hebat tak nampak cerdas ketika harus menjawab apa yang telah diperbuatnya selama ia memimpin kota. Namun tetap tidak punya rasa aib untuk terus memimpin. Dan anehnya semua partai besar tetap percaya dengan jargon “system telah dibangun dan tunggu saatanya system bekerja untuk Jakarta lebih baik dimasa depan. Makanya Jakarta perlu pemimpin yang mengerti Jakarta. Tapi rakyat tak lagi percaya. Tidak akan ada hope dari pemimpin yang culas. Satu hal yang dilupakan bahwa Jakarta bukan hanya diisi oleh segelintir orang yang berduit tapi Jakarta juga mempunyai kekuatan arus bawah yang kencang, yaitu Islam dan tradisi betawi serta kaum muda yang sudah muak dengan gaya elit partai yang tak sanggup berbuat apa apa kecuali menguras uang Negara untuk Jakarta yang tak pernah tuntas dibereskan.
Dari Solo , Jokowi tiba ke Jakarta untuk berkompetisi dengan didampingi oleh Ahok dari Belitung. Jokowi yaitu kader PDIP dengan Platform pembela wong cilik dan Ahok didukung oleh Garindra yang punya platform nasional sosialis. Mungkinkah wajah Jakarta akan berubah ketika kelak dipimpin oleh Gubernur yang cinta kepada wong cilik ? Ya, niscaya wajah Jakarta akan berubah. Tidak lagi bergairah dengan senjata diam-diam mematikan bagi siapa saja yang lengah berbuat. Jakarta akan santun kepada mereka yang lemah. Akan ada system jaminan kesehatan bagi simiskin. Akan ada jaminan pendidikan bagi simiskin. Akan ada jaminan keamanan dan kelancaran di jalan. Akan ada peluang bagi semua untuk berbuat dan berkembang tampa harus menadahkan tangan lagi. Setidaknya ini bukan hanya komitmen kosong sebagaimana yang selama ini rakyat DKI dengar dari calon pemimpin tapi ini sesuatu yang sudah dibuktikan oleh Jokowi –Ahok ketika memimpin Solo dan Belitung. Memang solo atau Belitung tidaklah sanggup dibandingkan dengan Jakarta tapi sebagai sebuah laboratorium pembangunan wilayah, solo dan belitung terlalu tepat untuk hanya sekedar membangun Jakarta.
Bagi Jokowi dan Ahok, Jakarta yaitu milik semua orang, yang besar lengan berkuasa dan lemah bersanding, setiap pemeluk agama bersedekat, kiprah mereka merekat perbedaan itu untuk memastikan kebenaran dibela , kebaikan dijunjung dan keadilan harus menang, untuk Jakarta , untuk rakyat , untuk semua…
Sumber https://culas.blogspot.com/