Jokowi-Ahok


Sepertihalnya kisah dari negeri China. Dari sebuah desa , kepemimpinan terbentuk. Dari sebuah Desa orang diuji berjalan dititian. Dari sebuah desa orang dikenal , dipuji dan diasingkan. Hukum komunitas terkecil ini memiliki aturan alam. Yang baik dihormati dan yang jahat diasingkan. Budaya terbangun ,ketulusan dijalankan. Beda sekali dengan dikota. Orang bergerak dalam membisu namun penuh curiga dan awas. Segala kebusukan dan keshalehan bersatu, menjadi semuanya tak terang dilihat dengan mata kepala. Dari kumpulan orang orang inilah budaya santun, nrimo , terdegradasi menjadi budaya individualistis. Tapi bagaimanapun Desa tetaplah memanggil rasa rindu nurani siapa saja untuk menemukan kesejatiannya.

Begitupula yang dirasakan oleh seorang Salesman bosan mengejar impiannya di Kota. Namun di Desa beliau mendapat senyuman dan harapan, yang selama dikota jarang beliau dapatkan. Tak perlu terkejut jikalau kedamaian dibalas dengan ketulusan untuk berbuat sanggup melahirkan kekuatan diluar nalar sehat. Sesorang ini ialah dia. Diapun kesannya didaulat menjadi Lurah di Desa. Hanya alasannya di Desa yang miskin kepeminpinan tidak memperlihatkan pendapatan berlebih kecuali rasa hormat. Namun bagi dia, itu ialah segala galanya. Diapun sadar bahwa beliau bukanlah siapa siapa. Hanya salesman di kota. Tak pula pernah mengenyam kursi kuliah. Namun, itulah dia, yang menyandang predikat sebagai pemimpin dari komunitas desa miskin.

Mungkinkah ?

Lihatlah apa yang dilakukannya. Sederhana saja. Dia hanya memakai rasa hormat penduduk desa untuk berbuat menuntaskan problem desa sehari hari. Walau usia masih muda namun status sebagai orang kotaan, sudah cukup menciptakan rakyat percaya untuk mengikutinya. Diapun mendidik masyarakat untuk bertanam jagung dan melupakan soal padi. Jagung ditanam. Panennya tidak dijual mentah tapi dilumat bersama dengan singkong , maka jadilan materi baku untuk memenuhi pabrik di kota pembuat mangkok dan piring. Pemuda itu sanggup meningkatkah penghasilan petani dan kesannya bisa membeli beras yang sudah terlanjur mahal. Kesehariannya selalu ada ditengah tengah petani jagung dan singkong. Dalam perjalanan kekebun , beliau selalu mengumpulkan sampah plastik kedalam keranjang. Sesampai dikebun, tida ada yang dilakukannya. Dia hanya duduk dan besiul sambil memandang hamparan tanah yang ditanam jagung dan singkong. Petani yang malas , bangun alasannya rasa aib dihadapan pemimpinnya yang selalu hadir ditengah tengah mereka. Produktivitas meningkat dan mesin produksi pring dan mangkok pun semakin meningkat untuk memenuhi pasar. Antara pasar , kota dan desa menjadi satu kesatuan dan ketergantungan , bukan belas kasihan.

Keberhasilannya mengundang perhatian Partai. Diapun terpilih sebagai Bupati. Apa yang menciptakan beliau terpilih ? ternyata alasannya hobinya mengumpulkan sampah plastic dan kesannya diikuti oleh semua rakyat desa hingga desa itu menjadi desa bersih. Partai menganggap beliau orang yang pantas untuk menjaga kota tetap bersih. Padahal tujuannya mengumpulkan sampah plastic biar tanah tidak tercemar. Ketika beliau jadi bupati. Setiap hari , dalam perjalanan dari rumah kekantor, beliau selalu menyempatkan diri untuk menanam satu pohon disetiap tanah lowong. Tidak ada rakyat yang berani mengganggu pohon itu alasannya beliau yang tanam, bahkan rakyat menirunya. Lima tahun beliau berkuasa, kota yang gersang, tumbuh menjadi kota yang sejuk dan penuh bunga. Keberhasilannya , ternyata bukan hanya mengundang perhatian pemerintah tempat tapi juga pemerintah pusat. Diapun diundang untuk tiba kepusat. Jabatan tinggi sudah menantinya. Tapi saat itu ditawarkan kepadanya , beliau menolak dan lebih menentukan untuk cepat pension. Ketika hal ini ditanyakan kepadanya , dengarlah jawabannya:

“ Lima belas tahun menjadi pemimpin , usia saya serasa bertambah 1000 tahun. Selama itupula saya tidak pernah menikmati yang seharunya saya nikmati. Apa itu, ? waktu!. Setiap hari , 18 jam waktu saya terpakai untuk mengabdikan diri kepada rakyat. Sehingga saya lupa tanggal ulang tahun istri saya. Lupa kapan terakhir saya mendapat bayi kedua saya. Saya lupa menjahit jas saya yang robek. Menjadi pemimpin itu ,bagaikan hidup diatas bara. Setiap detik, bukanlah hal yang menyenangkan. Kalau anda ingin memperlihatkan hadiah kepada saya , maka biarkanlah saya menikmati pension saya dengan damai. Jangan pernah berpikir sayalah yang terbaik alasannya kehidupan tidak akan pernah berhenti hanya alasannya ketidakadaan saya. Kita hanya butuh satu keyakinan, beri kesempatan kepada siapa saja untuk berbuat alasannya nuraninya,  dan alasannya cinta untuk semua “

Mungkin banyak cowok di negeri ini yang memiliki kemampuan menyerupai kisah anak muda diatas. Salah satunya ialah Jokowi dengan keberhasilannya memimpin kota Solo dan Ahok di Belitung. Walau system politik negeri ini tidak memberi peluang pengabdi rakyat untuk memimpin melainkan pengabdi Partai. Namun Jokowi dan Ahok bisa memadukan ketiga hal dalam Politik yaitu  kekuasaan , aturan dan keteladanan. Ketiga hal itu bertumpu kepada kerendahan hati, kesederhanaan. Tak ubahnya menyerupai Ahmadinejad saat memimpinTeheran. Bahwa kekuasaan tanpa moralitas ialah Penjahat, Aturan tanpa keadilan ialah penjajahan, Retorika  tanpa keteladanan susila ialah Penipuan. Bagi mereka kekuasaan ialah politik yang tiba alasannya kebutuhan untuk ” menyelesaikan”. Untuk ”menyelesaikan” bukanlah kemudahan dibalik banyak kemudahan jabatan yang melekat dalam simbol simbol kekuasaan dan kemewahan. Tapi formasi derita dan kelelahan untuk ” menyelesaikan”. Bila calon pemimpin menyadari ini  maka tentu tidak ada lagi yang berani sombong alasannya kekuasaan atau jabatan. Tidak ada lagi yang mau merekayasa Undang Undang Politik untuk terus berkuasa. Tidak ada lagi fitnah. Tentu tidak adalagi kelaparan dan janjkematian alasannya kemiskinan. Mungkinkah...

Sumber https://culas.blogspot.com/

Artikel Terkait