Maaf Teman, Kita Berbeda..


Kata orang bijak, waktu bisa berkata jujur. Waktu juga bisa memperbaiki. Waktu bisa membuat orang bijak. Waktu bisa membuat orang berubah. Ya waktu akan bisa mengurai segalanya, membuat air keruh menjadi kembali bening. Ingatanku seolah segar kembali menoleh ke puluhan tahun lalu, sewaktu rezim ORBA. Ingatan ihwal kamu. Kita pernah sama-sama di lempar ke dalam truk polisi alasannya ialah dianggap menolak asas tunggal Pancasila dan berkata tidak pada kekuasaan. Kita di perlakukan lebih dari anjing kurap. Bukan hanya di tampar dan di tendang tapi juga di permalukan harga diri kita. Tubuh di telanjangi dan di lecehkan di tengah  tawa mereka. Padahal kita berjuang untuk kehormatan kita sebagai insan yang beragama. Kita bukan hanya kriminal tapi juga pembangkang yang pecundang. Ya benar kita pecundang. Karena revolusi yang kita harapkan terjadi tapi ternyata tidak ada sesungguhnya revolusi. KIta hanya di manfaatkan oleh petualang politik yang cepat lari dan basuh tangan ketika kita menyabung nyawa demi obsesi dan provokasinya. 

Setelah kejadian itu kau masih kuperhatikan tetap rajin dalam aksi-aksi selanjutnya. Masih kokoh merapat dalam barisan. Masih berteriak sambil mengepalkan tinju. Dan tetap lantang menyanyikan mars pembangkan ketidakadilan para penguasa; kita niscaya menang! Kadang saya menerka-nerka, betulkan kau waktu itu bicara atas nama orang-orang kalah, bukan alasannya ialah gelisah mencari jati diri. Bila saja sempat kutanyakan hal ini padamu, niscaya matamu seolah keluar dari kelopaknya, kemudian dengan ganas menyerangku sambil mengutip kalimat Mark sampai Andre Gunder Frank. Sumpah, kadang saya suka pada bab dirimu itu. Berapi-api dan gagah. Pantas saja kau sering menerima kiprah sebagai koorlap sewaktu aksi. Kau menyerupai Budiman Sujatmiko, yang mengaku malu pada mitra lain yang telah menyerahkan nyawa untuk usaha ini.

“Aku hanya orang biasa yang mencoba menunjukan bahwa kini ini ialah era pembaharuan. Juga berusaha dengan cara apa pun supaya kita tidak hanya di pandang pengangguran banyak bicara,” kataku dengan nada satire. Lalu saya niscaya akan terburu menghentikan satire itu, khawatir kalimatku kepanjangan. Bila tidak, kau niscaya dengan sukacita siap berperang kata denganku. Bisa hancur berserakan pertemanan kita bila kuladeni segala keberangasanmu itu. Padahal paling tidak, perlu waktu satu bulan berjauhan sebelum kita saling menyapa lagi.

Kau memang tipe laki-laki yang mengandalkan ekspresi besar. Aku paham itu. Tak mungkin rasanya kau bisa terlibat dalam organisasi kampus, LSM, dan organisasi lain di masyarakat bila hanya mengandalkan bicara dan bentuk nalar sehat. Tak ada suatu hasil terbaik tanpa positif diperjuangkan, no pain no gain! ujarmu. Wajahmu terlihat bersemangat ketika bercerita ihwal seorang Nelson Mandela, yang gelisah melihat ketidakadilan kaumnya pada penduduk orisinil Afrika Selatan. Dia menghantam apartheid dalam sajaknya sehingga ia kemudian harus rela kerap terjaga tengah malam alasannya ialah pengerebekan keamanan setempat untuk ditahan. Hal yang seharusnya tidak ia alami bila hanya menulis hal biasa tanpa menyinggung apartheid.

Mungkin kegelisahan semacam itu yang membuatmu tabah menyusuri perkampungan dan gang kumuh kota ini untuk menawarkan penyuluhan akan hak hak mereka sebagai warga negara. Tapi mereka hanya mendengar tanpa tahu mengapa mereka harus di advokasi. Mereka hanya butuh makan dan hidup layak tanpa harus di gusur tempatnya mencari nafkah. Itu saja. Kamu tidak pernah memberikan dengan jujur bahwa pembangunan butuh ketertipan dan ketertipan itu apabila semua warganya sadar akan hukum.  Bahwa mereka tidak bisa tinggal dan berniaga di daerah yang memang tidak sesuai dengan UU Tata ruang. Mengapa ? Karena kau memamg tidak punya solusi. Hidupmu saja dari bantuan orang lain. Tapi kau gunakan perilaku tidak tertip itu dengan janji sosialisme mu yang akan membuat semua boleh alasannya ialah semua ialah hak rakyat. Kamu tidak mencerahkan rakyat tapi hanya memperbodoh mereka saja. Karena dari kebodohan itulah, orang ramai sanggup berkumpul dan politik sorak memuaskan egomu.

Namun saat kita punya kesempatan menghabiskan waktu di cafe, saya juga kadang suka mendengar celoteh ihwal  pengalaman mu bertemu dengan orang pinggiran. Tentang seorang anak wanita belasan tahun yang di jual ibunya, atau bagaimana cara wanita di sana yang sukses menghabiskan uang tamunya, para lelaki bau tanah yang sebetulnya sangat pelit pada anak-istrinya. Kita kemudian tertawa bila pada episode lucu, dan meringis pada episode yang tragis.
“Mereka, bagaimanapun ialah orang yang berani hidup. Karena berani mati itu ialah kelemahan dan paling dungu di dunia. “ kataku
“Aku suka pada mereka yang berani hidup!’ itu kan maksudmu?” ujarmu menimpali.” Itu kan penggalan syair Chairil Anwar. Tahu saya itu.”

Aku heran kenapa masih bisa mengingat begitu banyak hal konyol dalam dirimu. Mungkin kau memang kawan  paling absurd yang pernah kutemui. Yang selalu ingin mengemudikan motor bila kita pergi berdua. Yang mengajariku ihwal Tuhan, sementara bulir arak terserak di seputar bibir mu. Mungkin kau membayangkan ketika itu serasa bagai seorang Abunawas, hedonis yang berputar arah menjadi seorang sufi kemudian membuat syair menggetarkan dalam Al I’tiraf. Atau menyerupai Sutardji Calzoum Bahri yang bersyair ihwal Tuhan dengan ekspresi penuh busa bir.
“Aku mungkin brengsek, namun bukan seorang ateis,” ujarmu sambil melempar botol dari tanganmu.

Sekarang, sesudah belasan tahun berlalu. Kekuasaan negeri ini pun sudah beberapa kali berganti. Kurasa segala kebadungan, kebrengsekan, dan kenekatanmu niscaya sudah banyak berkurang. Berubah menyerupai juga banyak mitra seperjuangan kita dulu pun berubah. Sebagian ada di partai, sebagian memakan mentah-mentah apa yang dulu mereka maki-maki, dan sisanya tak punya cukup alasan lagi untuk tetap berjuang. Tapi, kuyakin kau dalam hal ini masih tetap seorang pemberontak. Seperti kuduga sebelumnya, sikapmu menentukan tinggal di luar negeri bahu-membahu bukan sekedar mencari suasana baru. Mesti banyak hal kau lakukan di sana. Saat kita bertemu kembali kemarin, inilah ceritamu...

“Setelah dari Cina, selama bertahun-tahun saya hidup menyerupai hippies. Berkeliling ke beberapa negara di Eropa sana. Bergabung dengan NGO international. Berteriak sebebasnya, melaksanakan semua yang kuingin, hingga kemudian saya rindu pulang dan menyadari bahwa tempatku memanglah bukan di sana. Alangkah bodohnya saya bila meninggalkan negeri yang sering membuat iri bangsa-bangsa lain ini,” dengan datar kau bercerita.

Agak usang kita kemudian melongo tanpa kata-kata. Masing-masing melongo dalam benaknya sendiri. “Lalu bahu-membahu apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku agak kaku. Sebenarnya kalimat itu terdengar terlalu kaku untuk kedekatan kita, terutama sesudah usang tidak bertemu. “Aku ingin bergabung dengan kaum buruh melaksanakan gerakan nasional. Hak buruh harus di perjuangkan dan kini saatnya di Era Jokowi buruh harus menagih janji itu. Dan dihentikan ada siapapun melecehkan kehormatan agama kita. Termasuk Gubernur atau presiden sekalipun ” perlahan sekali kau bertutur. 

Tapi tahukah kamu, kawan. Berapa keras usaha kaum buruh di Eropa dan kini sebagian negeri itu bangkrut. Mungkin saja alasannya ialah negara kalah dengan kaum buruh dan memaksa pengusaha mengikuti kehendak buruh.  Seharusnya yang di perkuat bukanlah bargain kesatuan untuk menggalang demo tapi kesatuan perilaku memperbaiki etos kerja supaya bisa bersaing dengan buruh negara lain. Kalau pengusaha tidak bisa membayar upah yang layak, ya pindah ke negara lain yang bisa membayar lebih tinggi. Ini era global. Bukan hanya pengusaha bisa merambah keluar negeri, buruh juga bisa. Ingat dunia buruh juga ialah dunia bisnis. Harga tidak pernah berdusta. Etos kerja seadanya, upah juga seadanya. Berhentilah jadi orang pengeluh dengan tangan di bawah. Kita harus bisa menempatkan diri kita equal, bukan alasannya ialah regulasi tapi alasannya ialah kita memang pantas equal.

Di era demokrasi , membawa isyu agama untuk terjadinya revolusi ialah pekerjaan orang tidak waras. Mengapa ? Memaksa rakyat berkiblat dengan satu agama di larang oleh HAM International. Undang-Undang Dasar kita menjamin keberadaan agama. UU kita melarang orang menistakan agama. Makara kalaulah benar ada penguasa yang melecehkan agama maka ia akan berhadapan dengan pedang hukum. Biarkan sistem yang bekerja melaksanakan amanah UU. Kalau kau tidak percaya dengan sistem aturan sekarang, maka tirulah sahabat sahabat kita yang kini sudah masuk kedalam sistem. Mereka berjuang dari dalam sistem untuk merubah sistem menjadi lebih baik. Memang tidak gampang namun mereka berada di daerah dan jalan yang benar untuk obsesinya. Perjuangan ekstra parlementer hanyalah pekerjaan orang pengangguran yang banyak bicara. Orang yang gagal menjadi bebas di era kebebasan.  

Apakah kau tetap menyerupai dulu yang menginginkan revolusi terjadi? Apakah usia tidak membuatmu bisa meliat kenyataan? Kita ialah generasi gagal. Kita terjebak dengan arus politik dari orang orang yang sakit jiwa. Di ketika orang mata sipit berjuang meraih kemakmuran dari rezim ORBA kita malah sibuk melawan dan berontak. Ketika si mata sipit makmur, kita marah. Padahal mereka mendapatkannya dengan kerja keras. Mungkin saja mereka berkolusi dengan penguasa. Tapi itu juga sebuah effort yang sesuai dengan kebijakan makro ekonomi negara membuat pertumbuhan supaya APBN bisa melaksanakan fungsi sosial terhadap rakyat yang selalu menadahkan tangan. Kalaupun rezim ORBA tumbang , itu bukan alasannya ialah gerakan demontrasi. Bukan. Itu hanya bersatunya elite partai dan tentara yang bosan dengan seorang diktator. Terlalu usang berkuasa juga tidak sehat. Gerakan mahasiswa hanyalah kayu bakar, api penyulutnya ialah alasannya ialah para elite dan tentara sudah bosan dengan diktator. Makanya bukan revolusi yang terjadi tapi reformasi. 

“Seperti yang kubilang, saya memang bukanlah orang taat. Hanya saja saya tidak muda lagi. Kita pernah melewati masa masa muda kita. Apa  yang kita sanggup ? Tidak ada. Kita hanya jadi martil untuk menaikan seseorang keatas panggung dan sesudah itu kita di lupakan. Mungkin saya tidak bisa jadi matahari , namun setidaknya saya bisa menjadi lentera untuk memberi cahaya orang lain menuju ke mata air. Menjadi pengusaha juga ialah pendekar dalam bentuk lain. Kita memberi kesempatan orang memiliki cita-cita dalam dunia yang kita ciptakan sendiri. Cita cita kita dulu untuk memperjuangkan keadilan demi agama tegak, sanggup kita lakukan di lingkungan perusahan yang kita bangun. Ini lebih konkrit.”

“ Aku maklum. Kamu menua dan keyakinanmu tidak lagi sekuat dulu ketika muda. " Katamu dengan nada seakan merendahkan diriku.

" Terimakasih atas evaluasi mu terhadapku. Namun harus kau ketahui bahwa kita harus berubah alasannya ialah waktu. Ingat kata Tan Malaka, bahwa revolusi terjadi bukan alasannya ialah sebuah pandangan gres yang luar biasa, bukan alasannya ialah tokoh atau ajakan agama, tapi alasannya ialah situasi dan kondisi yang memungkinkan revolusi terjadi. Aku tidak melihat situasi dan kondisi kini menyerupai era Kolonial yang mengharuskan terjadinya revolusi. Tidak melihat menyerupai era ORLA. Tidak. Kini semua serba terbuka. Lembaga Presiden bukan lagi forum sakral yang suci dari demo. Presiden bukan lagi yang kuasa yang dihentikan di kritik secara bebas. Semua boleh bicara apa saja. Kritik boleh di sampaikan dengan cara apa saja. Kebebasan itu ialah berkah yang harus di syukuri supaya kita cerdas dalam hidup, dan menjadi bab dari perubahan yang lebih baik. Tapi kalau kebebasan itu membuat kita terisolasi oleh paranoia akhir provokasi petualang politik maka kita hanyalah sampah kemajuan dan perubahan. Kapanpun akan di bersihkan oleh kekuatan hukum, akan di gilar oleh perubahan itu sendiri. Percayalah."

" Terserah kamulah. Namun setidaknya saya bahagia kita bisa bertemu. Aku juga bukan termasuk orang yang taat. Namun guru mengajiku menyampaikan bahwa mungkin kita tidak bisa menjadi tepat namun dengan silahturahmi kita sudah membuka lebar pintu maaf dan membuatkan cinta. Bukankah itu hakikat agama ? 

Alangkah hebatnya sahabat ini. Untuk kesekian kalinya ia mengajariku ihwal memaafkan dan kelapangan hati. Tanpa mengindahkan besok beliau akan ikut bergabung dalam demo akbar alasannya ialah pintu maaf tertutup sudah, yang ada hanyalah amarah. Karena agama tidak lagi di pakai untuk mendekatkan diri kepada Tuhan tapi membuat legitimasi agama untuk berontak dan murka dalam kebencian. Entahlah...maaf teman, kita harus berbeda. 

Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/

Artikel Terkait