JAKARTA. Kota tempatku mengawali hidup sebagai petarung kehidupan. Setelah usai menamatkan sekolah di kampung, dengan berbekal ijazah SMA, saya tiba ke Jakarta. Semuanya kumulai benar-benar dari nol. Namun saya tiba tidak dengan tangan kosong. Aku punya semangat dan harapan untuk menjadi orang sukses di Jakarta!
Banyak sahabat di kampung mencibir ketika saya berangkat ke Jakarta. Menurut kebijaksanaan mereka, saya tak seharusnya bertarung untuk sesuatu yang sudah niscaya kalah. Namun hidup tidak sepenuhnya bergantung kepada akal, bukan? Aku punya iman! Yakin bahwa Tuhan tidak akan membiarkan saya kalah begitu saja. Asalkan tetap gigih, terus berjuang tanpa kenal takut dan lelah. Maka saya berhak punya harapan di masa depan. Keyakinan ini tertanam atas didikan spiritual dari Ayah. Untuk itulah, saya bertekat menaklukkan Jakarta!
Mungkin, setiap laki-laki kampung yang tiba ke Jakarta di usia muda, yakni mereka yang punya semangat dan keyakinan sama denganku. Tapi benarlah, bahwa tidak semua dari mereka sukses di kota metropolitan ini. Diantara mereka lebih banyak yang gagal dari pada berhasil. Kebanyakan, mereka yang sukses yakni mereka yang punya rumah dan sumber daya penghasilan. Entah itu lantaran profesi atau lantaran mahir berdagang. Berdagang apa saja. Termasuk berdagang tubuh bagi perempuan yang lemah kemauan namun tinggi keinginan. Atau laki-laki yang begitu banyak keinginan dan harapan namun malas berbuat sesuatu. Maka jadilah beliau preman jalanan atau preman berdasi.
Pelacur dan preman jalanan adalah penyakit sosial di Jakarta yang menjadi musuh orang-orang beragama dan pemerintah. Pemerintah daerah membuat hukum semoga menggaruk mereka untuk digiring ke dalam truk. Kemudian mereka dikirim ke tanah seberang dan di transmigrasikan. Preman berdasi, walau sangat merugikan masyarakat namun mereka lebih beruntung. Mereka di puja lantaran bakir memanjakan pejabat pemerintah yang korup dan jika tertangkap, tetap menerima akomodasi kemewahan di dalam penjara.
Namun, Jakarta tetap menjadi magnit bagi siapa saja. Di sini, yang kalah akan tersingkir, sementara penghuni gres tiba lagi dan lagi. Maka jadilah Jakarta tempat pertarungan yang tidak adil bagi yang lemah. Sementara penduduk kota yang unggul, menutup diri rapat-rapat dari kemiskinan yang dipertontonkan secara vulgar. Rumah kumuh di bantaran kali dan pinggir rel kereta api menjamur. Mereka yang kalah sangat gampang di provokasi oleh politisi petualang, untuk menjadi alat presure kepada penguasa. Juga dimanfaatkan oleh sekelompok orang yang membawa romantika nirwana dengan mahzab berlandaskan dalil agama yang berdasarkan mereka, bahwa Tuhan hanya berpihak kepada kaumnya. Yang lain kafir, munafik dan taghut. Orang-orang kalah itu mengumpulkan sampah yang layak dijual sambil memajang photo Rasul di dinding rumahnya tanpa IMB atai Ijin Mendirikan Bangunan, dari pemerintah kota.
Jakarta bagaikan ibu yang menyusui anaknya dengan kemunafikan elite negeri ini. Semua orang pandai dari kalangan politisi, agamawan, tentara, budayawan, intelektual dan akademisi semua ada di Jakarta. Namun Jakarta harus menyembunyikan wajah aslinya ketika tamu asing tiba ke rumahnya. Dengan susah payah, Jakarta memoles rupa demi membuat kesan PANTAS sebagai Ibu Kota dari sebuah bangsa besar dan kaya raya berjulukan Indonesia!
Sementara McDonald dan Sogo dikibarkan namanya di jalan utama Jakarta. Setiap pinggir jalan utama selalu berjejer papan iklan dengan memperlihatkan produk modern yang berkompetisi. Malam hari papan iklan itu bertabur cahaya warna warni ribuan watt. Sementara peduduk miskin bantaran kali harus mencuri listrik dari bentangan kabel di depan rumahnya. Tentu saja dengan bahaya resiko kesetrum atau rumah terbakar melahap segalanya begitu saja. Akhirnya, pemerintah kota punya alasan untuk mengusir mereka dengan melarang rumah yang terbakar di bangkit kembali. Kelak tanah bekas kebakaran itu akan berubah menjadi mall atau apartement mewah. Makanya tidak absurd bila Jakarta, menyimpan dendam kaum pinggiran akhir ketidak adilan.
Namun bagaimanapun, walau dengan segala kecarut-marutannya, saya menyukai Jakarta. Karena di sini berdiri Masjid terbesar di Asia Tenggara. Masjid megah yang selalu dijaga Satpam dua puluh empat jam semoga tidak dijadikan tempat singgah para musafir miskin dan tuna wisma. Kadang saya menyadari mereka yang paling bakir bicara kebenaran perihal Tuhan dan agama yakni mereka yang mengaku fundamentalis. Mereka agresif dengan pentungan di tangan, melabrak semua yang berbau maksiat. Mengejek korupsi dan prostitusi dari kejauhan. Mereka hendak membuat dunia menyerupai yang mereka mau untuk beres dan dirahmati Tuhan. Namun yang beres dan rahmat itu memang sulit tiba lantaran memang Tuhan tidak ingin dunia beres dengan cara mereka. Tuhan ingin perubahan terus menerus hingga akirnya insan tidak berharap apapun kecuali membagi cintanya kepada siapapun untuk berdamai dengan kenyataan. Yang baik dan jahat selalu bersanding untuk menguji siapapun semoga menjadi sebaik baiknya kesudahan.
Bertempat di Jalan Cikini, bilangan Jakarta Pusat, berdiri megah sebuah hotel bintang tiga. Hotel ini dimiliki oleh keluarga kaya raya turun temurun. Di hotel inilah sahabatku Fernandez, tinggal selama ada di Jakarta. Aku mengenalnya pertama kali dari seorang sahabat yang bekerja di bank asing. Aku tidak tahu niscaya berapa usang beliau sudah tinggal di hotel ini. Aku tidak menanyakan itu padanya lantaran tentu saja, saya tak ingin bertanya sesuatu yang tidak penting.
Semua karyawan hotel, dekat denganya. Dia yakni laki-laki berkewarganegaraan Mexico. Penampilannya sederhana namun pancaran matanya menandakan bahwa beliau orang yang cerdas. Dia fasih berbahasa Inggris dan Indonesia. Bahkan bahasa Jawa dan Sundanya lebih baik dariku.
Aku sendiri tidak punya hubungan bisnis dengan Fernandez. Namun saya senang berjumpa dengannya lantaran dia, sahabat yang asik diajak ngobrol. Itulah sebabnya di setiap simpulan pekan, saya selalu menyempatkan waktu untuk bertemu Fernandez. Yah, sekedar untuk ngobrol ringan perihal banyak hal.
Ketika saya hingga di loby hotel, tampak Ester sedang duduk sendirian di lounge sambil membaca sebuah majalah wanita. Aku berdiri sempurna di sisinya ketika kutangkap kerling mata itu, melirik padaku dan berkata, “Fernandez sedang pergi keluar.”
Ester yakni salah satu sahabat wanitaku. Dia tiba kemari juga dengan tujuan yang sama. Kami sering berkunjung ke hotel ini untuk sekedar ngobrol dan makan malam sambil menikmati red wine yang biasanya, di beli Ester dari luar hotel. Persahabatan kami telah berlangsung lebih dari dua tahun. Kali pertama bertemu dengan Eater, ketika saya membuka rekening private banking dimana beliau bekerja. Sejak itu kami menjadi dekat dan kadang, bila ada waktu senggang, kami makan malam di luar.
Ayah Ester yakni orang German sementara ibunya yakni orang Jawa. Dia anggun dengan wajah opalnya. Hanya saja Ester kurang suka bersolek sehingga penampilannya terkesan tomboy. Pakaian yang dikenakan Ester selepas bekerja sebagai Account Officer sebuah bank, selalu celana denim dengan atasan Tshirt. Kukira jika beliau bersolek, akan banyak laki-laki yang ingin mejadikanya pacar bahkan menikahinya. Ester tidak peduli manakala usianya sudah di atas tigapuluh tahun dan beliau masih sendiri. Yang pasti, beliau merasa nyaman bersahabat dengaku. Mungkin lantaran kami berusia hampir sebaya, hanya terpaut dua tahun.
Dari pintu lobi utama hotel nampak Fernandez tiba bersama temannya. Dia seorang laki-laki dengan penampilan kolam pragawan. Dia ganteng, tinggi dengan postur tubuh propotional, berambut pirang, bermata abu-abu dan hidung yang runcing. Dia berjalan dengan elegance dalam balutan hem putih dan setelan jas warna biru tosca. Di tangannya, beliau menjinjing sebuah tas hitam kecil. Sementara Fernandez, membantunya untuk membawa sebuah koper hitam dengan ukuran sedang.
“Siapa laki-laki yang bersama Fernandez itu?” Ester bertanya sambil melirik kearahku. Aku mengangkat pundak dan menjawab sekenanya, “Tidak tahu. Ini kali pertama saya melihatnya. Mungkin tamunya dari luar negeri.”
Dengan senyum mengembang, Fernandez menghampiri kami. “Sudah usang menunggu? Maaf lantaran saya harus menjemput tamu di Bandara.” Kata Fernandez sambil menoleh kepada laki-laki ganteng yang berdiri di sampingnya, “Kenalkan, ini Tomasi.”
Kami berjabat tangan dan dengan percaya diri, saya memperkenalkan namaku sebagai Jaka Samora. Tomasi melempar sebuah senyum yang menawan. Kemudian Ester menjulurkan tangan kepada Tomasi untuk menjabat tangannya dan dengan gayanya yang cuek, beliau memperkenalkan diri sebagai Esterina.
Mereka bergabung dengan kami dalam satu meja sesudah Tomasi check in kamar. Kutatap Tomasi dengan hormat sambil berbasa basi, “ini kali pertama Anda tiba ke Jakarta?”
“Benar. Ini kali pertama.”
“Bagaimana pendapat Anda perihal Jakarta?”
“Kota besar. Sangat besar. Semoga saya menikmati kota ini sebelum berangkat ke Bali “
“Bali?” saya terkejut. Benarlah bahwa orang asing belum lengkap bekunjung ke Indonesia bila tidak ke Pulau Dewata.
“Ya, besok saya mau ke Bali menemani Tom. Apakah kalian mau ikut?” tawar Fernandez.
“Tawaran menarik yang tak mungkin ditolak!” sahut Ester yang sedari tadi hanya diam.
“Bagaimana dengan kamu, Ja?”
“Ikut!” kataku tegas sambil tertawa. Ester tersenyum melihat tingkahku. Kami tahu, jika sebuah rencana tiba dari Fernandez, maka semua ongkos akan ditanggung olehnya. Namun Fernandez membaca pikiran kami dan beliau berkelakar, “hmmm… kau pandai sekali memanfaatkan peluang, ya? Ini kesempatan terbaik menikmati Bali dengan pesta sepanjang malam. Kita berangkat dengan investment banker dari Eropa. Dia yang tanggung semua biaya.” Kata Fernandez sambil ujung dagunya menunjuk ke arah Tomasi.
Aku merasa konyol dan mentertawakan diriku sendiri lantaran tebakanku salah. Ternyata Tomasi yang menanggung semua biaya perjalanan. Tapi yang pasti, ini akan menjadi liburan yang sangat menyenangkan!
“OK, jika begitu semua harus siap di hotel ini besok pagi. Karena kita akan terbang dengan pesawat pertama.” Tambah Fernadez, kemudian kami menyanggupi usulannya dengan mendentingkan gelas wine yang kami pegang.
Malam semakin larut dan kami juga semakin asik berbincang banyak hal. Pada beberapa kesempatan, saya bisa memancing Tomasi untuk berbicara perihal siapa beliau sebenarnya. Namun bagaimanapun, Tomasi terkesan tertutup kecuali beliau menegaskan bahwa dirinya punya bisnis di bidang investasi surat berharga dan masuk ke bursa pasar uang di sentra keuangan dunia. Bagiku ini bisnis yang luar biasa yang hanya dilakukan oleh segelintir orang. Kalau benar apa yang beliau katakan, maka beliau yakni elite player.
Keesokan paginya, kami sudah berkumpul di hotel. Fernandez sudah menyiapkan taksi pribadi untuk membawa kami ke bandara. Aku duduk di barisan tengah dengan diapit oleh Fernandez dan Ester.
“Bagaimana hasil test kerja kamu?” Tanya Fernandez kepada Ester.
“Lusa saya ikut wawancara simpulan di Hong Kong. Kalau lolos, mungkin bulan depan saya akan pindah ke Hong Kong.”
Fernandez melirik ke arah Ester yang duduk di sebelahnya dengan wajah heran. “Mengapa harus pindah? Orang menyerupai kau diharapkan oleh negeri ini. Bagaimana Indonesia akan maju bila orang sehebat kau lebih menentukan bekerja di luar negeri?”
Dengan gaya acuhnya Ester menjawab, “Aku muak dengan sang diktator. Sehebat apa pun kita, tidak akan dihargai secara pantas. Di sini pengusaha menjilat kepada penguasa dan menindas karyawan. Karena pengusaha merasa kemajuan usahanya lebih disebabkan kedekatannya kepada penguasa untuk menguasai bisnis rente. Tidak! Aku tidak mau menua di negeri ini. Kita hidup hanya sekali. Dunia ini luas dan kesempatan di luar terbentang lebar. Sayang jika usia di buang dengan menyia-nyiakan kesempatan untuk berkembang. Ya, kan?”
Aku tersenyum sekaligus kagum akan perilaku Ester untuk menentukan pilihan hidup juga masa depanya. Namun Fernandez berusaha meyakinkan bahwa beliau memiliki prinsip yang berbeda dengan Ester. “Tetap saya tidak sependapat dengan kamu. Setiap generasi harus berkorban untuk masa depan negaranya. Kakekmu juga berkorban untuk kemerdekaan negera ini. Mungkin bukan harta saja yang hilang, tapi juga nyawa yang dipertaruhkan untuk merebut kemerdekaan dari Belanda. Dan kini, kau bisa mencicipi kurun kebebasan dari system colonial.”
Nampak Ester agak terpengaruh secara emosional ketika Fernandez mengingatkannya akan cinta Negara. Namun itu hanya sebentar saja. Ester dengan diplomasi berkata, “Aku tetap menyayangi negeri ini. Hanya beri saya kesempatan untuk berkembang di usia muda. Kelak bila telah berhasil, saya akan pulang membangun negeri ini” Ester tersenyum dan menoleh ke arahku yang menahan tawa demi mendengar kalimat Ester. “Kata-katamu menyerupai putra Minang,” kataku. “Merantaulah dulu, Buyung. Karena di kampung belum berguna!” Ester gemas dan mencubit pinggangku. Kami tergelak bersama.
Selama di Bali, Tomasi lebih banyak menghabiskan waktu bersama Fernandez. Kalau pun bersama saya dan Ester, itu hanya waktu makan malam. Dan sesudah makan malam, Fernandez akan kembali ke kamar. Entah apa yang diperbincangkan keduanya. Aku tak begitu peduli dengan mereka. Sementara saya dan Ester, memakai kesempatan liburan ini dengan sebaik-baiknya.
Dengan motor sewaan, kami menuju Pantai Kuta. Aku tidak bisa mengendarai motor dan tentu saja tidak paham jalanan di Bali. Namun Ester dengan cekatan mengendarai motor memboncengku. “Jangan ragu! Pagut erat tubuhku dari belakang semoga motor ini stabil,” kata Ester mengingatkan. Dia melaju hanya mengandalkan papan petunjuk arah yang terpasang di pinggir jalan
Semula perjalanan terasa ringan dan menyenangkan. Akan tetapi, usang kelamaan kami mulai kehilangan arah. Tak mau lama-lama dengan ketersesatan, Ester bertanya kepada seorang petugas kemudian lintas yang berdiri di pinggir jalan. Ester berusaha mengingat dan mengikuti petunjuk arah jalan ke Kuta. Setelah memutar di beberapa ruas jalan, kami berhasil masuk ke daerah Kuta. Tapi kami tak bisa menemukan pantai Kuta dengan mudah. Motor terus bergerak mengikuti setiap belokan jalan. Dan yang kami jumpai hanya bar, kafe, toko, distro, hotel dan bule-bule yang berjalan di trotoar jalan.
“Jangan cemas, Ja! Aku yakni perempuan petualang yang bisa melebarkan sayap hingga ke Hong Kong. Masak menemukan pantai Kuta saja saya tidak mampu?” Ester berkelakar sesudah beberapa kali bertanya. Aku sepakat saja dengan apa yang beliau lakukan. Dan pencarian kami membuahkan hasil sesudah dua jam perjalanan. Di hadapan kami, terhampar samudra yang bertepi di kaki langit, Pantai Kuta!
Ester memarkir motor di pinggir kiri jalan yang sengaja disisakan untuk tempat parkir. Di sebelah kanan jalan, berdiri MacDonald dan café berjajar-jajar. Kami mencari tempat yang cocok untuk duduk sambil menatap laut. Sebagian pantai ini tampak teduh tertutup pohon-pohon kelapa berdaun rendah. Beraneka penjual menggelar karpet dan tikar di bawahnya. Menjajakan aneka panganan menyerupai bakso, soto dan lumpia. Pelatih surving dengan kulit yang menghitam terbakar matahari, menata dan mendirikan papan survingnya sedemikian rupa. Di mataku, gundukan papan surving di sepanjang pantai Kuta itu tampak menyerupai bukit-bukit kecil berwarna-warni.
Malam mulai turun dan pantai tampak gelap dan sepi. Kami hanya bisa duduk di atas pasir sambil menatap langit. Sesekali, saya melirik bule yang terlentang di atas pasir beralas kain sarung di dekat kami.
Malam itu kami menghabiskan waktu di pinggir Pantai Kuta tanpa banyak cerita. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing hingga saya dikejutkan oleh bunyi ponsel. Sebuah pesan singkat dari Tomasi, mengingatkan semoga kami kembali ke hotel untuk makan malam. Kemudian kami bergegas meninggalkan pantai Kuta. Perjalanan pulang sama dengan perjalanan ketika berangkat, kami kembali tersesat. Kami sudah berusaha mengikuti petunjuk arah, tapi hal ini tidak berfungsi. Kami berkelana hingga kemana-mana. Setiba di Hotel, kami di sambut oleh Fernandez dan Tomasi dengan wajah kesal lantaran menunggu cukup lama.
Keesokan harinya, saya dan Ester pergi ke Pantai Sindu dan Legian. Perjalanan ketika siang hari lebih lancar dibandingkan perjalanan ketika malam. Walaupun sesekali kami masih tersesat di jalan. Kami juga pergi ke Tanah Lot, Nusa Dua dan masih tersesat juga. Untung kami bisa hingga di Tanah Lot dengan selamat. Akan tetapi, sesaat sesudah sampai, tiba-tiba hujan tiba dengan derasnya. Kami berteduh di tempat istirahat yang tersedia di sekitar area.
Kami melanjutkan perjalanan ke tempat-tempat wisata di Bali. Kami masuk ke perkampungan yang masih lekat dengan budaya asli. Kami mandi bersama penduduk kampung di kolam air pancuran. Airnya bening dan dingin. Laki perempuan mandi satu kolam. Para perempuan bertelanjang dada. Ester agak ragu melepas pakaianya.
”Kenapa ragu? Bukalah bra kamu,” candaku, “lihatlah mereka, begitu menikmati kebebasan alam yang diberikan Dewata untuk umatnya.” Aku menahan tawa.
Tentu saja saya berharap Ester tidak melepas bra yang dipakainya. Dia turun ke kolam dengan bikini dan bra masih menempel di badan. Namun beliau tidak bisa jauh dariku. Ester berlindung di balik punggungku bila ada laki-laki kampung yang mendekatinya.
Kemudian, kami mendaki bukit. Sesampai di atas, Ester merentangkan tangan dan berteriak, “Hai duniaaa… Inilah aku! Bulan depan saya akan meninggalkan negeri ini untuk terbang tinggi ke negeri orang. Aku terbang untuk menjadi belahan dari orang-orang hebat yang menghargai waktu dan bekerja keras di usia muda, untuk menikmati hari-hari senang dimasa tua!”
Kuperhatikan tingkahnya dari belakang dan saya tersenyum. Dia berbalik, berlari ke arahku kemudian memelukku dengan erat, “Jakaa…” serunya riang. “Kamu yakni sahabat terbaikku, Ja. Aku akan selalu merindukanmu. Jangan pernah melupakanku, ya?” Sambungnya tanpa melepas pelukan. Udara senja yang sejuk di atas perbukitan, membuat kami terhanyut dalam lamunan. Kami bersedekat dan membiarkan angan membumbung tinggi ke langit. Bayangan matahari berubah menjadi menyerupai bongkahan emas raksasa yang tersembunyi di balik bukit. Burung-burung melintas, terbang pulang ke sarang dan Ester melepas pelukan. Lalu beliau bertanya dengan bunyi manja, “bagaimana dengan bisnismu, Ja?”
“Sejauh ini baik namun saya galau lantaran dollar terus menguat. Aku tidak tahu tiga tahun kedepan, apa yang bakal terjadi. Mungkin negeri ini akan gulung tikar lantaran dollar terbang ke langit meninggalkan rupiah yang terpuruk ke lubang lumpur.”
“Tiga tahun lagi? Artinya tahun 1998, ya? Kau yakin?”
“Entah!” Sahutku sambil mengangkat bahu.
“Kalau terjadi apa-apa di negeri ini, jangan lupa temui saya di Hong kong, ya?” Kata Ester sambil memegang pipiku. “Berjanjilah,” katanya lembut. Ujung jemarinya mencubit pipiku. Dia meyakinkanku dengan wajah manja. Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Malam turun perlahan menyelimuti perbukitan dengan kegelapan. Bintang-bintang mulai beraksi, saling berkompetisi memamerkan keindahannya. Kami memutuskan untuk kembali ke hotel sesudah mengucap janji bahwa kami akan selalu menjadi sahabat.
Di hotel, Fernandez dan Tomasi sudah mananti di restoran untuk makan malam. Sesuai janji yang telah di sepakati, kami akan menikmati kebersamaan malam ini sepuas-puasnya. Karena pukul sepuluh esok pagi, kami harus kembai ke Jakarta.
Tomasi membawa kami ke tempat karaoke yang tersedia di hotel. Di ruang karaoke itulah kami mencicipi kehangatan bersama Tomasi. Berkali-kali beliau membawakan lagu dengan apiknya sambil berdansa dengan Ester. Aku dan Fernandez mengikuti tarian itu dengan gelas minuman di tangan. Usai sebah lagu dilantunkan oleh Tomasi, kami saling berpelukan dan tak henti tertawa. Sungguh, malam itu yakni malam yang menyenangkan.
Menjelang dini hari, kami sudahi keceriaan di kamar karaoke. Aku menuntun Ester kembali ke kamarnya lantaran beliau tidak bisa berjalan stabil. Ester mabuk berat! Tomasi dan Fernandez masih melanjutkan pembicaraan di kamar Fernandez. Aku merebahkan Ester di tempat tidur dan menyelimutinya. “Mengapa tidak temani saya tidur, Ja?” terdengar bunyi Ester parau. Aku hanya tersenyum, mematikan lampu dan berlalu dari kamarnya.
Sebulan semenjak wisata ke Bali itu, Ester mengabarkan padaku bahwa beliau diterima bekerja di bank investasi di Hong Kong. Sejak itu pula aku jarang bertemu dengan Fernandez lantaran beliau pindah ke apartement yang cukup jauh dari kantorku. Lagi pula Fernandez jarang ada di Jakarta. Dia sering melaksanakan travelling ke luar kota. Entah apa yang beliau lakukan. Walau saya tahu sedikit perihal bisnisnya yang katanya bergerak di bidang riset tambang emas. Tetapi saya tidak tahu niscaya bisnisnya yang sesungguhnya. Disamping itu, keadaan ekonomi Negara semakin mengarah kepada pelemahan pertumbuhan lantaran kurs rupiah yang terus melemah. Aku sibuk mencari solusi merestruktur hutang perusahaanku yang bermata uang dolar.
Beriring berjalannya waktu, saya sering kali merindukan Ester. Rindu kebersamaan yang indah tanpa ada beban kecuali kami menikmati persahabatan yang tulus. Ester, kuharap kau baik-baik saja di tempat dan pekerjaan barumu. Gumamku dalam hati.
Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/