Memburu Harta (10)


Harapan yang begitu besar, dengan harapan yang juga begitu indah, tentu semuanya terlihat begitu menyenangkan. Namun ketika harapan itu hancur, yang terbentang ialah awan gelap di depan mata. Seolah mencakup segala pandangan dan suasana hati. 
Kegelapan itu pula yang kurasakan ketika menginjakkan kaki di rumah sehabis menempuh penerbangan panjang dari Swiss. Aku merasa hancur. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskan semua ini kepada Budiman yang tentu selalu menanti untuk sebuah harapan. Rasanya saya ingin mengutuk diriku sendiri atas segala kebodohan, kenapa begitu gampang terjebak dalam permainan yang tidak ku pahami. Awalnya begitu gampang tapi pada jadinya hanya hingga pada ruang tanpa ujung. 
Dalam tekanan kekecewaan dan rasa bersalah, tak ada yang bisa kulakukan kecuali berserah diri kepada Tuhan. Semua telah terjadi. Ini semua tentu ada hikmahnya dari Tuhan. Setidaknya, lewat insiden ini keimananku diuji untuk nrimo dan sabar, dan mencar ilmu dari kesalahan.
Ketika kuceritakan semua kepada istriku selama sepuluh bulan di luar negeri. Dia hanya tersenyum. Dengan wajah teduh istriku berkata, “tidak usah dipikirkan. Rejeki itu urusan Tuhan. Yang penting kau sudah di rumah. Anak-anak membutuhkanmu. Ketika kau tidak di rumah, Istri Budiman di setiap kesempatan selalu menelephon, meminta saya untuk bersabar.” 
“Tapi saya gagal. Aku merasa bodoh sekali, Ma”
“Jangan mengadili dirimu sendiri. Syukuri saja apa yang kini kita punya. Kamu punya keluarga yang selalu mencintaimu dan menantimu dalam sepajang waktu. Dulu, saya ingin kau jadikan istri lantaran semangatmu untuk bertanggung jawab mengemban hidup yang tidak ramah bagi orang menyerupai kau yang tidak berpendidikan tinggi. Aku tetap yakin kau berkah dari Tuhan yang harus saya syukuri.”
 Istriku melamun namun senyumnya masih menghias wajahnya.Seakan meyakinkanku bahwa semua akan baik baik saja.
“Papa,tahu “seru istriku.Aku memperhatikan dengan wajah haru akan perilaku istriku yang menyadarkanku untuk senantiasa bersyukur “Setiap hari saya berdoa biar kau diberi kekuatan ditengah kesulitan yang kau hadapi. Aku tahu kau menghadapi resiko diluar sana. Tidak semua orang tulus terhadapmu. Aku berdoa biar kau bertemu dengan orang orang yang mencintaimu dengan tulus. Melihatmu dari pribadimu yang selalu berniat baik. Andaikan itu ialah wanita  yang menjadi sahabatmu maka saya berharap ia ialah orang yang tidak memanfaatkan kelemahanmu sebagai pria, yang jadinya membuatmu hancur.Aku berharap ia ada untuk menjagamu dan mengertimu. Andaikan sahabatmu adalah  pria, saya berharap ia ialah orang yang dikirim  Tuhan untuk mejagamu dengan cinta dan ketulusan. Apapun hasilya saya ingin kau tidak hingga merugikan siapapun. Aku dan anak anak baik baik saja. Kami dirumah engga butuh harta berlebih. Kami hanya ingin kau kembali kerumah menemukan sorga  kecil yang kau bangun dengan keringat halalmu..ya kan sayang..”
Aku memeluk istriku dan betapa ketika itu saya sangat merindukannya. Aku merindukan seorang perempuan yang telah memberiku dua orang anak. “Udahan ya, dengan kegundahannya?” bisik istriku lembut. “Anak-anak membanggakanmu. Jangan hingga mereka tahu kamu  lemah!” Sambung istriku lagi. Aku mengangguk.
***
Sehari berada di rumah, saya sudah bisa berdamai dengan kenyataan. Aku harus bangun kembali dan terus melawan. Saat ini, saya kembali teringat kata-kata dari pimpinan Global Aset Management perihal ‘The Fed’ dan ‘mereka tidak cooperative’. Tentu yang dimaksud ialah Bank Sentral Amerika. Dan ini ada hubungannya dengan pemerintahan Amerika. Walau saya punya pengetahuan cukup perihal dunia keuangan, namun soal hubungan pemerintahan ialah hal gres bagiku. Keinginanku untuk berbuat sesuatu, tampaknya akan berakhir di jalan buntu. Pikiranku hampir mentok. Bagaimana mungkin, diriku sendiri akan melawan sebuah pemerintahan?
Tiba-tiba saya teringat pada sahabatku Amir, yang sedang berkarir di pemerintah bidang keuangan. Aku yakin, Amir tentu bisa memberi klarifikasi cukup perihal keberadaan Bank Central itu. Atau setidaknya, Amir bisa menyebarkan kisah perihal segala gosip antar pemerintahan yang ia tahu. Ya, saya harus menghubungi Amir. Hanya Amir yang mungkin bisa dimintai tolong.
“Hai, Amir, bisakah kita bertemu hari ini?”
“Ada apa, Jak?” Terdengar balasan dari seberang telepon.
“Penting untuk kau ketahui, saya sedang ada masalah. Please....
“Oh,” bunyi Amir terhenti sejenak. Sepertinya ia sedang berpikir sesuatu. “Baiklah. Dalam dua jam kau bisa menemuiku di Hotel Grand Hyat.”
Aku yakin, Amir akan membantuku. Kami ialah sahabat lama. Banyak hal yang menciptakan kami bisa menjadi sahabat karib. Dia saudara muslimku. Kami menentukan berkarir dalam dunia yang berbeda. Amir menentukan menjadi birokrat dan ketika ini sudah menjadi pejabat tinggi. Sementara aku, menentukan dunia bisnis dan kini menjadi konsultan.
Di restoran hotel Grand Hyat, saya tiba lebih awal. Aku sanggup melihat langkah Amir ketika masuk ke dalam restoran.  Aku segera menyambutnya, “kamu nampak sangat luar biasa dengan pin yang tersemat di dadamu.”
“Ah biasa saja. Tidak ada yang luar biasa,” jawab Amir. 
“Tanda emas yang melekat di dadamu itu,” kataku tersenyum, sambil menunjuk lambang status pejabat tingkat tinggi di Republik ini. Sebuah simbol yang menciptakan Amir tampil menjadi segelintir orang yang mengontrol jutaan manusia. “Itulah yang luar biasa, saya besar hati dengan kedudukanmu sekarang.”
Amir hanya tersenyum menatapku. Dia kenal betul siapa aku. “Bagaimana rasanya sehabis reformasi,” tanya Amir mengalihkan pembicaraan.
“Entahlah!” Jawabku  singkat.
“Kok, entahlah? Bukankah kini jauh lebih baik? Ada kebebasan dan iklim demokrasi tersebar kemana-mana.”
“Demokrasi atau apalah, itu hanya cara lain bagi tampilnya tiran yang lain. Tidak lebih!”
“Kok, kau jadi skeptis begitu, sih?” Kata Amir dengan tersenyum. “Sejak diamandemennya Undang-Undang Dasar 45, memang kesannya negara kita menjadi negara paling demokratis di dunia. Meski  tentu dengan segala resiko menghadang di depan.” Sambungnya
“Sebetulnya tidak perlu ada amandemen Undang-Undang Dasar 45. Yang perlu diamandemen itu ialah mindset para elite biar sadar-sesadarsadarnya bahwa kekuasaan itu ialah amanah. Tak ada yang salah dengan Undang-Undang Dasar 45. Apalagi dengan Pancasila.”
“Maksud kamu?” Amir terpancing dengan cara berpikirku.
“Setiap elite berkata lantang kalau ditanya soal NKRI. Jawaban mereka terang dan tegas: ‘NKRI harga mati’ atau ‘tak bisa ditawar’. Memang demikianlah adanya. Dulu ketika Indonesia diproklamirkan, konsep negara kesatuan bukanlah konsep yang gampang untuk dicetuskan. Rapat maraton dalam PPKI berlangsung alot. Satu sama lain bersitegang soal kesatuan. Pertanyaan fundamental yang sulit dipecahkan ialah apa yang mengharuskan kita bersatu? Sumatra tidak punya kepentingan apapun bila harus bergabung dengan jawa. Begitu pula dengan Jawa,  Kalimantan dan lainnnya berpikiran sama.
Tapi sejarah mencatat, para tokoh pendiri negara kala itu, berhenti berbeda pendapat ketika ruh agama disampaikan ke depan. 
Yang mempersatukan kita ialah ‘agama’. Agama kita mengenal satu Tuhan, artinya hanya satu pengabdian, satu tujuan. Lalu, mengapa kita harus berbeda bila tujuan hidup kita sama? Mengapa? Demikian terang Muhammad Yamin yang kemudian dijabarkan oleh Soekarno. 
Konsep ini kemudian diamini oleh Agus Halim, Hatta dan tokoh Artikel Babo. Perbedaan suku dan budaya tak lagi dibahas bila sudah menyangkut agama. Itulah sebabnya ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ ditempatkan di sila pertama Pancasila. Barangkali, kitalah satu-satunya negara di dunia yang menyebabkan Tuhan sebagai dasar bernegara dan menempatkannya di urutan pertama dalam falsafah negaranya.
Mengapa ketika agama dikedepankan, serta merta semua pihak sepakat bersatu dalam bentuk negara kesatuan?  Jawabannya sederhana. Bahwa setiap agama mengajarkan satu hal yang sama, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Tidak ada agama yang mengajarkan keadilan yang subyektif dan relatif. Tidak ada! 
Adil dan beradab itu, begitu tinggi nilai dan maknanya. Di dalamnya terkandung cinta dan kasih sayang. Mengajarkan untuk berbuat atas dasar cinta untuk memanusiakan manusia. Manusia memang harus bekerja untuk mendapat rejekinya dan memang itulah keadilan. Tapi membayar upah dengan harga sangat murah ialah tidak beradab. Sekolah juga ialah hak dan keadilan bagi semua orang tapi menyuruh orang membayar uang masuk akademi tinggi dengan harga mahal, itu tidak beradab namanya. Diakui ataupun tidak, perbedaan kelas dan terciptanya jurang yang teramat lebar antara si kaya dan si miskin merupakan bentuk dari tidak adanya kemanusiaan yang adil dan beradab di negeri ini. Adakah kita termasuk di antara mereka yang kehilangan keberadabannya? Hanya hati kita yang bisa menjawabnya.
Bila ‘Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’ sanggup ditegakkan di negeri ini, maka niscaya persatuan dan kesatuan akan terbentuk dengan sendirinya. Cinta tanah air dan bela negara akan menjadi ruh kehidupan berbangsa dan bernegara. Jangan kita sesali bila Papua bergolak. Itu lantaran rasa kemanusiaan yang adil dan beradab tidak dirasakan oleh rakyat Papua. Mereka menyaksikan setiap hari Freeport menguras hasil bumi mereka, tapi kehidupan mereka masih saja miskin dan terbelakang. Ini satu contoh. Tanyalah pula rakyat di Pulau Sipadan perihal keberadaan Republik ini. Nyatanya, sehari-hari kebutuhan pokok mereka didapat dari Malaysia, dan mereka lebih mengenal ringgit dari pada Rupiah.
Ketika ‘Persatuan Indonesia’ dilandasi rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, dimiliki oleh seluruh rakyat maka kepemimpinan akan benar-benar dipercayakan kepada elite. Mereka segelintir orang yang lahir dari proses kepemimpinan yang berakar dari bawah. Mereka menjadi inpirasi bagi publik sebagai teladan hingga jadinya melahirkan aspirasi kolektif. 
Para elite ini bersikap dan berbuat menurut hikmat dan kebijaksanaan, yang merupakan perpaduan kehalusan nurani dan kekuatan pikiran untuk cinta, keikhlasan. Tidak ada menang kalah dalam pengambilan keputusan. Semua dimusyawarahkan untuk menghasilkan mufakat. Semua berpihak kepada kebenaran bukan pada golongan atau kepentingan. 
Tapi lihatlah kini. Elite politik menyerupai sedang berdagang dengan amanahnya. Pemerintah pun sudah bergaya menyerupai broker national resource bagi pihak asing. Para penegak aturan mengabdi di atas keadilan subyektif. Ini semua lantaran kekuasaan yang didapat dari hasil membayar. Dan kepemimpinan sudah jauh dari hikmat kebijaksanaan.
Seandainya para elite kekuasaan terdiri dari orang-orang yang amanah menurut hikmat dan kebijaksanaan, tentu ‘Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia’, akan segera terjelma. Namun bila Pancasila hanya menjadi jargon politik saja, maka  mengawal NKRI akan melulu berujung dengan bedil!
Tidak akan ada kesatuan dan persatuan dibawah sistem yang jauh dari agama. Sejarah telah membuktikan, dan kisah bangsa-bangsa jadi saksinya. Kalaupun ada maka itu ialah keterpaksaan saja. Terpaksa nrimo lantaran sudah terlanjur. 
Semoga kita menyadari falsafah Pancasila sebagai perilaku hidup berbangsa dan bernegara. Karena bila gagal, maka terlalu mahal taruhannya bila hingga terjadi perang kelas. Tak akan ada yang bisa meleraikannya. Karena agama sebagai pemersatu dan pendamai sudah terkaburkan. Jangan jadikan Pancasila hanya sebatas jargon. Jangan!” Jelasku panjang lebar.
“Wah kau andal ya. Nggak nyangka pengusaha yang jauh dari ring politik bisa berpikir menyerupai seorang politisi hebat,” puji Amir sembari tertawa. “Oh, ya. Apakah yang penting itu?” Tanya Amir.
“Baiklah. Aku ingin kau tahu semua ini.”
“Apa itu?” Amir tampak penasaran.
“Seseorang telah menggiringku ke sebuah transaksi beresiko. Ini dunia gres bagiku namun menjanjikan keuntungan yang luar biasa besar.” Aku menghentikan kata-kata. Menghisap rokok dalam-dalam sambil membuang muka. Sementara Amir tetap memperhatikanku. Menanti kalimat berikutnya.
“Mir, hanya kau yang bisa membantuku.”
“Sebutkan, apa yang harus saya kerjakan? Tapi, apa masalahmu sebenarnya?”
“Ini, kau bisa lihat sendiri!” Aku mengeluarkan setumpuk dokumen dari dalam tas.
Amir tampak berkerut kening. Sesekali ia melita ke arahku dengan tatapan bingung. Aku yakin, sehabis membaca dokumen yang saya sodorkan, Amir akan berkesimpulan bahwa saya telah masuk ke ‘dunia lain’ dari sistem yang ‘lain’ dalam dunia keuangan global. Ini ialah transaksi yang sangat langsung dan tidak semua orang bisa mempunyai akses. Amir mungkin menyadari bahwa saya tidak sedang mengadu peruntungan. Tapi lebih dari itu, saya telah memasuki dunia yang tidak lagi melihat uang sebagai tujuan. Transaksi yang kuhadapi ialah cuilan dari sumber kekuatan besar untuk menguasai dunia dan mengarahkan banyak negara dalam satu jaringan, yang dikendalikan oleh grup raksasa.
“Bagaimana kau bisa hingga melaksanakan ini semua?” Tanya Amir keheranan. Dan dugaanku benar.
“Itulah,” saya mengusap kepala, “aku sendiri tak pernah membayangkan akan terjebak ke dalam transaksi ini. Semua hanya lantaran saya ingin mendapat exit atas hutang temanku di Singapore. Ini cuilan dari sketsa pembiayaan untuk menuntaskan masalahnya di Otoritas Penyelesaian Utang.”
“Siapa yang kau maksud dengan sahabat itu?”
“Budiman.”
“Oh. Mengapa pula kau hingga harus bersusah payah membantunya?”
“Dia ialah sahabatku dan saya kenal betul visinya untuk membangun negeri ini. Kamu bisa lihat, tidak ada yang berubah dari ia walau usahanya berkembang pesat. Dia tetap sederhana dan amanah. Aku hanya tidak ingin orang baik menyerupai ia hancur lantaran negara tidak bisa berbuat sesuatu. Lagipula ia sudah keluar dana besar untuk membiayai transaksi ini.”
“Okelah, itu problem personal. Lalu, siapa yang mengenalkanmu dengan dunia ini?”
“Relasiku di Swiss.” Aku memegang tangan Amir, “tolong aku, Mir. Pleace…”
“Baiklah. Aku akan berusaha untuk membantumu. Akan kucarikan jalan keluar. Hanya saja, mesti kau ingat, bahwa masalah ini bukanlah hal yang biasa bagi kebanyakan orang.”
“Oh!” Aku bingung, “apa maksudmu?”
“Sebetulnya transaksi ini hanya di-block, kelihatannya key player dalam transaksi ini sengaja mem-block transaksimu. Yang jadi pertanyaannya adalah, why? Sepertinya ada sesuatu yang abnormal dan tidak lazim.”
“Aneh apanya?”
“Kita akan mengetahuinya kemudian. Aku akan gunakan susukan formal internasionalku sebagai pejabat negara untuk mencari tahu perihal ini.”
“Terima kasih, Mir. Terima kasih!” Seruku sambil memeluk badan Amir. “Kamu memang sahabat terbaikku.”



Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/

Artikel Terkait