Memburu Harta (17)

Sudah hampir sebulan saya di rumah. Sementara upaya somasi di pengadilan New York belum ada kabar lanjutan. Hidup memang misteri. Sebagaimana bahaya Amir terhadap posisiku jika melawan kekuatan group tanpa wujud itu. Apa yang harus ditakuti? Kematian? Bukankah semua orang niscaya mati? Ini hanya soal waktu saja, kapan ia akan datang. Tak peduli sebegitu kerasnya insan menghindar, namun simpulan hidup tetap saja tak bisa di elak. 
Lagi pula, tak ada insan yang berumur lebih dari seratus tahun. Kalaupun ada, itu hanya segelintir. Dan sedikit orang itu pun sama, menghabiskan setengah dari waktu hidupnya sebagai belum dewasa yang tak berdaya atau orang bau tanah yang sudah pikun. Dari waktu yang tersisa, setengahnya dihabiskan untuk tidur atau terbuang di siang hari. Selanjutnya dari sekian waktu yang tersisa dari itu, masih juga didera rasa sakit, kesedihan, dendam, kematian, kerugian, kekhawatiran serta rasa takut. Dalam kurun waktu sepuluh tahun atau lebih, boleh dikatakan tidak hingga satu jam seseorang sanggup mencicipi kedamaian dalam diri sendiri dan lingkungannya.
Bila demikian adanya, kemudian untuk apakah saya hidup? Apa kesenangan yang sanggup diperoleh dari kehidupan itu? Apakah saya hidup hanya untuk menikmati keindahan serta kekayaan? Atau untuk menikmati keindahan bunyi dan warna warni alam? Bukankah ada saatnya ketika keindahan dan kekayaan itu tidak lagi bisa menyenangkan hati, dan ada pula saatnya ketika bunyi dan warna menjadi sesuatu yang mengganggu indera pendengaran dan mata. 
Apakah saya hidup untuk takut, sehingga gampang diancam oleh Amir? Aku tak ingin membiarkan diriku hidup dalam kebanggaan demi memuaskan sahabatku. Aku  harus mencari cara, bagaimana biar nama baikku tetap dikenang sesudah kematian. Aku tak ingin melintasi dunia dengan banyak sekali hal remeh. Seperti yang selama ini ku lihat, dengar, berpikir menurut prasangka-prasangka, mengabaikan kenyamanan hidup, hingga tanpa sadar ternyata saya telah kehilangan segala-galanya.
Hanya orang tolol yang percaya bahwa kehidupan dan simpulan hidup tiba secara kebetulan dan tiba-tiba. Hidup yakni proses dan semua orang harus melewati proses guna mencapai tujuan. Soal kematian, yakni sesuatu yang harus disadari sebagai kepingan dari takdir manusia. 
Aku sadar, bagi mereka yang memahami kehidupan tidak akan mengupayakan sesuatu yang tidak diberikan oleh kehidupan. Mereka yang memahami kekuasaan Allah tidak akan mengupayakan sesuatu yang berada di luar jangkauan takdirnya sendiri. Memahami yakni puncak dari keimanan. Kelemahan insan terhadap sang waktu. Keseharian yang terisolasi dari kedekatan dengan Allah. Walau begitu tebal awan hitam membentang di depan mata, tapi tetap saja ada hal yang sedikit menggembirakan. 
Lawyerku sudah berupaya meminta kepada US Treasury untuk menerbitkan bukti bagi eksistensi transaksiku, yang didasarkan pada kontrak legal yang dibuatnya dengan pihak Global Asset Management serta legalitas yang didapat dari SEC ketika transaksi ini akan dijalankan. Meski hasilnya belum juga nampak. Dan ketika saya bertanya kepada sang Lawyer, saya selalu menerima tanggapan yang sama, “tunggu!”
Catty belum menghubungiku lagi. Email dan telepon dariku tidak pernah menerima respon. Kecuali email dari Ester yang setiap hari datang. Ada perasaan khawatir perihal Catty tapi saya tidak bisa berbuat banyak. Chang juga tidak pernah ada komunikasi apa pun. Lien juga. Pria ex KGB pun tidak menghubungiku. Semua nampak menyerupai tidak pernah tejadi apa-apa sesudah pertemuan terakhirku dengan Amir di Hong Kong.
Dalam penantian itu, saya teringat dengan isi salah satu dokumen yang menyebutkan kalimat dalam bahasa Sansekerta. Aku mencoba melihat copy dokumen itu kembali. Memperhatikan barisan kalimat yang tidak kumengerti. Setelah berpikir sejenak, jadinya kuputuskan untuk mendatangi perpustakaan Nasional, coba mencari informasi perihal kalimat itu. Setidaknya dari kumpulan goresan pena sejarah tempo dulu mungkin ia akan mendapatkan info berharga perihal makna di balik goresan pena itu.
“Tulisan ini ada hubungannya dengan babad tanah Jawa,” kata petugas perpustakaan, ketika saya memperlihatkan copy dokumen. “Anda bisa baca buku perihal babad tanah Jawa dan sejarah masuknya Islam di Indonesia,” lanjut sang petugas ramah.
Petugas itu kemudian melangkah ke salah satu rak buku. Satu persatu buku yang bekerjasama perihal babad tanah Jawa dan sejarah Islam diberikannya padaku. Ada lebih dari lima belas buku yang ditumpuk di meja baca.
Setelah seharian membaca buku tersebut, saya mencoba menarik benang merah dongeng Catty perihal keterlibatan bangsa Arab dan Cina serta hubungannya dengan dinasti di Nusantara. Tulisan bahasa Sansekerta yang ada pada dokumen, meski tidak terlalu bisa dimengerti, tapi sanggup dipastikan adanya relasi ketiga bangsa tadi. Dengan adanya goresan pena Arab, Cina dan Sansekerta memperlihatkan bahwa telah terjalin kerjasama yang berpengaruh antara ketiga bangsa ini sedari dulu, khususnya soal pengaturan harta bagi kepentingan ekonomi global. 
Bisa jadi, kedatangan Fernandez ke Indonesia yakni untuk mencari benang merah kepemilikan decade asset itu. Apalagi ia juga bekerjasama dengan Catty yang sedikit banyak mengetahui petunjuk perihal decade asset
Lalu, apa bergotong-royong motivasi Fernandez melacak decade asset hingga ke Indonesia? Apakah atas kemauannya sendiri atau untuk mendapatkan manfaat decade asset itu demi kepentingan diri sendiri? Atau memang tulus untuk menegakan keadilan? 
Yang pasti, dokumen itu menandakan bahwa bangsanya yakni kepingan dari penguasa dunia tempo dulu yang menguasai harta tak ternilai. Bangsa Indonesia secara genetik memang mempunyai DNA sebagai bangsa besar. Maka tidak seharusnya berkiblat kepada budaya barbar dari Barat yang hanya mementingkan uang dan memakai segala cara untuk berkuasa, walaupun dengan menindas bangsa lain.
Dalam buku itu disebutkan bahwa pada Bulan XI tahun 1292 tentara Kubhilai Khan yang meninggalkan Fukien, Kiangsi dan Kukuang tiba di Sungai Mas, Jawa Timur, pada tanggal 3-3-1293. Namun pada tanggal 19-4-1293, mereka dihancurkan oleh tentara Raden Wijaya yang kemudian naik tahta sebagai penguasa pertama di Majapahit pada tanggal 12-11-1293 dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana.
Buku itu juga menyebutkan bahwa wilayah kedaulatan Majapahit berada di selatan daratan Cina, yang mencakup wilayah Republik Indonesia dikala ini, Campa, Semenanjung Peninsula (Malaysia), Tumasik (Singapura), Kalimantan Utara, dan Timor Timur.
Pada tahun 1368 utusan Prabu Hayam Wuruk (1351-1389) berkunjung ke Peking guna menghadap Kaisar Hung Wu dari Dinasti Ming. Tahun 1370, Kaisar Hung Wu berbalik mengirim utusan ke Majapahit, dan berlanjut pada tahun 1375 dan 1377. Mungkin pada dikala itulah terjadi kerjasama erat di bidang perdagangan dan ekonomi, sehingga harta kerajaan Nusantara ditempatkan di Eropa di bawah sistem pengawasan dari Cina.
Hubungan kerjasama itu tidak terjadi hanya di era Majapahit tapi bahkan sudah berlangsung semenjak berabad sebelumnya. Dalam catatan sejarah, sebetulnya semenjak sekitar kala ke-1 Masehi telah terjalin lintas budaya Cina dan Indonesia, lantaran memang Jalur Sutera ke Konstantinopel berpangkal pada jalur pelayaran dari Ternate dan Tidore, sebagai sentra produksi rempah-rempah.
Masuknya Islam ke Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dari misi kebudayaan Cina yang mengirim Laksamana Cheng Ho dalam dongeng pelayaran paling spetakuler pada tahun 1406 M. 
Bahkan bergotong-royong terhitung semenjak kala ke-7 M, penyebarluasan syiar agama Islam ke wilayah Asia telah diprakarsai Sa’ad bin Abi Waqqas, tidak usang sesudah penguasaan Mekah oleh Rasulullah Muhammad SAW. Peta syiar agama Islam di Indonesia berawal dari Aceh, Samudera Pasai, Kedah, Malaka, Singkil, Barus, Pariaman, Palembang, Bengkulu, Banten, Demak, Giri, Goa, Tanjungpura, Banjar, Kutei, Brunei, Sulu, Mindanau, Ternate, Tidore, Gorontalo, Hitu, Dompu, Jailolo, Irian, dan Bintan. Makara masuknya efek Islam dari misi kebudayaan Cina bukanlah sesuatu yang gres bagi bangsa Indonesia ketika itu. 
Selanjutnya seiring semakin melemahnya efek agama Hindu dan Budha dari Kerajaan Majapahit, Sriwijaya dan Sunda, bermunculanlah Kerajaan-Kerajaan Islam di bekas wilayah kekuasaan Majapahit. Kerajaan Islam selanjutnya menguasai hampir sebagian besar Nusantara di era Kesultanan Mataram.
Peradaban Cina yang dikenal dengan peradaban lembah Kuning sudah ada semenjak 3000 SM. Sementara Indonesia atau Nusantara sudah ada semenjak 2000 SM. Lebih kuno lagi yakni Peradaban lembah Nil yang sudah ada semenjak 3400 SM. Bandingkan dengan Eropa yang tercatat gres ada semenjak 600 SM. Artinya bangsa Cina, Arab, Indonesia, jauh lebih dulu menjadi bangsa beradab sebelum bangsa Eropa lahir. 
Itulah sebabnya bahasa Arab dengan goresan pena Arabnya yang begitu indah dan goresan pena Cina yang melambangkan relasi antara insan dengan alam, serta goresan pena Sansekerta yang memadukan keyakinan ketuhanan dengan lingkungannya, sangat berbeda dengan goresan pena latin yang lebih modern. Juga kemudian tidak asing jika penyebaran efek Arab, Cina dan Indonesia ke seluruh tempat taklukannya disebarkan dengan cara yang lebih beradab tanpa memakai kekuatan senjata. Lebih sering memakai efek asimilasi budaya dan agama.
Dapat disimpulkan, bahwa globalisasi sejatinya bukanlah suatu hal yang baru. Ini sudah dilakukan jauh berabad-abad sebelumnya oleh bangsa Arab, Cina dan Indonesia lewat misi perdagangan dan budaya. Sebagaimana tumbuh pesatnya peradaban di wilayah jalur perdagangan sutra, yang dipelopori oleh bangsa Cina, Indonesia dan Arab. Ketiga bangsa Inilah yang menjadi pencetus lahirnya peradaban di planet bumi ini. Termasuk memperlihatkan pencerahan bagi bangsa Eropa yang masih tergolong bangsa barbar ketika itu. 
Globalisasi bagi bangsa Cina, Arab dan Indonesia ketika itu yakni cara untuk saling menebarkan perdamaian, membangun peradaban yang lebih baik di bidang perdagangan, ilmu pengetahuan dan agama.
Tapi semua itu yakni masa lalu. Rusaknya peradaban Asia belakangan ini tak bisa dilepaskan dari eksistensi bangsa Semit. Bangsa yang pernah membangun peradabannya di Arab atau tepatnya Syria (Mesopotamia). Hingga kemudian pada tahun 330 SM, peradaban ini memudar dan hancur ketika kekuasaan Persia berdiri dan serangan dari bangsa Yunani. Namun bangsa Yahudi tidak hilang dari muka bumi. Mereka justru bertebaran ke segala penjuru. Ke selatan, ke utara, ke barat dan ke timur menjadi bangsa nomaden. 
Sampai suatu saat, sejarah mencatat bangsa Semit inilah yang menjadi penghasut terjadinya perang Salib, yang membenturkan Barat dan Timur. Utara dan Selatan. Membuat dunia tak lagi jadi tempat yang tenang untuk ditinggali. 
Dan ketika cahaya peradaban Timur mulai redup maka globalisasi dirubah maknanya oleh bangsa Barat pada awal kala 17, menjadi berupa kolonialisasi sumber daya alam yang dimiliki bangsa lain. Globalisai bagi mereka terletak pada ekspansi manfaat modal dan meningkatkan nilai modal lewat pemerasan bangsa lain. Itu semua tidak lain lantaran efek bangsa Yahudi yang ikut memperlihatkan ‘pencerahan’ bagi kemajuan peradaban bangsa Barat, hingga dikala ini.
Hari sudah beranjak sore. Aku pun segera bangun dari Gedung Perpustakaan Nasional. Sampai di rumah, saya sudah dinanti oleh istri di depan pagar. “Ada tamu di dalam,” kata istri sambil mengikuti  masuk lewat garasi samping. 
“Siapa?” tanyaku heran. 
Istriku hanya menggeleng. “Aku tidak pernah kenal tuh orang. Tapi ia kenal dengan Abang,” jawab istriku sambil melangkah ke dapur, menyiapkan minum untukku. Aku mengerutkan kening, bertanya-tanya siapa gerangan tamuku. Lalu segera menuju ke ruang tamu.
Tamuku yakni seorang laki-laki baya. Berusia kira-kira di atas enam puluhan. Berkopiah hitam dengan wajah yang sangat cerah, seolah memancarkan cahaya.
“Assalamu’alaikum, Nak Jaka,” sapa laki-laki itu, menyambutku tanpa ragu.
“Iya, waalaikumsalam,” jawabku bercampur kaget dan bingung.
Aku masih bingung. Siapa bergotong-royong laki-laki bau tanah ini? Sapaan tadi, menyiratkan seolah ia sudah sangat kenal denganku. Tapi sebaliknya, saya tak pernah kenal siapa tamuku ini. Pria bau tanah itu kemudian menatapku dengan seksama. Dari ujung kaki, naik hingga ke muka dan wajahnya selalu berhias senyum dikala memandangku.
“Ternyata persis sekali menyerupai yang ada dalam mimpi saya.”
“Maksud Bapak?”
“Wajah anda!”
“Oh, ya?” Aku terkejut, mengira-ngira barangkali orang bau tanah ini mengenalku dari orang lain yang ia kenal. “Dari mana Bapak tahu alamat saya?”
“Dari dalam mimpi.”
“Hm.... Apalagi yang Bapak ketahui perihal saya dari mimpi?” Tanyaku masih mencurigai dongeng laki-laki bau tanah ini.
“Anda lahir bulan Oktober, hari Senin.”
Tak alang-kepalang keterkejutanku dikala itu. Bagaimana bisa ia mengetahui semuanya? Akupun mulai mencicipi adanya keanehan, apalagi laki-laki bau tanah ini menjawabnya dengan enteng dan penuh senyum. Seolah ia benar-benar tahu dan yakin betul perihal diriku. Aku pun semakin heran, ketika nama orang tua, anak, dan istri disebutkan dengan tepat. Padahal saya sama sekali belum pernah bertemu dengan laki-laki ini. Aku juga tidak tahu siapa nama orang bau tanah ini.
“Siapa nama, Bapak?”
“Darsa.”
“Apakah semua itu Bapak ketahui dari mimpi?”
“Ya, betul!”
“Oh...”
“Tidak ada yang perlu dianehkan. Kebanyakan orang mungkin menganggap dunia hanyalah satu dimensi. Padahal sebetulnya dunia mempunyai beberapa dimensi. Dan bukan hal yang sulit untuk dijangkau antara satu dimensi dengan dimensi lain bagi orang yang terpilih. Inilah makna kebijakan dari Sang Maha Pemberi. Yang Maha Agung.”
Aku tidak begitu memahami apa yang dikatakannya. Tapi sepertinya, bagi laki-laki itu tidak terlalu penting. Dia tetap tersenyum dan menatapku dengan seksama.
“Nak,...” serunya. “Saya tiba kemari hanya ingin memberikan sesuatu yang harus anda ketahui.”
“Tentang apa, Pak?”
“Di dalam ada terang dan di luar ada kegelapan. Berjalanlah ke arah timur dan jangan melihat ke belakang. Karena di timurlah matahari terbit.”
Mendengar ucapannya itu, rasanya kepalaku menyerupai di sengat lebah. Aku nyaris melonjak dari tempat duduk dan hampir saja rokok di sela jariku terlepas. Pria bau tanah ini gres saja menyampaikan kalimat yang terdapat dalam dokumen decade asset. Siapakah laki-laki bau tanah ini? Aku ingin bertanya tapi laki-laki itu sudah melanjutkan kata-katanya. “Dia meminta saya untuk menuntun Nak Jaka, menemukan jalan menuju timur.”
“Siapa yang anda maksud dengan dia?”
“Ahmed Khalik.”
“Oh Tuhan!” Aku terkesiap. “Siapakah Bapak sebenarnya?” Pertanyaan itu terlontar begitu saja.
“Dia menanti Nak Jaka di Danau Angsa, tempat di mana Zou pernah berkuasa,” lanjut laki-laki ini tanpa menghiraukan pertanyaanku.
“Saya tidak mengerti.”
“Dia menanti Anda selalu.”
“Siapa ia itu?” tanyaku dalam kebingungan.
“Ahmed Khalik,” jawabnya sama.
“Pak, Ini kala 21. Ahmed Khalik hidup di kala ke 12,” sergahku tak percaya.
“Dia menanti Anda,” kata laki-laki itu tersenyum. “Hanya itu yang sanggup saya sampaikan. Saya akan selalu bersama Anda di mana saja.”
Pria itu kemudian bangun dari tempat duduknya, “Maaf, saya harus segera kembali.”
Aku hanya bengong dan tak sanggup bicara sepatah kata pun, hanya mengangguk dan membiarkan laki-laki bau tanah itu berlalu dari hadapan. Setelah laki-laki itu hilang dari pandangan, barulah saya tersadar, lupa menanyakan alamat. Peristiwa tadi berlangsung tidak lebih dari lima menit. Cepat sekali. Namun memberi arti yang sangat besar bagiku. Rupanya, pengejaran mencari kebenaran telah memasuki ruang dimensi lain. Sangat membingungkan.
***

Aku menyerupai berada dalam sebuah ruangan bernuansa serba hijau. Dengan kabut tipis menyelimuti seluruh ruangan, menghalangi pandanganku ke depan. Namun saya sanggup melihat dengan jelas, sebuah lingkaran cahaya yang berpendar begitu indahnya. Aku terpana. Cahaya itu terus berputar-putar secara teratur di hadapanku. Kemudian dengan cepat menerjang ke arahku. Aku mengedip lantaran silau. Semakin usang sinar hijau itu semakin mendekat dan menyerupai ingin mengurungku. Aku gentar kemudian kulindungi wajahku dengan kedua tangan dan, gelap!
Saat mataku terbuka, saya mendapati diriku sedang berada di suatu tempat yang belum pernah kukunjungi. Sepertinya saya sedang berdiri di atas perbukitan. Di bawah sana, terdapat panorama dari hamparan tumbuhan hijau yang sejuk dan sangat indah. Tak jauh dari tempatku berdiri, sebuah danau basah bening dengan banyak bebek berenang, bercengkrama bersama burung bangau di permukaannya. Kumpulan bunga teratai yang mengambang di permukaan danau kian menambah harmoni alam. Sungguh tempat yang sangat indah. Tapi tempat apa ini? Dimanakah saya berada? 
Seribu pertanyaan berlalu lalang di kepala ketika kulihat seorang laki-laki paruh baya keluar dari balik rimbunan pohon. Dia berjalan ke arahku dengan wajah berhias senyum. Dia mengenakan pakaian serba putih. Di atas kepalanya, tersemat sebuah peci yang juga berwarna putih. Dagunya dihiasi janggut berwarna keperakan, dengan pancaran raut wajah yang sangat teduh dan bersih.
“Dialah yang selalu menanti kedatangan Anda, nak Jaka,”  kata sebuah bunyi dari belakangku. Aku menoleh, dan nampak Darsa di sana. Pria misterius yang pernah mengunjungiku.
“Assalamualaikum, Anakku,” kata laki-laki itu menyapa. Ternyata laki-laki dengan pakaian serba putih itu sudah berada di hadapanku.
“Wa.. waalaikum salam,” jawabku gugup.
“Mari ikut bersamaku,” kata laki-laki paruh baya sambil melangkah pergi. Segera saya beranjak mengikuti langkahnya. Di balik rimbunan pohon yang tadi kulihat, ternyata bersembunyi pemandangan yang jauh lebih indah. Pepohonan hijau, padang rumput, gemericik air sungai dan sebuah rumah yang terlihat kecil dari kejauhan. 
Rumah itu ternyata yakni gudang tempat penyimpanan harta. Di dalamnya terdapat rak-rak penyimpanan emas batangan serta banyak sekali permata yang tersusun rapi di dalam gudang. 
“Inilah harta itu,” kata laki-laki paruh baya tadi. 
Aku memperhatikan satu demi satu rak-rak tersebut. Di setiap rak tertulis angka-angka Arab. Aku amati goresan pena tersebut, ternyata semua sama tulisannya. Aku mengambil pulpen dari saku, kemudian mencatat goresan pena itu di telapak tangan.
“Anakku, kau yakni orang kedua yang pernah tiba kemari. Dulu pernah ada juga anak muda yang datang. Tapi itu sudah usang sekali. Semoga Tuhan melindungimu, Nak. Jangan pernah takut melawan kezaliman di muka bumi ini. Karena Allah selalu bersama orang-orang yang nrimo berjuang menegakkan kebenaran. Ikhlaslah, maka bumi beserta alam semesta akan berbaiat kepadamu. Karena sejatinya, insan terlahir sebagai khalifah di muka bumi untuk menebarkan cinta dan kasih sayang. Maka tak ada alasan bagi mereka untuk tidak mendukung perjuanganmu.”
Selesai laki-laki itu berbicara, seketika itu pula saya menyerupai tersedot ke dalam pusaran waktu.  Aku tak benar-benar mengerti apa yang sedang terjadi namun yang pasti, saya menyerupai terjebak dalam sebuah lorong panjang dan gelap. Namun di depan sana, saya melihat titik cahaya dan kekuatan itu terus mendorongku ke arah cahaya. Ketika saya benar-benar telah melihat sebuah dunia yang terang benderang, laki-laki paruh baya itu sudah menghilang. Juga gudang harta itu. Yang tampak di hadapanku hanyalah laki-laki lain yang mengingatkanku perihal seseorang.
“Senang pada jadinya ada seorang anak muda yang akan meneruskan misi saya.”
“Siapa Anda?”
“Saya hanyalah seorang insan yang ditakdirkan melawan ketidakadilan dan kezaliman di muka bumi. Penjajahan hak yakni kejahatan serius yang selalu terjadi dari waktu ke waktu.”
“Penjajahan?”
“Ya,” jawab laki-laki itu tegas. “Apa yang menciptakan Indonesia disebut merdeka sesudah 350 tahun dijajah?” tanya laki-laki itu. Aku hanya terpana. Masih belum mengerti arah pertanyaan orang bau tanah ini. Apalagi, kelihatannya ia tidak butuh jawaban.
“Banyak tanggapan menganalisis istilah merdeka ini dari sudut budaya dan agama, yaitu kemampuan Indonesia merdeka dari tangan kolonialis asing. Tapi banyak orang lupa perihal hal  yang sangat fundamental dari sebuah kemerdekaan, yaitu persatuan dan kesatuan. Padahal, inilah kunci kemenangan bangsa ini dikala melawan bahkan mengusir para penjajah.
Dengan persatuan dan kesatuan, Belanda tidak bisa memakai politik sabung domba, hingga jadinya harus mendapatkan kenyataan untuk keluar dari Indonesia. Begitupula dengan Jepang. Untuk menjaga kekuatan persatuan inilah maka ruh Undang-Undang Dasar 45 terlihat sangat secara umum dikuasai berusaha menempatkan presiden sebagai sentra kekuasaan dalam pemerintahan dan Negara. 
Tujuannya adalah, menjaga seluruh eksponen bangsa biar tetap dalam satu barisan yang berpengaruh untuk melawan segala kemungkinan bentuk infiltrasi asing yang sanggup menggoyahkan sendi-sendi persatuan bangsa dan kedaulatan negara.”
“Apa yang menciptakan semangat persatuan itu bisa terjalin dengan kuat, padahal Indonesia terdiri dari banyak sekali etnis dan ribuan pulau?” tanyaku.
“Agama dan Budaya,” jawab orang bau tanah itu tenang. Kemudian melanjutkan, “para tokoh Agama tampil dan mencerahkan para cowok cendekia melalui pendekatan budaya. Budaya gotong royong dan rasa senasib sepenanggungan di bahasakan dalam sudut pandang agama. Cara ini berimplikasi sangat besar, ia berhasil menggugah semangat menegakkan keadilan melawan konolialisme dan memerangi segala bentuk topeng turunannya. Segera, Indonesia menjadi ikon usaha melawan penindasan kolonialisme di seluruh dunia. Lebih khususnya bagi negara-negara di Asia dan Afrika. 
Semangat persatuan inilah yang kemudian oleh pihak asing dijadikan sasaran utama penghancuran. Tak lain biar mereka sanggup kembali menguasai ibu pertiwi dengan mudah. Melalui sistem demokrasi dan sistem parlementer, umat Islam kehilangan rasa percaya terhadap pemimpinnya. Sehingga dengan mudah, mereka terpecah belah dalam barisan-barisan sektoral, yang katanya lahir atas nama semangat demokrasi dan pluralisme.
Terbukti sesudah Indonesia merdeka, sistem parlementer berhasil melucuti Soekarno sebagai presiden yang berkuasa tunggal sesuai nafas Undang-Undang Dasar 45. Ini terjadi hanya empat bulan sesudah kemerdekaan, tepatnya pada tanggal 14 Nopember 1945 dikala Indonesia memberlakukan sistem politik Perlementer.  Dengan demikian kekuasaan tunggal presiden menurut Undang-Undang Dasar 45 telah dilucuti secara konstitsional oleh KNIP. 
Sejak itulah Indonesia hidup dalam ketidakpastian dan dilanda kemiskinan parah. Tidak ada pembangunan. Susunan kabinet terus bergonta-ganti dan anggaran pemerintah mengalami krisis yang sangat parah. Keadaan ini berlangsung selama 14 tahun lamanya, dan berakhir pada 5 juli 1959 ketika Soekarno mengeluarkan dekrit untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 45. 
Alasan Soekarno waktu itu, lantaran revolusi Indonesia telah di sesatkan ke jalan yang salah. Yaitu lewat jalan demokrasi liberal yang kemudian dalam era globalisasi melahirkan aliran neo-liberalisme. Sebuah paham yang tidak sesuai dengan amanat kemerdekaan, yang notabenenya berdiri di atas pondasi persatuan dan kesatuan. Suatu hal yang tidak mungkin terwujud di dalam sistem demokrasi liberal.
Tiga tahun sesudah itu, yaitu pada tahun 1962, Soekarno berhasil merebut Irian Barat ke pangkuan Ibu Petiwi. Sebuah prestasi yang sangat gemilang dari tangan seorang presiden penguasa tunggal. Ia berhasil membakar semangat persatuan bangsanya untuk memerangi dan mengusir segala bentuk kekuatan asing dari republik ini. Sejak itu pula, bangsa ini menjadi bangsa besar yang berdaulat dan disegani oleh bangsa-bangsa lain. 
Jargon anti konolialisme dan anti neo-kolonialisme telah mengakibatkan Soerkarno disegani dan ditakuti pihak Barat. Apalagi ketika Soekarno mulai mengakibatkan Cina sebagai kawan untuk bahu-membahu melawan kekuatan Barat.
Namun pihak Barat yang notabenenya sangat berkepentingan di Indonesia tidak ingin Indonesia bersatu dan kuat, lantaran bisa menyulitkan operasi mereka. Maka taktik gres pun diluncurkan, dengan menggiring kelompok Islam yang merupakan komunitas terbesar di republik ini untuk menggoyang kekuasaan Soekarno. 
Cerdiknya, mereka mengakibatkan agama sebagai senjata makan tuan. Kalau dulu, para ulama berhasil menyatukan Indonesia dengan agama, maka dikala itu pihak Barat, juga memakai info agama untuk menghancurkan kesatuan. Dengan membangun kesatuan sektoral, untuk selanjutnya menghancurkan rezim penguasa yang tak disukai.
Isu Poros Jakarta – Beijing di citrakan Barat sebagai komunisme yang anti Agama. Menjadi alat yang ampuh untuk membakar semangat umat Islam biar keluar dari barisan. Kudeta terselubung pun berhasil dilancarkan. Diawali dari Penumpasan G30S, kemudian pengkhianatan Supersemar, hingga titik puncaknya pada sidang MPRS, dengan hasil keputusan TAP No. XXXIII/1967, yang selanjutnya melahirkan rezim Orde Baru.
Rezim Orde Baru kemudian dengan bangganya mengakibatkan Pancasila sebagai alat pemersatu emosi rakyat untuk membiarkan pemerintah leluasa berkolaborasi dengan pihak asing. Merampas seluruh kekayaan alam tanpa memberi manfaat yang luas bagi rakyat. Tidak ada perlawanan berarti dari rezim Soeharto terhadap pihak asing lantaran prosedur proteksi luar negeri yang sebelumnya diteken, memberi ruang lapang bagi para pejabat dan kroninya untuk berpesta pora menikmati korupsi. 
Namun Soeharto juga masih menjadi bahaya serius bagi asing, lantaran kekuasaannya yang masih begitu besar menurut Undang-Undang Dasar 45. Potensi kekuatan inilah yang menciptakan Seoharto juga harus dijatuhkan. Konspirasi pun dijalankan lewat kekuatan moneter internasional untuk merontokkan kekuatan ekonomi nasional. Dari yang sebelumnya dibanggakan dan disebut-sebut sebagai macan Asia menjadi loyo menghadapi tekanan rupiah yang terjun bebas hanya dalam hitungan hari.
Puncak keberhasilan asing dalam melemahkan persatuan dan kesatuan bangsa ini yakni dikala era reformasi yang bertekad bundar menelan penuh demokrasi ala Barat. Sistem multipartai dan keputusan Tap MPR perihal kekuasaan Presiden dalam hubungannya dengan kekuasaan dewan perwakilan rakyat telah mengakibatkan Presiden lemah. Kekuasaan dalam pemerintahan menjadi terdistribusi secara sistematis. Akibatnya, demokrasi di era reformasi, menggiring bangsa Indonesia ke ruang terbuka untuk diperalat oleh kekuatan globalisasi dan neo kolonialisme di segala bidang.
Lalu, bisakah sekarang kita sadari bahwa garis politik dan ideologi Bung Karno yang anti nekolim-neoliberalisme, atau pemikiran Pancasila dan Nasionalisme Kerakyatan yakni duri bagi pihak Barat yang ingin mengakibatkan bangsa ini kerdil? 
Juga politik persatuan lintas agama, suku dan etnis yang diserukan oleh Bung Karno sebagai usaha menuju masyarakat demokratik, damai, dan sejahtera menurut Pancasila, merupakan penghalang utama bagi kaum nekolim dan neoliberalis untuk mencapai tujuannya. Mungkinkah sekarang kita bisa menyadarinya?”
“Mengapa Anda bicara perihal Soekarno?” Selidikku yang mulai tertarik dengan cara berpikirnya.
“Soekarno yakni saya dan saya yakni Soekarno dan kita semua yakni Soekarno. Bila mempunyai nurani melawan ketidakadilan. Bila kita mempunyai keberanian melawan sebenar-benarnya musuh umat insan yang beradab. 
Ruh Soekarno harus menempel dalam jiwa juang kita untuk mengenal siapa sebetulnya musuh kita. Ketahuilah anakku. Walaupun Allah mengingatkan kita untuk berhati-hati terhadap kaum Yahudi dan Kristen namun kita juga dituntut untuk bijak dengan tidak memusuhi apalagi menyerang mereka tanpa alasan yang jelas. 
Karena kita hanya ditugaskan memerangi penyebab terjadinya ketidakadilan yang menciptakan insan hidup dalam kekufuran. Itulah misi kita.”
“Ya, memang masalahnya bangsa Indonesia tidak pernah menyadari ‘the real power’ yang mereka miliki, yaitu agama dan budaya. Seharusnya jalinan erat budaya dan agama bangsa ini, terus dipertahankan sebagai alat pemersatu untuk melawan segala bentuk penjajahan dari luar. Seharusnya kekuatan budaya dan agama dijadikan dasar untuk membangun kekuatan nasional di segala bidang. Termasuk di bidang ekonomi,” kataku menyimpulkan.
“Ya, dan pihak asing tahu betul itu. Makanya budaya gotong royong dalam kebersamaan sengaja dirusak oleh budaya individualisme. Agama dipinggirkan dalam hiruk pikuk demokrasi dikala merumuskan kebijakan publik. Keadaan ini berjalan secara perlahan namun niscaya dengan sistematis lewat propaganda media massa dan pendidikan di semua jenjang,” pungkasnya. Aku mendenggarkan dengan seksama dan mulai memahami arah pembicaraan, ketika tiba-tiba orang bau tanah itu menghilang dari hadapan. Dan kegelapan kembali menyelimuti. Aku melihat sebuah cahaya putih melesat pergi. Aku diserang perasaan takut, panik dan bingung. Sekuat tenaga saya berusaha memanggilnya, Paaak.. Paaak... jangan pergi duluuu.. namun tak satu tanggapan kuterima. Tubuhku menggigil tapi saya terus menggigil dan, “Bang! Bangun! Bangun!”
Seperti ada kekuatan besar yang menarikku keluar dari selimut kabut berwarna hitam. Aku menggeragap bangun dan kudapati istriku duduk di samping, tersenyum dan menyeka keringatku. “Abang mimpi ya?”
“Iya.”
“Sholatlah. Sudah subuh.”
“Ya.” Aku memandang ke sekitar. Memastikan bahwa saya berada di tempat tidur dan insiden tadi hanyalah mimpi. Dengan langkah berat saya pergi ke kamar mandi untuk berwudhu. Tapi betapa terkejutnya ketika hendak mencuci tangan. Ini nyata! Apa yang kutulis dalam mimpi, tertera terang di telapak tangan. Segera saya keluar dari kamar mandi dan mencatat goresan pena itu di atas kertas.


Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/

Artikel Terkait