Memburu Harta (3)


Semburat warna merah pada mega-mega di sudut cakrawala berarak pergi. Berganti gelap yang turun perlahan, bagai jubah hitam raksasa  memeluk bumi. Lampu-lampu mercuri menyala menerangi kota. Gedung-gedung pencakar langit berhias cahaya. Di puncak setiap gedung tinggi itu terdapat billboard iklan aneka macam merek yang saling berkompetisi. Dari sebuah café lantai 27 Park Lane Hotel di daerah Causeway Bay, nampak di seberang Kowloon, sebuah dermaga tersibuk  di dunia. Suara seruling kapal yang hilir pulang kampung bersilambat kadang terdengar  sebagai tanda bahwa Hong Kong yaitu kota pelabuhan.
Hong Kong di waktu malam memang selalu menunjukkan panorama terindah sebagai kota kosmopolitan terbaik di dunia. Hong Kong dan malam yaitu sahabat semu. Indah dipandang namun di dalamnya menyimpan gejolak kelelahan dalam kompetisi tiada akhir. Tak ada malam menyapa diiringi senyuman. Tapi justru rasa khawatir bursa Hang Seng akan jatuh keesokan paginya. Kecemasan akan emas, minyak, segala mata uang dan saham yang bisa setiap dikala berjatuhan di lantai bursa. 
Dengan posisinya yang terhubung ke seluruh jaringan sentra keuangan dunia, menciptakan Hong Kong tak mungkin tertidur barang sedetik pun. Inilah kota kapitalis murni, yang dengan jarak hanya sejengkal terlihat Cina yang besar kepala dengan sosialis abu-abunya. Seakan mengejek Hong Kong yang terjebak dalam euforia kebebasan financial namun meradang oleh harga yang melangit. 
Pukul enam  sore saya sudah berada di sini memenuhi kesepakatan yang ditentukan pada pukul tujuh malam. Tadi ketika saya datang  ke café ini dan memperkenalkan namaku, petugas café mengantar ke meja yang sudah di sediakan. Aku duduk sendiri  bertemankan segelas anggur merah. Sesekali pandangan kuarahkan ke luar jendela, mencoba mengusir rasa bosan. Di sudut lain, nampak sepasang muda-mudi asyik masyuk dalam tawa. Alunan musik yang begitu apik dibawakan biduanita manis asal Philipina. Mengiringi suasana syahdu malam itu. Mendendang sendu lagu Imagine.
Imagine there's no Heaven
It's easy if you try
No hell below us
Above us only sky
Imagine all the people
Living for today
Imagine there's no countries
It isn't hard to do
Nothing to kill or die for
And no religion too
Imagine all the people
Living life in peace
You may say that I'm a dreamer
But I'm not the only one
I hope someday you'll join us
And the world will be as one
Imagine no possessions
I wonder if you can
No need for greed or hunger
A brotherhood of man
Imagine all the people
Sharing all the world
You may say that I'm a dreamer
But I'm not the only one
I hope someday you'll join us
And the world will live as one.
 ‘Imaging’. Lantas, di mana Indonesia? Jangan-jangan Indonesia sudah mendapatkan bulat-bulat kata demi kata dalam lirik lagu imaging.  ‘Imagine there’s no countries’, saya bergidik ngeri.
Selangkah lagi upayaku untuk menyelamatkan bisnis Budiman akan menuai hasil. Aku sudah sampaikan kepadanya dan beliau bahagia sekali. Tadi siang saya di hubungi oleh Asset Manager company atau AMC bahwa pimpinannya ingin bertemu denganku. Sekretaris perusahaan menyebut yang ingin bertemu yaitu pimpinan Holding yang bermarkas di New York. Aku tidak tahu mengapa justru malah pimpinan Holding dari AMC harus bertemu denganku. Padahal kapitalisasi Bond yang kuterbitkan untuk tujuan penyelesaian hutang Budiman bukanlah jumlah raksasa. Apalagi dibandingkan dengan kapitalisasi yang mereka lakukan untuk clients special. Tapi dengan hormat saya terima ajakan itu. 
Tepat pukul tuju, seorang laki-laki berkepala botak melangkah ke arah mejaku. Dia tersenyum ramah ketika kami bersalaman namun tidak mengurangi wibawanya di balik setelan jas mahal yang dikenakan.
”Felix,” beliau memperkenalkan nama. “Dan anda, Jaka?” 
Aku mengangguk ramah.
“Sebaiknya kita eksklusif kepada pokok problem yang harus kita bicarakan.” Katanya tanpa basa basi.
“Baiklah,” saya menyanggupi.
“Saya terpaksa menemui Anda alasannya yaitu ini menyangkut hal strategis. Skema pembiayaan yang Anda ejekan sangat luar biasa. Ini bisa mejadi solusi ahli bagi perusahaan yang ingin evakuasi dari pengambil alihan Otoritas Penyelesaian Hutang di Indonesia. Kami siap mendukung namun bagaimanapun kita harus mengikuti standard  kepatuhan yang ditetapkan oleh otoritas.”
“Misalnya?” saya bertanya serius. Berusaha menyimak dan menelaah kalimat per kalimat yang Felix ucapkan.
“Bond harus di daftarkan kepada Otoritas bursa sebelum di lelang kepada Publik.”
“Mengapa harus di lelang kepada public? Bukankah sudah ada kesepakatan bahwa Bond ini akan diterbitkan untuk limited investor sehingga tidak dibutuhkan izin dari otoritas Bursa?”
“Benar. Tapi masalahnya untuk penawaran kepada limited investor diharuskan sudah ada kelengkapan dokumen dari Otortitas Penyelesaian utang.”
“Maksud Anda?”
“Kami butuh approval dari Otoritas Penyelesaian utang  bahwa mereka mendukung denah ini. Kami harus mendapatkan persetujuan mengenai haircut utang dan kepastian nilai pelunasan sama dengan jumlah penerbitan bond.”
“Pak, berdasarkan saya itu hal yang mustahil bisa dilakukan. Clients saya tidak punya reputasi untuk mendapatkan approval sebelum beliau bisa buktikan ada uang di tangan. Ketahuilah posisi assetnya sudah berada di Otoritas Penyelesaian Utang. Artinya beliau sudah default atas utangnya.”
“Tapi kami perlu ada document itu,” kata Felix terkesan tidak peduli dengan alasanku. “Ingat, limited investor yaitu sophisticated investor yang umumnya mereka tidak mau ada ketidak pastian sebelum mereka melepas uangnya. Mengertilah.” Sambungnya.
“Kalau begitu, ini sama  saja dengan mana duluan tolor atau  ayam?” Kataku dalam kebingungan.
“Saya sanggup maklum tapi itulah keputusan kami. Anda punya dua pilihan yaitu masuk ke pasar public tapi harus menunggu keputusan otoritas bursa di sini atau pastikan sanggup approval dari Otoritas Penyelesaian Hutang,  sebelum bond ditawarkan kepada limited investor.”
“Apakah tidak ada jalan lain selain dua opsi itu?”
“Tidak ada. Maafkan kami.”
“Bukankah penerbitan bond ini sangat secure? Pertama, akan dijamin sepenuhnya oleh asset perusahaan dengan nilai 200%. Dokumen laporan dari forum appraisal yang Anda tentukan menyebutkan itu. Kedua, sudah ada konfirmasi dari perusahan raksasa dibidang pangan yang mau membeli saham perusahaan sehabis lima tahun di restruktur. Pelepasan saham sebesar 40% sama dengan 1,5 kali lipat dari nilai bond yang ditawarkan sekarang. Soal bunga kami sepakat dengan yang ditetapkan, namun dengan denah zero coupon. Artinya investor membayar bond sehabis dikurangi bunga selama lima tahun. Saya tidak mengerti mengapa cepat sekali berubah perilaku AMC terhadap saya. Padahal saya telah berusaha melengkapi semua syarat yang ada.  Proses ini telah berlangsung 1 tahun. Tolong mengerti.” Kataku setengah memelas.
“Tidak ada yang salah dari procedure yang telah Anda lalui. Semua denah struktur pembiayaan sudah benar dan karenanya kami tertarik menunjukkan pre commitment. Tapi bagaimana pun kami berhak memilih perilaku sebelum financial closing dengan investor kami. Mengertilah, kami hanya butuh kepastian.  Saya yakin Anda bisa mengusahakan approval dari Otoritas Penyelesaian Hutang. Pemerintah Anda akan mendukung clients Anda alasannya yaitu beliau pengusaha pribumi yang berniat baik menuntaskan hutang.”
Tidak tahu apa lagi yang harus saya sampaikan kepada pimpinan AMC. Sebagai AMC berkelas dunia mereka bisa bersikap dengan cara mereka, bahkan di dikala last to minute sebelum kontrak ditanda tangani. Mereka berhak berubah pikiran. Aku tidak ada hak menuntun komitmennya dan dilarang mempertanyakan integritasnya. Inilah dunia kapitalis. Pemodal selalu benar!
“Baiklah. Saya akan terima opsi kedua. Beri saya waktu 2 ahad untuk mendapatkan surat persetujuan dari Otoritas Penyelesaian Hutang,” kataku dengan berat. Sementara saya tidak tahu niscaya apakah Budiman bisa mendapatkan  surat itu. 
“Nah, mari kita makan. Senang sekali bekenalan dengan Anda.” Kata Felix yang dikala itu, kurasakan begitu mencekik. Dia memanggil pelayan restoran untuk menyediakan masakan sesuai pesanannya.  
Kemudian, sambil menunggu masakan terhindang , beliau bercerita pengalaman perusahaanya dalam melaksanakan restruktur hutang beberapa perusahaan berkelas dunia. Aku hanya mendengar dan tentu saja takjub.  Begitu hebatnya mereka menggalang dana dengan aneka macam skema  pembiayan. Semua itu hanya alasannya yaitu kesepakatan dan reputasi yang mereka tawarkan bahwa bond yang  mereka jamin yaitu kondusif dari segala resiko. Rating dari Bond  selalu berkatagori likuid and strong. 
Dengan santai beliau berkata bahwa semua bisa diatur termasuk memilih rating bond. Semua forum rating bekerja untuk fee dan tentu mereka harus patuh kepada  pemberi fee. Dan lagi soal masa depan bukan urusan mereka. Mereka hanya bicara soal hari ini.Bahwa hari ini mereka menarik dana dari public dan meyerahkannya kepada clients potensial untuk mereka pengaruhi dan alhasil dikuasai. 
Pelayan restoran menyediakan sajian ala eropa. Ketika menikmati makan malam, pikiranku terus kepada Budiman. Mampukah beliau memenuhi opsi kedua ini? Masihkan beliau punya reputasi meyakinakan pemeritah semenjak beliau gagal bayar atas hutangnya di Bank? 
Usai makan malam saya keluar dari  Hong Kong financial club menyusuri jalan ke arah Lockard Road untuk bertemu dengan sahabatku dari Australia, Mike.  Minum segelas wine bersama Mike mungkin bisa membantu melepas barang sejenak stressku. 
Selularku bergetar. 
“Ja,” terdengar diseberang bunyi Budiman. “Bagaimana hasil pertemuan dengan pimpinan AMC?”
“Mereka minta semoga kau mendapatkan surat persetujuan dari Otoritas Penyelesaian Hutang  mengenai haircut hutang dan denah penyelesaian hutang.”  Kataku
“Keliatannya mustahil saya dapatkan.” Kata Budiman terkesan putus asa.
“Aku tahu, Man.”
“Jadi apa yang harus kita lakukan?”
“Aku tidak tahu lagi,  Man.  Mungkin sebaiknya tunggu hingga besok siang. Kalau saya ada solusi, akan kusampaikan padamu.”
“Baiklah. Jaga kesehatanmu, Tenang saja. Teruslah berjuang dan berdoa.” Kata Budiman memberi semangat.

Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/

Artikel Terkait