Memilih? Pemilu...

Apabila orang punya kemampuan menentukan maka ia punya keinginan untuk berubah.  Kata teman saya saat kami berbicara seputar Golput atau Golongan Putih atau mereka yang tidak ikut menentukan dalam sistem Pemilu. Mereka termasuk golongan yang  tidak lagi percaya akan ada perubahan sehabis mereka memilih.  Menurut saya Golput yakni dampak dari sistem demokrasi liberal itu sendiri. Walau Golput tidak dibutuhkan namun dalam demokrasi hak  untuk tidak menentukan dan dipilih harus dihormati. Karena tidak menentukan juga yakni perilaku memilih.  Di Amerika Serikat (AS), negara yang populer paling maju kehidupan demokrasinya, partisipasi warga dalam pemilu hanya 60 % dari pemilih yang sah (registered voters). Khusus untuk pemilihan presiden Obama tahun 2008 agak spektakuler, angkanya sedikit diatas 70 %, namun untuk Pipres yang kedua tingkat partisipasi pemilu kembali turun dibawah 60% . Mengapa ? kurangnya doktrin pada para pemimpin, kurangnya perasaan positif wacana lembaga-lembaga politik, kurangnya pendidikan berkualitas dan rendahnya lulusan perguruan tinggi tinggi, imbas mencerai-beraikan akhir  gelombang teknologi komunikasi, dan sinisme terhadap sistem pemerintahan yang hanya menciptakan segelintir orang kaya raya . Itu semua akan menjadi pendorong mereka untuk menolak berpartisipasi dalam pemilu. Ini aturan sosial bahwa orang menentukan lantaran inginkan perubahan. Kaprikornus Pemilu ada kaitannya dengan kualitas rakyat dan tingkat keperacayaan rakyat kepada negara.

Sebetulnya , kata teman saya bahwa apabila rakyat yang tidak peduli lagi dengan pemerintah dan mereka mendapatkan kenyataan itu tanpa mereka murka maka itu tandanya rakyat semakin berpengaruh dan pemerintah semakin lemah. Justru disitulah kekuatan demokrasi pada akhirnya. Orang terpilih sadar bahwa mereka dipilih oleh segelintir orang saja, hanyalah sebagai tambahan eksistensi negara. Mereka sadar posisi mereka renta. Orang cenderung bekerja benar apabila ia merasa tidak seratus persen kuat. Dia lemah.  Benarkah analogi ini? Tahun 1960 saat Amerika menghadapi krisis hebat, rasio tingkat ketergantungan rakyat hanya 10%. Upaya recovery berlangsung cepat sekali dan bahkan menciptakan AS lebih berpengaruh dari sebelumnya. Ketika terjadi krisis yang populer dengan istilah crisis dot.com pada tahun 2000, tingkat ketergantungan rakyat AS kepada pemerintah 21 %. Upaya recovery berlangsung efektif. Ketika Era Obama tingkat ketergantungan Rakyat Amerika kepada pemerintah mencapai level tertinggi yaitu 35% yang juga paling tinggi tingkat participasi pemilu. Upaya economy recovery paska crisis mortgage hingga kini belum juga pulih bahkan menciptakan AS masuk dalam krisis hutang. Menurut hasil study bahwa ternyata ada kekerabatan berpengaruh antara rasio tingkat ketergantungan itu terhadap daya tahan ekonomi AS. Artinya apa ? saat problem terjadi, peristiwa terjadi, kekuatan masyarakat sendiri yang melaksanakan perbaikan lantaran tingkat ketergantungan kepada pemerintah memang kecil.

Itu sebabnya , China paham betul saat mereka melaksanakan reformasi ekonomi, yang pertama mereka lakukan yakni melepaskan ketergantungan rakyat kepada pemerintah. Sebagian besar BUMN yang tidak ada hubungannya dengan Public Service Obligation ( PSO) di tutup. Sementara BUMN yang tingkat PSO nya dibawah 40% di privatisasi. Sisanya yang rasio PSO nya diatas 70% ditingkatkan dukungannya dan diperluas misinya untuk mengawal rakyat dari serangan kekuatan modal dan terkhnologi dalam berhadapan pasar bebas. Deng saat mencanangkan reformasi menyebut kebijakannya sebagai bentuk lahirnya ”emansipasi ” rakyat kepada negara untuk terlibat eksklusif dalam proses pembangunan. Pemerintah hanya menunjukkan terusan untuk tersalurnya emansipasi biar rakyat bisa mengorganisir dirinya sendiri ' untuk menuntaskan masalahnya dan meraih kemakmuran. Di Indonesia dari tahun ketahun , dari satu rezim ke rezim berikutnya , sifat ketergantungan rakyat kepada pemerintah memang di design semakin besar. Bahkan kita selalu berharap bergantinya rezim akan terjadi perubahan menyerupai mitos wacana ”satro paningit”. Makanya jangan kaget Pemilu menjadi pesta termahal didunia. Bahkan tak sepi dari keributan. Setelah itu , kembali ribut kalau impian tidak sesuai dengan kenyataan. Padahal Pemerintah bukanlah Tuhan yang bisa berkata kun faya kun, bukan pula kisah lampu aladin yang bisa berkata "abrakadabra" Pemerintah hanyalah kumpulan orang yang terdidik baik tapi tak siap mandiri. Lantas apakah pantas kita berharap kepada kumpulan orang menyerupai ini untuk menjadi undertaker dan provider kebutuhan kita ?

Jadi Pemilu yang akand datang.  Golput atau tidak, itu bukan masalah. Yang paling penting yakni mulai dari kini kita harus merubah mindset ini , jangan lagi tergantung kepada pemerintah. Jangan!. Terutama yang Golput harus lebih jago kemampuan mandirinya. Untuk yang masih berharap kepada pemimpin  maka pilih pemimpin yang amanah yang punya track record tidak pernah korupsi, tidak punya hutang, rendah hati dan dikenal erat kepada rakyat. Setelah anda pilih maka jangan puji, jangan kultuskan, jangan berharap banyak. Bangunlah kebersamaan dari kalangan terdekat dan bergerak semakin melebar dalam bundar kokoh saling menolong, bergotong royong untuk jadi komunitas yang dirahmati Allah. Bukankah sebagian besar penduduk Indonesia, yakni komunitas Islam yang di design oleh Allah untuk berjamaah tanpa tergantung kepada insan kecuali kepada Allah.



Sumber https://culas.blogspot.com/

Artikel Terkait