Menulis...

aku bersama cucuku.

Saya teringat saat SMP, saya ikut lomba menulis cerpen yang diselenggarakan oleh  Majalan Kuncung dan Kantor Pos. Ketika niat ikut lomba itu saya sampaikan kepada ibu saya, dengan antusias ibu saya mendukung.  Saya masih ingat betapa sulitnya merangkai kalimat yang sesuai dengan ide saya. Berkali kali saya menulis dan sesudah itu saya tidak puas. Kertas yang sudah ditulis dengan tangan itu alhasil tercabik cabik. Itu saya lakukan berkali kali. Saya putus asa. Kemudian ibu saya membelai kepala saya sambil berkata bahwa pikiranmu yaitu kekuatanmu namun saat menulis jangan hingga pikiranmu mengendalikanmu tapi ikut sertakan hatimu untuk merangkai setiap kalimat itu. Saya teringat saat SD, guru saya pernah mengajarkan cara menyusun kalimat dengan mudah. Sambil memeluk saya dia berkata  “ apa yang kau rasakan kini “ saya jawab bahwa ibu baik sekali. Kemudian guru saya berkata , tulislah itu menyerupai apa yang kau pikirkan dan rasakan itu. Apa yang dikatakan guru SD saya tak ubahnya sepeti apa kata ibu saya. Bahwa goresan pena akan bermakna apabila melibatkan pikiran dan jiwa. Dan itu lebih memudahkan untuk merangkai kalimat.

Setelah saya selesai menulis satu halaman. Ibu saya membacanya dengan tersenyum. Tak lupa dia memuji saya bahwa saya telah memakai hati dan pikiran saya dalam bentuk tulisan. Apapun hasilnya tak penting. Karena setiap orang yang membacanya akan mencicipi getaran hati dari goresan pena itu dan lalu akalnya akan mencerna. Kata kata bisa hilang lantaran waktu tapi goresan pena akan abadi. Ketika kita menulis visi kita terungkapkan dengan terperinci dan saat orang membacanya misi kita tertunaikan. Mungkin kau tidak bisa berbuat tapi dengan goresan pena orang lain melakukannya untuk mu. Demikian nasihat ibu saya yang tak pernah saya lupa hinggi kini. Ya, Menulis sangat penting lantaran sesuatu yang tak tertulis tak bisa dilaksanakan. Andaikan Al Alquran dan hadith tidak pernah tertuliskan maka tidak ada kelanjutan syiar agama. Kehendakan Allah pulalah hingga insan tergerak untuk merangkai semua firman Allah dalam satu alkitab yang tertulis secara teratur dan lantaran kehendak Allah pula sikap agung Rasul tertuliskan dalam bentuk Hadith hingga blue print insan tepat sanggup kita pelajari.  Para ulama dan berilmu pintar merenungkan setiap kalimat Allah dan lahirlah  berbagai goresan pena yang  menginspirasi orang untuk menjadi lebih paham untuk lebih baik berbuat dan bersikap lantaran Agama.

Saya menyukai goresan pena sains namun saya lebih bahagia membaca biographi yang ditulis oleh pelakunya sendiri atau oleh orang terdekatnya. Buya Hamka   menulis buku “ Ayahku “ namun saat penerbit ingin meng editnya biar sesuai dengan ejaan Indonesia yang sempurna, ia protes. Beliau tetap tak ingin dirubah setiap kalimat yang ditulisnya. Karena menurutnya dalam setiap kalimat itu ada kekuatan jiwa dari dia sebagai seorang putra ayahnya. Bila kalimatnya diedit maka kekuatan jiwanya akan berkurang. Maka jadilah buku “ Ayahku “ itu sebagai buah karya sastra yang tinggi nilainya. Andrea Hirata penulis novel “ Laskar Pelangi” awalnya hanyalah ungkapan dongeng pribadinya yang tertuangkan dalam goresan pena yang tak niat dipublikasikan. Karena ditulis tanpa ada niat apapun.  Kecuali bagaimana dia mengungkapkan kenangan masa kecilnya di desa tetap kekal dalam tulisan. Itu kenangan indah yang tak ingin hilang dalam memori hidupnya. Tentu dengan jiwanya dia menulis. Apa jadinya, goresan pena itu bernilai sastra tinggi dan dibaca oleh banyak orang. Menjadi ilham bagi orang untuk berbuat lantaran cinta. Begitupula cerpen saya di majalah kuncung menjadi salah satu juara tingkat nasional dalam lomba yang diadakan oleh Kantor Pos saat itu.

Apakah semua orang harus menjadi penulis? Tentu tidak harus ditulis dalam buku hingga diterbitkan untuk dibaca banyak orang. Kalau bisa itu tentu lebih baik. Tapi yang lebih penting yaitu bagaimana kita menulis pengalaman hidup keseharian kita dari berinteraksi dengan banyak orang , keadaan dan lingkungan. Cobalah menulis itu dalam buku harian sambil melatih jiwa kita meng explorasi pengalaman keseharian itu. Uraikanlah dalam goresan pena apa yang kita pikirkan perihal apa yang dikatakan atau ditulis orang lain. Ungkapkanlah apa yang kita lihat dan perhatikan disekitar kita. Setelah itu, bila ada waktu, cobalah membacanya kembali. Kita akan mendapat nasihat dalam menghadapi masalah hidup keseharian kita. Karena tidak ada yang terlewatkan hilang. Itu akan terjadi pengulangan. Tulisan di buku harian itu yaitu pembelajaran kita untuk mengingat yang lewat dan bijak menghadapi realitas dihadapan kita. Itu sebabnya semenjak Sekolah Menengah Pertama saya punya kegemaran menulis buku harian namun yang tak rahasia. Artinya siapapun boleh membacanya. Namun saat era internet muncul dan blogger mulai diperkenalkan, putra saya menyarankan saya biar saya menempatkan buku harian saya dalam blog.  Karena menurutnya akan dibaca oleh orang lain untuk menjadi pelajaran bersama.

Lee Iacocca pernah berkata bahwa kebiasan menulis yaitu langkah awal meraih prestasi. Banyak businessman mahir didunia ini tapi tidak banyak yang memberirkan nasihat dari kehebatannya kecuali Donald Trump yang sangat produktif menulis buku.Jadi, siapapun kita, jika peduli untuk berbuat demi hadith Nabi “ sampaikan walau satu Ayat” maka mulailah menulis dengan pikiran yang bersanding dengan hati. Insya Allah, kita sudah menjadi penggalan dari visi perubahan , setidaknya dari diri kita sendiri….

Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/

Artikel Terkait