Ujian Keimanan...


Selama ini saya agak tertutup bercerita ihwal saya dan dia. Mungkin Yun, menjadi tanda tanya yang tak sudah bagimu. Mengapa saya begitu tegar besikap. Seakan bagaikan kerikil karang di tengah samudera yang tak pernah tergoyah walau di hantam ombak tiada henti. Baiklah saya ceritakan sedikit. Ketika menikah, saya hanyalah laki-laki kampung yang miskin. Datang ke Jakarta tanpa skill, hanya berbekal keberanian atas dasar keimanan. Berawal dari sebuah rumah mungil di pinggiran barat Jakarta yang  kami sewa bulanan. Sebuah pagi berjalan sebagaimana lazimnya. Dia berkubang dalam banyak pekerjaan rumah. Aku , menyerupai biasa, sibuk bersiap diri pergi ke kantor. Bukan orang kantoran tapi orang yang melapor ke kantor bahwa beliau hadir untuk menjajakan barang dagangan. Tak ada honor kecuali komisi. 
Dasternya tak bisa menutup seluruh kulit putih bersihnya. Tapi, daster itu tetap bisa menyembunyikan tahi lalat di daerah tertutup. Hanya saya tentunya yang tahu persis letaknya. Rambut lebatnya dibiarkan memanjang sebatas bahu. Hidungnya yang tak mancung kerap mengundang godaan ku. " Tak apa-apa hidungmu tak mancung. Lebih baik berhidung menyerupai itu tapi dengan dua bukit mancung dan terurus di bawahnya,” kata ku meyakinkan bahwa beliau yaitu pilihanku dan itulah yang terbaik bagiku. 
”Lebih baik daripada apa…?” selanya yang kadang merajuk.
”Ya…, lebih baik daripada berhidung mancung dengan dua bukit pesek tak terurus di bawahnya.”
Aku tergelak. Dia hanya tersenyum. Senyum tertahan. Adegan tersipu menyerupai inilah yang sangat kusukai. Karena diapun punya cara menertawakan kekuranganku. Kulit hitam, muka garang dan pendengkur. Karena itu, kami gemar saling menarik hati terutama pada setiap pagi yang jadi milik kami. Kadang-kadang saya  berpikir bahwa kami memang ditakdirkan sebagai pasangan yang saling melengkapi. Tergelak dan tersipu. Keliaran seorang penyerang dan kelembutan sang penenang. Keberingasan seorang pemburu dan kepasrahan korban buruan.

Yun, beliau yaitu perempuan bersahaja. Selalu nrimo. Dalam banyak hal ia bahkan cenderung naif. Yang pasti, ia sungguh rajin mengerjakan setiap pekerjaan yang tersedia di rumah. Tak ada bab rumah yang tak terjamah olehnya. Setiap hari. Sepanjang minggu. Sepanjang tahun. Anak anak terurus dengan baik. Semua sehat dan pandai pintar. Aku membayangkan. Seperti itulah ibuku dulu selagi muda bekerja di rumah masa kecilku di Kampung. Menyelesaikan semua pekerjaan rumah dengan tertata. Mengurus suami, ayahku, yang tidak mengecewakan banyak urusan. Dan mendidik 7 orang anak yang sungguh merepotkan. Tanpa pernah mengeluh. Satu kali pun.
Yun, lima tahun pertama ijab kabul kami. beliau tampil sebagai tiang rumah tanggaku. Diapun tak banyak menuntut dari seorang pengusaha pemula. Rumah tangga kami tanpa servant. Menyangkut materi, permintaannya selalu sederhana. Pakaian yang tak perlu bermerek , rumah mungil di pinggir kota, sebisa mungkin menabung berapapun untuk biaya sekolah anak. Tak pernah beliau menuntut dan bermimpi rumah mewah, dan segala standar kehidupan orang kaya. Aku ingat Yun, dari sisa uang belanja , beliau tabung dan di belikan emas . Emas itu di jualnya.  Ia dengan besar hati berkata kepadaku " pakailah uang ini untuk ibumu pergi ke tanah suci." Padahal saat itu hidup kami belum mapan. Namun beliau tak ragu mengorbankan tabungan sekolah anak untuk kepergian ibuku ke Tanah Suci.

" Mengapa ? Bukankah kau sangat menginginkan pergi haji. Mengapa kau lebih utamakan ibuku" Kataku. Kamu tahu Yun, apa katanya " cinta papa yang paling lapang dada yaitu kepada orang tua. Aku mengutamakan ibu alasannya yaitu saya berharap Tuhan mengkokohkan cinta kita. Bukankah ridho Ibu, juga yaitu ridho Tuhan. " rasanya saya ingin menangis mendengar kata katanya Yun. Begitu rendah hatinya beliau mengungkapkan cintanya kepadaku. Bahwa sebesar apapun cintanya kepada ku tetap tidak akan bisa mengalahkan cinta ibuku kepadaku. Dia tidak cemburu alasannya yaitu itu. Tidak juga memakai senjata merayu berwajah penuh make up tapi dengan memuliakan ibuku. Dia percaya bahwa pada ibuku ada Tuhan dan doa ibu selalu di kabulkan Tuhan. Ya kan.

Hanya satu permintaannya yang kadang di sampaikannya dengan aib malu" jika Tuhan kasih rezeki kita berlebih , ajaklah saya ke Baitullah. Itu keinginanku yang tak pernah kusebut saat masih di dingklik Madrasah Sanawiyah. Aku ingin di peluk suamiku saat usai mencium didik aswad. " Alhamdulilah, 15 tahun sesudah itu, saya bisa mengabulkan permintaannya. Aku tidak pernah melhat wajahnya begitu senang kecuali saat usai mencium azwar aswad, sambil memelukku " Puja Puji kepadaMu ya Allah, engkau kabulkan doaku untuk bisa tiba ke RumahMu bersama suamiku. Papa, terimakasih sudah memenuhi impianku di masa remaja"
Dengan berjalannya waktu , ekonomi ku semakin membaik. Untuk banyak alasan, yang tentu saja kusetujui, beliau memang tak pernah memamerkan berlebihan barang-barang berharga pemberianku. Kendaraan yang di pilihnya bukan yang bermerek jago tapi yang besar lengan berkuasa dan efisien untuk antar jemput anak sekolah. Ia menyimpan dengan rapi setiap pemberianku , serapi menyimpan cintanya untuk satu-satunya lelaki yang pernah menjamah tubuhnya itu.
Waktu berlalu, aktifitas ku sebagai pengusaha semakin sulit beliau pahami. Aku berubah menjadi menjadi elang yang bisa terbang melintasi pulau dan benua. Namun saya selalu pulang. Kebersamaan dengannya yaitu recharge power ku untuk tegar menghadapi ketidak pastian hidup. Dia maklum akan hidupku menyerupai beliau bisa berdamai menjadi istri pengusaha, yang bisa kapan saja bangkrut, yang bisa berteman dengan siapapun, yang bisa terjerumus dalam pergaulan. Karenanya doanya tiada henti siang malam saat saya ada di luar rumah. Ketika saya tanya , apa doanya, beliau berharap biar saya selamat di luar, bertemu dengan orang orang baik , menjaga persahabatan dengan tulus, sabar dari segala kesulitan, dan tidak menciptakan saya kikir untuk berbagi.

Oh ya Yun, untuk kau ketahui bahwa setidaknya dua kali dalam usia perkawinan kami , saya jatuh bangkrut. Kami  tidak punya uang sama sekali tapi kami tidak pernah mengemis dan mungkin tidak banyak orang tahu kami sudah jatuh miskin. Karena beliau memang pandai mengambil tugas untuk menjadi penyanggaku saat saya oleng. Dia bisa trampil dan gesit mendatangkan uang untuk sekedar dapur kami mengepul. Dengan sikapnya mendorong saya produktif dan doyan kerja keras, tidak ragu mengambil resiko atas keyakinanku. Ingat saat paska krismon , dalam keadaan gulung tikar saya hijrah ke China, di  Bandara saat mengatarku, beliau berkata " Jangan pikirkan Rumah. Jangan nampak kan Papa lemah di hadapan anak anak. Papa akan selalu jadi idola mereka. Apapun itu. Anak anak akan baik saja denganku. Jangan ragu alasannya yaitu Papa yang terbaik Tuhan beri kepadaku."  Kata katanya membuatku menjadi petarung tanpa lelah. Kalaulah boleh meminta menyerupai yang saya mau kepada Tuhan, saya lebih menentukan di beri waktu 36 jam sehari daripada harta melimpah. Sehingga saya bisa bangun lagi.

Dengan kebangkrutan itu , saya semakin menyadari bahwa Tuhan tidak hanya mengirim perempuan untuk menjadi istriku tapi juga seorang sahabat. Bahkan Yun, saya menemukan kesejatiannya sebagai perempuan saat saya jatuh bangkrut. Sabarnya bisa menciptakan saya nyaman menghadapi kemiskinan dan tegar untuk bangun kembali. Walau tanpa kata kata menyerupai layaknya sang motivator , perilaku hidupnya telah menjadi buku besar untuk saya berguru bijak. Kaprikornus jika kau mengenal seorang Burhan hari ini , maka itulah cermin dari kekuatan istrinya. Dialah mentor ku , tentu dengan caranya yang kadang menciptakan saya stress. Ia bisa dengan keras menyalahkan saya untuk saya sadar dan berubah namun diapun takut untuk memujiku alasannya yaitu kawatir saya lupa bersyukur. Dia melarang saya untuk menulis buku dan di terbitkan.  Selalu beliau lakukan dengan niat baik. Aku tahu itu. Bukan alasannya yaitu beliau melarang saya menyalurkan hobiku tapi beliau tidak ingin saya di puji orang , yang bisa melemahkan saya alasannya yaitu sifat sombong. Aku pernah jatuh tapi bukan alasannya yaitu kesombongan dan itu artinya secara spritual saya tidak pernah bangkrut. Maka akan selalu ada cara untuk bangkit.

Aku menghabiskan sebagian besar pikiranku ke bisnis , rapat bisnis, di Cafe menjamu clients, business trip melintasi banyak negara, Hidupku menyerupai kemudian lintas di antara business yang melelahkan dan di rumah yang hanya hitungan jam. Kadang saya sering mengeluh ihwal bisnisku tapi saya tidak pernah mendengar beliau mengeluh mengurus rumah dan anak anak. Bagi sebagian orang uang memang kadang kala jadi persoalan. Aku sendiri tak pernah mau pusing soal keuangan. Aku tak terlalu peduli apakah uang kami sedang melimpah atau kami sedang bangkrut. Dari dulu saya hidup mengambil resiko. Mungkin itu alasannya yaitu di rumah saya tak pernah mendapat keluhan-keluhan berarti soal uang. 

***
Kini , di usia diatas setengah abad, saya dan beliau semakin saling mengkawatirkan. Saling merindukan dan menjaga. Dia tidak ingin saya terus di sibukan dengan bisnis. Dia tahu saya lelah dan tahu saya tidak begitu menyukai kehidupan ku sebagai pengusaha. Dia hanya tahu saya hanya bertahan hidup dengan apa yang saya bisa, sebagai orang yang tak pernah berhasil masuk PTN, dan gagal menjadi profesional yang bergengsi menyerupai cita cintaku waktu kecil. 
Walau hidup kami tetap  bersahaja, kami merasa hidup kami lebih dari cukup. Memiliki sebuah rumah mungil di pinggiran Jakarta yaitu sebuah kemewahan. Terlebih-lebih, buat dia, ternyata rumah mungil itu yaitu sebuah istana besar yang megah. Aku bisa  mengatur sendiri hidupku, tanpa terikat oleh jam kerja atau jadwal-jadwal rutin lain, pergi sholat subuh ke masjid sambil bergandengan tangan  dengannya yaitu kemewahan lain yang kumiliki. Aku merasa hidupku sudah simpulan dengan dua kemewahan yang sudah digenggamanku, apalagi kedua putra putri kami sudah menikah dan mandiri.
Yun, pernah saya bilang kepadamu bahwa tidak ada perkawinan yang sempurna. Tidak ada insan yang sempurna. Aku tahu kau melihatku sebagai laki-laki sejati berdasarkan ukuranmu. Pria sejati tidak akan kau temukan di etalage, Yun. tidak ada. Tidak juga pada diriku. Aku yaitu repliksi istriku yang dengan kedua tangannya bersusah payah menyebabkan laki-laki kampung yang pemalu  untuk tampil di panggung dunia menjadi elang. Temukanlah laki-laki yang akhirnya menciptakan kau nyaman untuk melabuhkan cintamu, kemudian berjuanglah untuk menyebabkan ia laki-laki sejati. Pria sejati tidak tersedia di luar sana tapi kamulah yang harus menjadikannya laki-laki sejati. Pria itu akan menjadi cobaan mu sepanjang usia, untuk kau memakluminya. Mencintainya bukanlah dengan kata kata tapi bagaimana sikapmu untuk mempercayainya dan memahaminya sepanjang waktu. Itulah yang di lakukan istriku terhadapku. 

Mungkin saya laki-laki yang beruntung alasannya yaitu saya bisa berkembang tidak dengan kemanjaan dan kebanggaan perempuan , tidak dengan rongrongan perempuan yang absurd harta, tidak dengan kecantikan bidadari. Aku mendapat seorang istri yang bekerjsama ia yaitu sahabatku, kawan ku , kelengkapan jiwaku. Sepanjang hidupku banyak keputusan yang saya buat dan jika ada keputusan terbaik yaitu saat saya melamarnya menjadi istriku. Mengapa? kami mengawali dengan ketidak sempurnaan dan kami lewati hidup dengan sadar bahwa kami tidak akan pernah sempurna. Hubungan kami yaitu cobaan untuk menguji keimanan kami kepada Tuhan. Bukankah menikah yaitu ibadah untuk menguji ke imanan kita. Belum di katakan beriman sebelum di uji, ya kan.

***
Seperti biasa saya masih berkutat dengan data di komputer ku. Memonitor perkembangan portofolio bisnis secara online . Kadang saya tersenyum , kadang merengut tapi saya nikmati saja pagi itu sambil melepas ketegangan lewat facebook. 
”Hayuu sarapan. Aku sudah masak kesukaan papa “ Tiba-tiba suaranya menyereruput punggung telingaku. Dua bilah tangan putih melingkari dipinggang ku.  Dia merapatkan badannya di punggungku. Wangi-pagi-hari tubuhnya yang khas menciptakan pagiku begitu sempurna, selalu. Kebersamaan dan kebahagian kecil menyerupai inilah yang tak ingin saya korbankan hanya alasannya yaitu ego pribadiku. Kini kusadari , beliau telah menua , saya juga , memang sudah banyak yang kurang dari beliau alasannya yaitu usia namun ia tak mungkin kuduakan. Tidak mungkin, Yun, dan kau tetap sahabatku. Semoga kau maklum. 


Antara Jakarta, Tangerang
Septermber 2016

Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/

Artikel Terkait