2016 Menuju Resesi

Kurang dari satu dekade yang lalu, ekonomi dunia karam ke dalam resesi besar: yang terdalam dan paling luas penurunannya semenjak Depresi Besar tahun 1920-an dan 30-an. Sejak pasar saham jatuh pada tahun 2008, upaya pemulihan terkesan lambat dan tidak terang arahnya. Walau Indeks S & P 500 naik lebih dari 92% selama lima tahun terakhir hingga dengan paruh kedua tahun 2015. Tapi harus di catat bahwa pertumbuhan selama lima tahun belakangan ini bagaimanapun, didorong oleh dana talangan pemerintah , kebijakan moneter yang longgar dan suntikan besar modal dalam bentuk pelonggaran kuantitatif. Bukan lantaran tumbuhnya sektor riel secara fundamental. Terbukti pada tahun 2016, S & P 500 turun hampir 9% semenjak awal tahun ini. Mengapa ? Masalahnya yaitu bahwa intervensi Pemerintah lewat kebijakan tidak sanggup selamanya dilakukan hanya dengan uang murah dan santunan bank sentral. Pada akhirnya, dasar-dasar yang mendasari ekonomi tumbuh harus lebih besar lengan berkuasa untuk membuat pertumbuhan riil. Karena ekonomi riil telah tertinggal dalam banyak hal, mungkin ini indikasi bahwa dunia berada di ambang resesi global yang lain. Berikut yaitu beberapa indikasi dunia mengarah ke resesi.

Eropa?
Krisis utang yang mengikuti Resesi Besar di Eropa telah menjadi gosip yang terus-menerus, dan Eropa merupakan bab penting dari ekonomi dunia. Bank Sentral Eropa (ECB) juga telah mengambil langkah luar biasa menerapkan pelonggaran kuantitatif di zona euro untuk merangsang pertumbuhan. Yang disebut PIIGS negara (Portugal, Irlandia, Italia, Yunani & Spanyol) telah diselamatkan berulang kali oleh Uni Eropa dan IMF, dengan langkah-langkah penghematan ibarat kita dikala krismon.Tidak hanya melaksanakan penghematan tidak populer, langkah-langkah tersebut mungkin juga dibatasi pertumbuhan dengan mengurangi undangan agregat dan menjaga beban utang di negara-negara ini tinggi. Yang terburuk dari PIIGS yaitu Yunani, yang gagal bayar hutang kepada IMF pada tahun 2015. Orang-orang Yunani telah menentukan sebuah pemerintahan anti-penghematan dalam sebuah referendum yang populer, menolak istilah bailout Uni Eropa dan menyerukan untuk mengakhiri penghematan memotong subsidi sosial. Meskipun Yunani sendiri merupakan bab yang relatif kecil dari zona euro, rasa takut yaitu bahwa jikalau Yunani meninggalkan mata uang bersama Eropa (disebut Grexit), negara-negara PIIGS lain akan mengikuti dan penularan akan menyebar, mengakhiri eksperimen euro. Sebuah tragedi runtuhnya euro akan mempunyai konsekuensi negatif yang luas bagi perekonomian dunia, mungkin membawa pada resesi terparah.

China.?
Ekonomi Cina telah tumbuh dengan tingkat yang luar biasa selama beberapa dekade terakhir. GDP Cina kedua di dunia sehabis Amerika Serikat, dan banyak ekonom percaya bahwa itu hanya dilema waktu sebelum China akan mengambil alih posisi Amerika Serikat. Pemerintah China, bagaimanapun, memaksakan kontrol modal untuk menjaga uangnya dalam kendali penuh. Oleh lantaran itu, kelas menengah Cina telah berkembang, mereka mempunyai beberapa pilihan untuk berinvestasi atas uangnya. Akibatnya, saham Cina dan real estate, dua kawasan di mana orang-orang China sanggup berinvestasi, menjadi semakin mahal, dampak dari sebuah gelembung yang terbentuk. Pada satu titik tahun lalu, pasar saham Cina mempunyai PER rasio yang lebih tinggi dari negara lain, dengan sektor teknologi China yang mengatakan valuasi gelembung-seperti lebih dari 220 kali PER. Untuk pembanding pasar NASDAQ untuk saham teknologi berat mempunyai PER rata2 150 kali sebelum dot-com bubble burst. Pasar saham China telah mengalami koreksi, dengan pemerintah mengambil langkah-langkah peringatan ibarat membatasi short selling. Baru-baru ini, dalam upaya untuk mengekang volatilitas, Cina telah memutus sirkuit yang akan menghentikan semua perdagangan di bursa saham negara itu jikalau kerugian turun menjadi 7%. Gila!Sementara itu, boom real estate telah menyebabkan kelebihan produksi bangunan sehingga disebut kota hantu, seluruh lanskap perkotaan mana tidak ada kehidupan. Ketika pasar melihat bahwa kelebihan pasokan tidak sanggup memenuhi permintaan, harga bisa runtuh di pasar perumahan Cina.Jika ekonomi China tergelincir ke dalam resesi, kemungkinan akan menyeret seluruh negara dalam krisis dahsyat.

Amerika ?
Kini yang mulai menjadi jebakan ekonomi AS untuk terpuruk lagi yaitu keharusan membayar hutang akhir kebijakan Amerika mem bail out utang mereka yang tidak punya penghasilan tetap.khususnya kredit perumahan. Ingat tahun 2008 Amerika membail out utang sebesar USD 1,2 triliun atau 3 kali GNP Indoensia dengan denah membundel utang tersebut dan di structure menjadi CDO untuk di jual di pasar uang.Sekarang bagaimana bayarnya ? Akan terkadi gelombang default sehingga menjatuhkan Trust dari US tresury untuk berfungsi dengan baik menggalang hutang di kemudian hari. Dan yang niscaya lantaran itu sumber pendanaan untuk private mengerakan sektor riil akan habis lantaran hilangnya Trust Pemerintah di hadapan pasar uang.Angka statistik pengangguran turun tapi itu lantaran perubahan metode sensus dimana orang bekerja serabutan dianggap bukan pengangguran. Kalau sensus real angka pengangguran bukannya turun menjadi 4,9% ( pada bulan Januari, level terendah semenjak krisis dimulai ) tapi justru meningkat menjadi 10,5 %. Itu salah satu lantaran US dollar melemah. Bahkan untuk kerja mereka, upah riil tetap cukup stagnan. rekening upah riil dengan dampak dari inflasi, dan upah riil stagnan sanggup mengatakan ekonomi lemah yang tidak mengatakan pertumbuhan ekonomi riil.

Solusi yg dilakukan Pemerintah.
Pejabat Bank Central biasanya memakai kebijakan moneter yang longgar, atau ekspansif untuk merangsang ekonomi dikala sepertinya melambat. Mereka menurunkan suku bunga, terlibat dalam operasi pasar terbuka, atau melalui pelonggaran kuantitatif.Karena suku bunga sudah mendekati nol, dengan beberapa negara Eropa bahkan mengerahkan suku bunga negatif kebijakan (NIRP), bahwa ternyata alat kebijakan ini tidak lagi efektif bagi bank untuk mencegah penurunan berikutnya. Sementara itu, pelonggaran kuantitatif dan pembelian aset pemerintah telah menggelembungkan neraca bank sentral ke tingkat belum pernah terjadi sebelumnya. Bank Central sebagai pujian kapitalisme mulai terjebak dan tangannya terantai untuk menjadi Hero mengatasi krisis yang mengarah ke resesi.

Dunia menuju resesi ...
Penjualan ritel anjlok terbesar semenjak sebelum resesi terakhir. Hal yang sama berlaku dengan penjualan grosir. Di AS pesanan pabrik turun pada bulan Desember 2015 dan terburuk sepanjang tahun. Menurut Departemen Perdagangan.  pertumbuhan riil AS GDP melambat. Pertumbuhan ekspor AS telah melemah. Keuntungan perusahaan menurun. Begitu juga negara lain termasuk Indonesia.

Kesimpulan
Kita mungkin di ambang resesi global yang lain. Pola dalam data ekonomi mengatakan gejala pelemahan dan dilema bertahan di Eropa atau gelembung meledak di Cina mungkin menjadi pemicu yang mendamparkam kapal kapitalis ekonomi ke pulau karang. Tidak ibarat pada tahun 2008, dikala bank sentral bisa menurunkan suku bunga dan memperluas neraca mereka, bank sentral kini tidak punya jurus dan ruang untuk mengatasi resesi ekonomi. Resesi yaitu bab normal dari siklus ekonomi makro dan dunia telah mengalami berkali kali yang terjadi dari waktu ke waktu. Resesi terakhir sudah tujuh tahun yang lalu. Tanda-tanda mungkin mengatakan bahwa berikutnya yaitu topan ekonomi yang akan meluluh lantakan pujian kapitalisme. Semoga Pak Beye paham, semoga tidak lagi meminta ekonomi tumbuh 5%. Bagaimanapun pencapaian ekonomi Indoensia masa Jokowi bukan hanya terbaik dibandingkan negara lain tapi memang keajaiban dunia.

Sumber https://culas.blogspot.com/

Artikel Terkait