Ahok Dan Jokowi..


Ketika terjadi kontradiksi keras antara keluarga Bani Abbas yang berkuasa dengan Bani Al bin Abi Thalip, semua orang harus membenci keluarga Ali Bin Abi Thalip demi memuaskan sang penguasa. Tapi Imam Syafii yang sedang berada di Yaman sebagai guru agama, dengan tegas menyampaikan ia menyayangi keluarga Ali Bin Abi Thalip sebagimana ia menyayangi Rasul. Karena sikapnya itu ia difitnah sebagai musuh negara. Beliau ditangkap. Dari Yaman ia dibawa ke Baghdad dalam keadaan kaki dan tangannya dirantai. Murid pengikutinya sebanyak 9 orang dieksekusi pancung. Namun Imam Safii pada karenanya dibebaskan dari sanksi lantaran tidak terbukti ia berencana untuk makar kecuali memegang teguh prinsipnya menyayangi keluarga Rasul.

Ketika  Khalifah Al Ma’mun mengadakan dokrinisasi kepada para ulama dengan menyampaikan bahwa AL Alquran itu ialah makhluk  dan harus diterima ini sebagai paham. Sama menyerupai kini penguasa yang memaksakan paham secular untuk menggantikan paham agama. Tapi Imam Hambali tidak mau tunduk kepada dokrin itu. Bagi ia AL Alquran ialah kalamullah , dengan tidak membawa insan membicarakan apakah dia makhluk atau qadim. Filsafat jangan dicampur adukan dengan aqidah agama. Akibatnya ia dimasukan kedalam penjara dengan tuduhan tidak taat  pada dokrin khalifah. Didalam penjara beliu dipaksa untuk tunduk. Disiksa dengan cemeti sampai mengalir darah disetiap tubuhnya. Namun ia tidak pernah di kalahkan walau dalam keadaan kalah dihadapan penguasa.

Ketika Abu Bakar Bashir di tuduh di balik agresi teror, di pengadilan tidak satupun bukti dia terlibat kecuali di kait kaitkan oleh jaksa penuntut. Andaikan ABB mau merubah sikapnya terhadap keyakinannya beragama bahwa tegaknya syariah Islam ialah harga mati , tentu dia sanggup bebas. Tapi dalam pembelaan pribadinya di hadapan majelis hakim dengan tegas dia menyampaikan tak  akan merubah keyakinannya. Diapun di penjara seumur hidup. Nyoto yang tadinya di kenal sebagai tokoh PKI dan tersingkir dari elite PKI lantaran berbeda paham dengan Aidit, namun saat di Mahmilub Militer walau dia bukan lagi elite PKI namun dia tetap membela sahabatnya. Dia gigih membela sahabat temannya dan karenanya dia harus mendapatkan sanksi mati. " Daun daun kering berguguran, untuk menumbuhkan daun daun muda yang segar. “ Sepenggal syair yang dibacakan oleh Nyoto  ketika menjemput sanksi mati dihadapan Mahmilub. Dia tersenyum mendapatkan maut.

Para doktrin dan ulama , juga tokoh Politik yang berjuang untuk nilai agama dan idiologi sangat sadar pilihan hidupnya. Mereka tidak pragmatis. Mereka istiqamah tanpa ada rasa takut. Hidup mereka di wakafkan untuk nilai-nilai yang di perjuangkanya tanpa sedikitpun mereka menjual dirinya untuk kesenangan dunia, apalagi berkompromi demi keselamatan hidupnya. Setiap orang dimanapun posisinya haruslah punya pilihan hidup yang harus dia perjuangkan. Niat baik dari perilaku hidup akan menuntunnya melihat dari tabir kegelapan. Sehingga menuntunnya untuk tetap konsisten tanpa rasa takut dan tidak terpancing menjual jiwanya untuk yang bukan di yakininya. Mungkin Ahok dan Jokowi bernasip lebih baik di bandingkan mereka yang berjuang dengan idealismenya di luar kekuasaan yang dengan gampang di kalahkan. Dengan kekuasaan di tangan, Ahok dan Jokowi menjadi corong kebenaran dari dalam kekuasaan, dan mereka konsisten memperjuangkan agendanya. Walau kita lihat para elite sibuk mengejar uang, jual-beli pengaruh, lewat lobi dan media, untuk memilih siapa yang pantas duduk sebagai gubernur dan presiden. Apa yang salah dan patut disalahkan. Namun mereka berdua tetap dengan sikapnya tanpa ada rasa sangsi atau mungkin lantaran itu kekuasaan lepas.

Mengapa ? Politik, menyerupai halnya di ketahui ialah tragedi, tak akan punya arti tanpa kesangsian. Sebab kita membaca sejarah bagaimana kekuasaan meringkus semuanya. Apa yang istimewa dalam kekuasaan? Mengapa segala cara dikorbankan untuk mendapatkannya mempertahankannya? Akhirnya ada yang lebih destruktif ketimbang pembunuhan—yakni sejenis nihilisme, yang menegaskan bahwa kita tak perlu sangsi lantaran kita tak perlu nilai-nilai. Tak ada dorongan yang gigih untuk mempertahankan apa yang baik. Memang sulit mencapai keadilan dan sekaligus kebenaran yang di yakini. Bagi Ahok dan Jokowi berada di dalam kekuasaan maupun di luar ialah tidak mudah. Dihadapan system akan selalu keadilan itu subjectif sebagaimana kebenaran itu sendiri. Tidak akan pernah ada system yang sempurna, walau dengan tegas bahwa kebijakan penguasa tidak sanggup di adili kecuali dia memperkaya diri lantaran kekuasaannya. ini semua scenario Allah untuk menguji insan yang beriman biar tetap istiqamah dengan piliihan hidup yang di yakininya. Soal salah atau benar maka nanti di yaumul hisab setiap orang harus mempertanggung jawabkannya di hadapan Tuhan. Tuhan lah sebaik baiknya hakim.

Karenanya kita tidak sanggup dengan gampang mengadili sejarah mengapa sultan dari Bani Abbas harus menghukum doktrin safie dengan begitu keras padahal hanya soal beda keyakinan. Begitupula halnya dengan Khalifah Al Ma’mun yang tak sanggup mendapatkan dokrinnya di tolak oleh seorang ulama sekelas imam Hambali sekalipun. Begitu juga rezim reformasi tidak sanggup mendapatkan perilaku dan keyakinan Abu Bakar Baasir terhadap system yang ada di Negara ini. Mungkin demokrasi ialah mengakui perbedaan namun perbedaan selalu yang menang ialah persepsi dari penguasa. Itulah sebabnya Nyoto sadar saat PKI kalah maka persepsi dirinya terhadap PKI tidak perlu lagi dia perjuangkan tapi dia sendiri tidak mau di kalahkan dengan keadaan. Tapi kita sanggup maklum bahwa kekuasaan memang punya cara sendiri untuk memaksa siapapun harus kalah. Namun kita di cerahkan oleh sebuah impian dari perilaku Jokowi dan Ahok bahwa perbedaan itu ialah keniscayaan, dan kekuasaan tidak selalu jelek dan tidak perlu ada peristiwa selagi di jalankan dengan niat baik dan konsisten lantaran Tuhan.

Sumber https://culas.blogspot.com/

Artikel Terkait