Pagi-pagi sekali, saya terbangun dengan perasaan segar. Aku duduk di teras rumah, menikmati hangatnya mentari pagi. Melalui telepon saya menghubungi Fund Manager-ku di Singapura untuk mengatur proses pengiriman dana ke lending bank melalui rekening off-shore milikku. Dana ini dipakai untuk penyelesaian hutang Budiman di Bank di Singapore. Aku bersyukur SBLC yang pernah diberikan Tomasi untuk membantu Budiman mendapatkan pinjaman, sanggup diselesaikan tanpa resiko apapun. SBLC tidak terancam di collect.
Ada harapan untuk menelepon Amir, namun segera kuurungkan. Teringat pertemuan kami yang kemudian di Hong Kong. Namun pikiranku masih terus kepada Amir dan tanpa diduga, telepon selularku berdering. Nampak di layar, tertera nama Amir.
“Hi, Jak.”
“Ya, Amir.”
“Kamu baik-baik saja kan?”
“Tentu. Gimana kabarmu?”
“Aku baik juga. Oh, lupakan pembicaraan kita tempo hari di Hong Kong. Aku pikir kau punya hak untuk memilih sikap,” kata Amir.
“Terima kasih. Aku sudah lupakan, kok.”
“Gimana kalau malam ini kita ketemu?”
“Apa ada yang penting?”
“Ah enggak. Aku cuma ingin ajak kau makan malam bersama teman? Ayolah. Di kawasan biasa.”
Aku tahu bahwa Amir selalu menikmati makan malamnya di American Club, maka saya segera menjawab, “Ok!”
“Ok, Bye..”
Malam itu, di American Club. Ini kali pertama saya bertemu dengan Robert. Sebelumnya saya hanya mengenal Robert dari media massa, sebagai pejabat tingkat tinggi forum multilateral. Berperan sebagai dokter ekonomi bagi negeriku yang sedang dirudung penyakit kanker.
“Kenalkan, ini temanku,” kata Amir kepada Robert dan beliau eksklusif menjabat tanganku erat. “Dia sahabat kuliahku dulu,” lanjut Amir.
“Oh ya? Senang bertemu dengan Anda,” kata Robert sambil tersenyum.
“Jak, kenalkan, ini Robert. Dia perwakilan forum multilateral keuangan di sini,” Amir tersenyum ramah, ketika memperkenalkan sahabatnya itu padaku.
Makan malam kami awali dengan basa basi. Tidak ada perbincangan yang begitu berarti. Tapi setidaknya, saya bahagia kekerabatan persahabatanku dengan Amir tetap terjalin. Dan Amir juga tidak pernah lagi menyinggung soal transaksiku.
Robert sendiri lebih asyik membicarakan soal perempuan dan seks. Dan jujur saja, hal itu yang membuat saya kurang bersimpati padanya. Namun, saya berusaha tetap bersikap ramah. mencoba memulai diskusi sedernana dengan Robert.
“Aku tidak mengerti mengapa begitu banyak dukungan yang diberikan IMF dan World Bank kepada negara ketiga, tapi sepertinya negara-negara itu justru makin jatuh dalam kubangan kemiskinan.”
“Untuk Anda ketahui, bahwa tujuan di balik program-program investasi, pinjaman dan dukungan ini, bukanlah untuk membantu. Tidak ada tujuan kita untuk membantu. Itu salah pengertian. Tujuan dari program-program ini yakni untuk melayani kepentingan-kepentingan pemilik modal global, yang notabenenya menguasai delapan puluh persen dana global. Tugas kami hanyalah melayani segelintir pemilik modal di planet bumi ini, bukan kepada pengemis modal. Walau pun mereka itu dominan penduduk dunia!”
“Oh begitu. Senang sekali mendapatkan pencerahan yang tak politis ini dari Anda,” kataku. " Itu sebabnya, dana yang diberikan bukan malah membantu, tapi justru membebani. Sebuah negara miskin yang meminjam dana dari Bank Dunia, kalau negara itu tidak bisa membayar bunga tinggi lantaran ekspor yang menurun atau alasan lain, maka negara itu akan meminjam kembali, kali ini kepada IMF. Tapi IMF justru akan memaksakan penerapan sebuah kegiatan pembiasaan struktur, yang mensyaratkan negara penghutang untuk memperlihatkan peniadaan pajak sementara kepada para korporasi-korporasi besar lintas-negara, mengurangi upah buruh, dan tidak melindungi produk-produk lokal dari penetrasi produk-produk impor. Serta memfasilitasi pengalihan saham-saham perusahaan negara kepada investor asing.
Negara penghutang akan ditekan untuk melaksanakan privatisasi perusahaan tambang, kereta-api, listrik, telekomunikasi, dan air higienis milik negara menjadi perusahaan-perusahaan swasta. Negara-negara penghutang dipaksa untuk membuka lahan hutan dan tanah mereka untuk pertambangan, tanpa peduli dengan potensi kerusakan lingkungan yang akan terjadi. Negara-negara ini juga harus memotong subsidi masyarakat dalam bidang kesehatan, pendidikan, transportasi dan ketahanan pangan. Atau dengan kata lain, berusaha mengurangi pengeluaran untuk rakyat sendiri demi mengumpulkan uang untuk pembayaran hutang-hutang mereka. Dengan bahasa bijak yang sering kita dengar, penghematan.
Negara-negara ini pun disyaratkan untuk menghasilkan produk-produk pertanian yang gampang diperdagangkan untuk mendapatkan pendapatan dari hasil ekspor, sehingga tanah untuk menghasilkan makanan bagi rakyat negara itu sendiri menjadi berkurang. Hal ini berlangsung di seluruh negara-negara dunia ketiga, di mana pendapatan riil telah turun, dan hutang negara melonjak ke titik di mana pembayaran hutang menyerap hampir seluruh pendapatan negara dari hasil ekspor. Alih-alih membantu, mereka justru membuat jurang kemiskinan yang lebih dalam dan luas, lantaran negara penghutang semakin kehilangan kemampuannya untuk menyediakan kebutuhan rakyatnya,” lanjutku
“Tepat sekali. Apa yang Anda ceritakan itu yakni kebijakan business biasa untuk meningkatkan nilai dari modal yang keluar,” Robert membenarkan alasanku sambil senyum tanpa risih, walau di depannya duduk seorang pejabat negara yang bersama-sama bertugas membela rakyat miskin.
“Apa pendapat Anda soal perilaku para kritikus yang menginginkan kekerabatan kerja dengan forum Anda dibubarkan?” tanyaku.
Robert tersenyum. “Kritikus itu bodoh! Tidak melihat permasalahan yang sebenarnya. Lembaga ini hanya soal nama dan bukan pemain. Penguasa bersama-sama yakni dana. Jadi, bubar atau tidak kekerabatan kerja dengan forum kami, sifat pemilik uang di dunia ini akan selalu sama. Katakanlah, seandainya kebijakan negara Anda beralih ke pasar uang lewat penerbitan obligasi untuk mendapatkan modal, sesungguhnya tidak ada bedanya dengan mendapatkan dana dari forum kami.
Karena tentu Anda membutuhkan underwriter dari korporasi keuangan global supaya obligasi Anda laris di pasar. Dan mereka pun akan meminta syarat-syarat yang tidak berbeda dengan apa yang kami minta. Kaprikornus berhentilah mengkritik, tapi berusahalah realistis bahwa money is the King!” jawab Robert dengan yakin.
“Mir!” seruku. “Kalau begitu rakyat harus disadarkan bahwa tidak ada budi yang berpihak kepada rakyat miskin, dari sistem kapitalisme ini. Kapitalis memang sengaja membuat sistem yang tak berkeadilan dan korup. Dan di tengah ketidakberdayaan negara kita melawan situasi, maka perang melawan sistem tak berkeadilan ini harus disebarluaskan menjadi gerakan revolusi bersama, yang akan mengobarkan kesadaran kepada rakyat hingga tergerak untuk bangun melawan. Cara yang akan ditempuh bukan melalui revolusi fisik tapi revolusi pemahaman agama secara hakikat di bidang ekonomi, sosial dan budaya. Upaya inilah yang akan mengorganisir masyarakat untuk menolong dirinya sendiri dari jeratan sistem kemiskinan yang dibentuk kapitalis.
Masa depan yakni ketidakpastian, itulah yang diyakini umat Islam sebagai hak Tuhan. Maka seharusnya fitrah ini yang dijadikan dasar bagi umat Islam untuk melaksanakan kegiatan ekonomi mereka, sebagai sebuah kegiatan kolektif untuk mengelola resiko ketidakpastian itu. Seluruh potensi umat diarahkan pada peperangan tiada simpulan melawan kekufuran, melawan musuh yang menghalangi misi Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, dan misi seorang muslim sebagai khalifatullah fil ardh. Dengan demikian. relevansi agama wacana watak mulia akan menjadi segala-galanya, mengalahkan hawa nafsu dan gelapnya bisikan setan. Inilah yang tidak dimiliki oleh sistem ekonomi lain, sebagai dasar untuk membuat kemakmuran.”
“Tapi, maaf, saya khawatir perilaku mirip Anda inilah yang jadinya melahirkan radikalisme agama dalam bentuk terorisme,” Robert menyela kata-kataku yang ditujukan kepada Amir.
Kutatap tajam kedua mata Robert. “Dengar!” suaraku agak meninggi. “Persepsi orang bahwa Islam identik dengan terorisme yakni salah. Yang dipandang sebagai musuh yakni kekufuran, maka termasuk juga kekuatan yang mendukung implementasi kekufuran, mempertahankan atau mempromosikan sistem kufur. Kalau kekufuran diibaratkan sebagai kemiskinan, maka Islam tidak memerangi orang-orang miskin, namun memerangi kemiskinan. Dan berarti, juga orang-orang yang membuat kemiskinan terus terjadi. Yaitu orang-orang yang terus berbuat kerusakan dan kezaliman dengan membuat sistem yang tidak berkeadilan di semua sektor kehidupan! Dalam hubungannya dengan orang-orang Yahudi dan Kristen, Islam tidak pernah melegitimate untuk memerangi mereka atas alasan perbedaan agama. Justru di dalam komunitas Islam, mereka bisa menikmati proteksi yang tidak pernah mereka temukan sebelumnya dari komunitas lain.
Jadi ketidakadilan sistem yang menjadi musuh Islam sesungguhnya. Dan bukan lantaran perbedaan agama. Juga, kami tidak berperang dengan memakai teror, tapi dakwah dengan pesan yang tersirat dan kasih sayang. Meski kadang, bisa juga berbentuk usaha dengan mengangkat senjata, perjanjian tenang atau obrolan mengembangkan nasehat.”
“Wah, kok jadi serius pembicaraannya. Santai ajalah,” Amir tersenyum kepada kami, berusaha menetralisir keadaan.
“Temanmu ini, sangat realitis,” kata Robert.
“Begitupula dengan Anda. Aku juga bahagia mendengar kejujuran Anda wacana kapitalisme,” jawabku enteng dan segera mengakhiri makan malam itu kemudian beranjak pulang. Walau Amir bersikeras untuk tetap bersama menikmati wine dan alunan musik di kafe, namun saya tetap memaksa pulang dengan alasan istriku sudah menunggu di rumah. Amir mengantar hingga pintu keluar. “Jak, terima kasih untuk kedatangannya,” kata Amir sambil memelukku erat.
“Terima kasih juga untuk makan malamnya,” Aku menimpali
Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/