AirAsia ialah maskapai penerbangan yang dikenal dengan istilah low cost carrier ( LCC) atau airline budget. Mengapa sanggup murah? Ini terletak kepada management business airline yang mencakup pertama, menentukan jenis pesawat yang tunggal, biasanya menentukan pesawat Airbus 320 atau jenis Artikel Babo yang mempunyai reputasi baik dalam jangka panjang. Cara ini efisien karena biasanya diberikan diskon pembelian oleh produsen pesawat, dan pilot juga akan mendapatkan latihan dalam waktu yang lebih pendek, ditambah reparasi dan pemeliharaan pesawat. Kedua, menekan biaya overhead atau biaya operasional ibarat honor kru pesawat yang relatif rendah. Sebagian stafnya dipekerjakan dalam bentuk kontrak untuk mengurangi biaya tenaga kerja. Sebagian maskapai bahkan menyewa rumah di sekitar bandar udara untuk menghemat biaya penyewaan rumah kru pesawatnya. Melakukan pencucian pesawat dengan frekwensi lebih rendah, atau mengurangi waktu singgah pesawat di bandar udara. Penumpang tidak disuguhkan masakan atau surat kabar gratis. Ketiga, meningkatkan jadwal penerbangan supaya semakin banyak seat terjual semakin menekan biaya overhead. Namun penghematan biaya itu hanya sanggup menekan harga maksimum 30% dari harga umum. Mengapa? Karena 70%nya merupakan biaya fuel dan maintenance yang tidak sanggup dihemat. Berkat bertambahnya jumlah penduduk yang termasuk kelas menengah, maskapai penerbangan murah di Asia Tenggara khususnya di Indonesia mengalami perkembangan pesat dalam beberapa tahun terakhir. Namun laju perluasannya yang terlalu cepat juga membawa kesulitan bagi bandar udara dan mata rantai Artikel Babo, apalagi jika management angkutan udara pemerintah lemah dan korup.
Kasus kecelakaan pesawat AirAsia QZ8501, Minggu 28 Desember 2014 lalu, membuka kebobrokan administrasi penerbangan di Indonesia. Diketahui, pesawat AirAsia QZ8501 dengan rute Surabaya-Singapura berangkat pada Minggu, 28 Desember 2014. Pada pukul 07.55 WIB, pesawat berpenumpang 162 orang itu hilang kontak dari menara Air Traffic Control (ATC). Penerbangan itu bukanlah penerbangan tambahan, melainkan penerbangan reguler. AirAsia hanya memperoleh izin terbang pada hari Senin, Selasa, Jumat dan Sabtu. Namun, realisasinya Senin, Selasa, Jumat dan Minggu. AirAsia tidak mengajukan request perubahan izin terbang dari hari Sabtu ke Minggu kepada Dirjen Perhubungan Udara. Oleh karena itu, status penerbangannya dianggap ilegal. Benarkah? Sementara pemerintah Singapura menyebutkan bahwa AirAsia tidak melanggar izin terbang di sana karena telah mengantongi izin terbang pada Senin, Selasa, Jumat dan Minggu. Dan ini sudah berlangsung semenjak simpulan bulan Oktober 2014. Manakah yang benar? Atau Otoritas bandara dan Air Navigation sebagai pengawas mengetahui kegiatan itu, namun tak ada penindakan atas hal tersebut, karena di suap. Ataukah baik DJU maupun otoritas pengawas sama sama tahu tapi membiarkan terjadi begitu saja karena suap?
Sejak 10 tahun kemudian , kinerja Kementerian Perhubungan sangat buruk, Pada audit International Civil Aviation Organization (ICAO) ditemukan 121 perkara yang membahayakan keselamatan penerbangan sipil di Indonesia yang harus segera ditindaklanjuti oleh regulator namun tidak pernah dibenahi. Karena itu jadinya Uni Eropa (UE) melarang pesawat terbang yang diregistrasi oleh Kementerian Perhubungan terbang melintas dan mendarat di wilayah UE. Kemudian Federation Aviation Administration (FAA) Amerika Serikat juga meletakkan otoritas penerbangan Indonesia di Category 2. Artinya semua pesawat dengan pendaftaran PK (dikeluarkan oleh otoritas penerbangan Indonesia) tidak boleh melintas dan mendarat di wilayah daratan Amerika karena sanggup membahayakan keselamatan masyarakat Amerika. Jangan heran saat maskapai Citilink mengajukan ke otoritas penerbangan Australia untuk sanggup menerbangi kota-kota besar di Australia, ditolak. Jangan heran saat Indonesia pada sidang ICAO di Montreal simpulan tahun 2013 kemudian juga tidak terpilih menjadi anggota penuh kelompok III dan gagal menggeser Malaysia. Lalu jangan pernah bermimpi untuk mengambil alih wilayah udara sektor A dari tangan Singapura. Ini merupakan cermin betapa brengseknya managemen angkutan Udara dimasa lalu. Kalau ini terus terjadi maka harapan Indonesia untuk berubah posisi dari Cat 2 (dilarang terbang) ke Cat 1 (diizinkan terbang) di FAA pada bulan Mei atau Juni 2015 kembali akan menjadi mimpi di siang hari. Kalau Indonesia masih di Cat 2 FAA, jangan harap industri penerbangan Indonesia, dalam hal ini regulator, akan diperhitungkan di dunia penerbangan Internasional.
Kuncinya ialah Indonesia harus mempunyai regulator yang berpengaruh dan tegas supaya management angkutan udara sanggup tertip. Tidak ada lagi celah untuk sanggup melaksanakan tindakan “shortcut” melanggar regulasi. Misalnya apa yang dilakukan oleh Indonesia Air Asia (IAA) terkait dengan izin terbang, juga dilakukan oleh maskapai penerbangan lain. Praktek model ini terjadi karena memamg dilegalkan oleh pegawanegeri DJU yang berwenang. Tentunya praktek shortcut ini tidak gratis. ini menimbulkan biaya tinggi di maskapai penerbangan. Tanpa shortcut dengan perhiasan biaya , jangan harap semua jenis izin akan keluar dengan mudah, meskipun segala persyaratan telah dipenuhi. Pelanggaran hukum yang berbiaya tinggi inilah yang sedang dibenahi oleh Menteri Perhubungan. Apalagi paska kecelakaan AirAsia , Jokowi telah memerintahkan Menteri Perhubungan, Jonan untuk mengembalikan tugas negara secara real dibidang transfortasi umum khususnya transfortasi udara. Jangan adalagi berandal business yang menciptakan reputasi negara rusak dan rakyat sebagai konsumen dikorbankan tanggapan armada yang tidak aman. Upaya pembenahan ini bukanlah pencitraan tapi upaya memperbaiki tanggapan kebusukan yang selama ini ditutupi oleh pencitraan pemerintah yang culas dan malas. Bagaimanapun sudah cukup kehormatan negara hancur dimata international tanggapan birokrasi yang brengsek ini ...
Sumber https://culas.blogspot.com/