Wanita itu tiba dari kabut di satu sore yang mendung. Di antara detik bunyi gerimis dan leleh keringat yang bercampur dengan sengau napas yang mengeluarkan asap menyerupai naga yang kelelahan mendaki menuju pesanggrahan di daerah perbukitan.. Wanita itu menyimpan mata yang aneh. Mata yang selalu murung meski urat-urat di sekitar mulutnya tertarik ke atas untuk mengukir sepenggal tawa. Mata itu membutuhkan kemampuan ekstra jenius untuk mengurai satu per satu sel-sel makna di dalamnya. Aku melihat Jesica sedang tidak menari di mata itu. Mata yang marah. Mata yang diam. Mata itu membutuhkan istirahat dari pertanyaan.
”Ini kali pertama saya tiba ketempat ini. Inikah tempat persembuyianmu.”
”Aku juga. Ini tempat sengaja saya pilih semoga kita bisa bicara tanpa ada kenangan masa lalu.?”
”Aku juga. Ini tempat sengaja saya pilih semoga kita bisa bicara tanpa ada kenangan masa lalu.?”
“ Hmmm..Masa kemudian ? Belum juga setahun. “
“ Tapi setahun juga kan waktu..”
“ Terserah kau ajalah.”
“ Kamu merindukan ku ?
“ Kenapa tanya ? Apakah kau sedang mentertawakan saya dengan keadaan ku kini ?
“ Tidak. AKu hanya sekedar bertanya. Engga boleh ?
“ Terserah kau ajalah, Dono.”
“ Ketus amat sih. Lihat saya kini ada di hadapanmu. Tidak kah kau merindukan ku..ayo peluk aku,” Kataku sambil merentangkan kedua tanganku. Dia mejatuhkan kepalanya di dadaku. Matanya terpejam “ Lama sekali…” Katanya pelan seakan bicara kepada dirinya sendiri. Betapa beliau sangat merindukan ku. Namun alasannya ialah sifat egoisnya beliau bertahan untuk tidak ingin bertemu denganku. Kecuali jika ada masalah, beliau akan menghubungiku. Dan saya selalu menantinya. Seperti kini ini.
Percakapan biasa dari sebuah pertemuan tampak biasa. Kami sudah saling kenal satu sama lain. Tak ada belakang layar diantara kami. Aku merasa perempuan itu telah ada dalam tubuhku beratus-ratus tahun yang lalu. Aku tahu sekali pertemuan ini harus terjadi dan entah kenapa saya percaya semenjak awal bahwa beliau tidak akan secure hidupnya tanpa aku.. Mata itu bicara. Mata itu merindukan kedatanganku. Mata itu dahaga memandangku.
”Kamu menyerupai orang patah hati deh…” kataku.
” Memang. Kamu juga menyerupai orang stress.?”
”Memang. Makara kita sama- sama orang cacat neh?”
”Cacat?”
” Iya, cacat emosi.”
” Memang. Kamu juga menyerupai orang stress.?”
”Memang. Makara kita sama- sama orang cacat neh?”
”Cacat?”
” Iya, cacat emosi.”
Hujan sering turun dalam di gelap atau di pagi dengan kabut menghebat. Kami bicara banyak dalam kata, tapi juga kami bicara banyak antara mata. Dulu kami sering menikmati malam di cafe berkelas. Kami melihat orang tiba dengan tawa dan senyum palsu. Wine berbotol dan wiski berloki loki di iringi musik jazz menciptakan suasana penuh kepalsuan terasanya nyata. Aku sangat suka caranya beliau mentertawakan semua hal , termasuk derita. Baginya tidak ada orang baik yang ada orang cerdas. Orang pergi ke tempat ibadah bukan alasannya ialah beliau ingin mencari Tuhan tapi alasannya ialah stress memikirkan hidup yang tidak ramah. Mereka butuh pengalihan waktu barang sejenak semoga bisa bertahan dalam kekalahan dan rasa kawatir. Juga orang yang tiba ketempat hiburan. Bukan mencari kesenangan dan kebahagian dari uang berlebih. Tapi hanya sekedar lari dari kegalauan hutang yang belum dibayar, keluarga yang tak menentramkan, kompetisi hidup yang menyesakan. Semua orang berusaha recharge bateray kehidupannya, dan soal apakah itu tempat hiburan atau tempat ibadah sebagai pelarian hanyalah situasi dan kondisi kantong aja.
” Pelangi itu indah.” Katanya memandang dari teras kearah ujung langit.
” Kupu-kupu juga indah, kau tahu kan saya suka kupu-kupu?” Kataku cepat.
” Pelangi itu ajaib.” katanya sekenanya
” Cinta juga ajaib.” Aku menjawab cepat.
” Pelangi itu philosopi semesta. Penuh warna.” Dia mulai dengan keahliannya dalam hal analogi.
” Kamu hadiah semesta.”
” Aku mencintaimu…”.
” Kupu-kupu juga indah, kau tahu kan saya suka kupu-kupu?” Kataku cepat.
” Pelangi itu ajaib.” katanya sekenanya
” Cinta juga ajaib.” Aku menjawab cepat.
” Pelangi itu philosopi semesta. Penuh warna.” Dia mulai dengan keahliannya dalam hal analogi.
” Kamu hadiah semesta.”
” Aku mencintaimu…”.
” Kamu tidak mencintaiku tapi hanya terpesona saja?”
” Mengapa kau bilang itu ? Kita telah bersama sama lebih dari 10 tahun.Apakah itu tidak cukup bagimu untuk mengetahui seoranga perempuan menyayangi atau tidak ”
” Kamu mencintaiku?” tanyaku kembali dengan senyum sinis.
” ya sudahlah. Engga usah bahas soal cinta. “
”Baiklah. Deal “
” Mengapa kau bilang itu ? Kita telah bersama sama lebih dari 10 tahun.Apakah itu tidak cukup bagimu untuk mengetahui seoranga perempuan menyayangi atau tidak ”
” Kamu mencintaiku?” tanyaku kembali dengan senyum sinis.
” ya sudahlah. Engga usah bahas soal cinta. “
”Baiklah. Deal “
“ Jadi, untuk apa pertemuan ini ?
“ Kembali bekerja denganku.”
“ Kantor yang usang ?
“ Ya. Tapi kiprah kau sesungguhnya bukan itu. Karena kantor itu sudah jalan sistemnya. Aku inginkan kau terlibat dalam business process pendirian pabrik. “
“ Ah itu bukan problem serius.Mengapa harus saya ? Katanya penuh selidik.
“ KIta butuh tekhnologi”
“ Dan kau tidak bisa membeli teknologi itu dengan gampang kan ?
“ Tepat.”
“ Dan kau butuh aku?”
“ Sinergi tepatnya. Saling membutuhkan.”
“ Yang niscaya jika kau butuh orang, kau akan bujuk orang, Termasuk saya yang sudah dibuang di pungut lagi.”
‘ Jangan begitulah. Aku percaya kamu.”
“ Ya alasannya ialah saya tergila gila dengan kau dan mau melaksanakan apa saja demi kamu, ya kan ?
“ Duh..bisa engga jangan ketus terus. Pening kepalaku, sayang”
“ Aku murka dan kesal dengan kau tapi tidak punya alasan untuk menghilang darimu.”
“ Ya alasannya ialah kau mencintaiku.”
“ Naip ya.”
“ Engga juga. Itu berkah dari Tuhan. Sabar aja. Lihat sisi lain dari korelasi kita.”
“ Entahlah…”
“ Makara gimana ? mau kerja lagi dengan aku.?
“ Mengapa kau harus tanya lagi. Kamu kan tahu saya perempuan yang terjebak dari kerakusan laki-laki yang kucintai namun tidak pernah bisa kumiliki. Aku tidak bisa menolak. Paham !
“Paham ”
“ Puas !”
“ Puas !”
“ Biasa sajalah..”
“ Kapan mulai kerjanya ?
“ Kapan kau siap “
“ Ok.”
( BERSAMBUNG )