Sebelum Era Jokowi.
Business pangan yaitu business yang dekat dengan politik. Henry Kissinger pada tahu 1970 pernah berkata “Control oil and you control nations; control food and you control the people. Dalam system kapitalis pengendalian terhadap minyak dan pangan yaitu segala galanya. Dibidang pangan, Pengusaha domestik dan international saling terkait untuk membuat pasar yang oligopolistis. Di pasar internasional terdapat empat pedagang besar yang disebut ABCD, yaitu Acher Daniels Midland (ADM), Bunge, Cargill, dan Louis Dreyfus. Mereka menguasai sekitar 90% perdagangan serealia atau biji-bijian dunia. Di pasar domestik. Importir kedelai hanya ada tiga, yakni PT Teluk Intan (menggunakan PT Gerbang Cahaya Utama), PT Sungai Budi, dan PT Cargill.
Sementara itu, empat produsen gula rafinasi terbesar menguasai 65% pangsa pasar gula rafinasi dan 63% pangsa pasar gula putih. Kartel juga terjadi pada industri gula rafinas yang memperoleh izin impor raw sugar (gula mentah) 3 juta ton setahun yang dikuasai delapan produsen . Untuk distribusi gula di dalam negeri 70% dikuasai oleh PT Angels Products, PT Citra Gemini Mulia, PT Duta Sumber Internasional, PT Sarana Manis Multi Pangan, PT Manis Rafinasi, PT Sari Agrotama Persada, PT Sentra Utama Jaya, dan PT Mega Sumber Industri.
itulah bukti bahwa Mafia dalam perdangangan komoditas pangan memang ada. Mengapa disebut mafia? Karena terbangunnya kartel sedemikian rupa berkat kekuasaan yang diberikan oleh negara untuk memilih harga dan mengontrol pasar oleh segelintir orang. Ini konspirasi solid antara penguasa dan pengusaha. Mereka tidak mengambil uang APBN.Tidak!. Tapi aturan atau UU yang mereka usulkan didukung oleh pemerintah dan di endorsed oleh parlemen. Dengan ini mereka merampok uang rakyat secara tidak pribadi lewat kenaikan harga dipasar. Hampir setiap lini bisnis di negeri ini sudah dicemari praktik tercela itu. Tak mengherankan jikalau perekonomian nasional terus terdistorsi. Fundamental ekonomi nasional berpengaruh tapi rupiah melemah. Harga barang dan jasa acap kali melejit tanpa lantaran yang jelas. Mekanisme pasar kerap lumpuh. Hukum penawaran dan usul dibentuk tak berdaya. Hal ini sangat memprihatinkan lantaran kejatuhan Soeharto salah satu sebabnya yaitu praktek bisnis tercela ini.
Hampir setiap tahun, saat gejolak harga pangan melonjak tinggi, salah satu sorotan pemerintah dan banyak sekali kalangan terkait yaitu indikasi praktik kartel dalam pasar komoditas pangan. Sorotan akan perlahan mereda saat harga komoditas pangan beranjak turun. Ada lima komoditas yang dikuasai oleh kartel yaitu gula, kedelai, beras, jagung. Kartel telah menyebabkan harga komoditas pangan itu cenderung terus naik di dalam negeri. Mereka mengotrol harga untuk meraih keuntungan setinggi tingginya. Diperkirakan mereka meraup keuntungan Rp 13,5 triliun per tahun. Keuntungan itu berasal dari 15% nilai impor komoditas pangan yang setiap tahun sekitar Rp 90 triliun. Ini memang business dahsyat.
Era Jokowi.
Semenjak Bulog dilucuti habis-habisan dengan dalih liberalisasi, penyediaan konsumsi pangan masyarakat sepenuhnya dalam kendali Pedagang besar, importir dan pabrikan swasta. Dengan penguasaan pangsa pasar sebesar itu, telah terjadi kartel penentu harga. Karena itulah, pemerintah melaksanakan intervensi, supaya masyarakat tak dirugikan.
Pemerintah menyadari bahwa mafia kartel Pangan harus di hentikan. Dalam arti tidak melarang pengusaha untuk melaksanakan bisnis pangan namun dilarang mengontrol harga tanggapan adanya kartel. Caranya? Impor pangan hanya diadakan setahun sekali dengan quota memperhatikan kemampuan pasokan petani dan harga di tingkat konsumen. Makara engga bisa lagi impor seenaknya sesuai usul pengusaha yang melobi pejabat. Dengan setahun sekali impor maka akan lebih efisien dan gampang diawasi pemasukan barang dan pendisitribusiannya.
Dari sisi retail , Kementerian Perdagangan (Kemendag) merilis peraturan yang penetapan harga teladan bagi tujuh komoditas pangan. Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 63 Tahun 2016 wacana Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen. Aturan ini bertujuan untuk menurunkan dan membuat stabilitas harga pangan. Tujuh komoditas pangan yang diatur harga acuannya antara lain beras, jagung, kedelai, gula, bawang merah, cabai, dan daging sapi. Dengan demikian petani lebih sejahtera, para pedagang mendapat keuntungan yang masuk akal dan konsumen mendapat harga yang lebih terjangkau.
Kemudian, dikeluarkannya Permendag No.27 Tahun 2017 sebagai revisi Permendag 2016, maka Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (BULOG) di beri tugas strategis melakuan operasi pasar melaksanakan pembelian dan penjualan untuk tiga komoditas, yaitu beras, jagung, dan kedelai. Artinya jikalau harga di tingkat petani berada di bawah Harga Acuan Pembelian di Petani dan harga di tingkat konsumen berada di atas Harga Acuan Penjualan di Konsumen, maka Mendag sanggup menugaskan BUMN untuk melaksanakan pembelian sesuai ketentuan yang berlaku. Sehingga petani tidak dirugikan. Sedangkan untuk Bulog dan/atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Artikel Babo akan mengacu pada ketentuan ini dalam melaksanakan pembelian dan penjualan untuk enam komoditas, yaitu gula, minyak goreng, bawang merah, daging sapi, daging ayam ras, dan telur ayam ras. Dalam hal ini, Bulog dan BUMN Artikel Babo sanggup bekerja sama dengan BUMN, BUMD, Koperasi, dan atau swasta.
Secara aturan pedagangan , pabrikan maupun importir sanggup di jerat aturan pidana bila melanggar aturan yang ditetapkan oleh Pemerintah. Dan polisi punya kepastian aturan untuk menindak para pemain kartel pangan. Berpuluh puluh tahun negeri ini dikuasai oleh mafia berkelas mafia yang diback up penguasa untuk mendapat rente dari praktek monopoli dan oligopoli komoditas pangan sehingga mereka menjadi diktator harga untuk mendatangkan keuntungan tak terbilang. Dan sekarang di kala Jokowi , pesta itu usai sudah. Apa karenanya ? Index GFSI ( Global Food Security Index atau Indeks Ketahanan Pangan Global bila tahun 2014 menempati urutan 76 dari 133 negara tapi tahun 2016 naik menjadi urutan 71 dan tahun 2017 menjadi 51. Ini bukti hasil observasi dunia kehebatan Indonesia mengelola ketahanan pangan.