Dari data BPK hasil audit 2014 yang di release tahun 2015 , 146 BUMN yang menderita kerugian. Dari sejumlah itu ada enam besar langganan rugi yaitu Perum Bulog, PT. Perusahaan Gas Negara ,PT.PLN. PT. PAL, PT. Garuda Indonesia, PT.Pertamina tapi apabila potensi rugi akhir PT.Petral dimasukkan maka PERTAMINA menempati urutan nomor 1 dalam daftar kerugian BUMN. Era Jokowi hasil audit tahun 2015, tercatat masih ada 27 BUMN yang mengalami kerugian. Tahun ini tinggal 24 BUMN yang merugi. Prestasi terbaik dari pemerintah Jokowi ialah mengeluarkan PERTAMINA, PLN, PT. GAS NEGARA dari daftar rugi. Maklum ketiga BUMN ini nilai kerugiannya mencapai 60 % dari total kerugian dari 146 BUMN. Bahkan kini ketiga perusahaan itu mencatat keuntungan significant yang sebelumnya tidak pernah terjadi.
Upaya perbaikan BUMN semenjak Era Jokowi memang sangat rumit. Karena melibatkan bukan hanya satu perusahaan tapi ratusan. Belum lagi selama ini BUMN sebagai sapi perahan para elite politik, dengan praktek KKN yang kental. Tapi Jokowi terus melaksanakan terobosan, bahkan khusus untuk Pertamina dan PLN Pemerintah terpaksa melaksanakan akrobat politik yang berdampak kegaduhan di Senayan dari koalisi oposisi. Namun proses jalan terus dan dampaknya sangat significant. Pertamina dan PLN sanggup untung besar. Tahun 2016 keuntungan PERTAMINA tembus Rp. 40 triliun dan PLN tahun 2015 untung sebesar Rp 15,6 triliun dan tahun 2016 sebesar Rp 10,5 triliun dimana penurunan terjadi sebagai konpensasi tarif bagi dunia usaha.
Secara keseluruhan performance BUMN di 2017, memperlihatkan peningkatan yang signifikan. Dalam laporan semester I 2017 pendapatan sebesar Rp 936 triliun atau tumbuh sekitar Rp 330 triliun dari periode yang sama tahun lalu. Ekuitas sebesar Rp 2.297 triliun dan tumbuh sebesar Rp 220 triliun dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kemudian pertumbuhan aset sebesar Rp 700 triliun. Selama enam bulan, BUMN belanja modal atau capital expenditure (capex) mencapai Rp 111 triliun. Jumlah ini meningkat dibanding capex semester I 2016 sebesar Rp 79 triliun. Dibanding tengah tahun lalu, tengah tahun ini capex BUMN lebih garang dengan pertumbuhan sekitar Rp 40 triliun. Kemudian Opex (operating expenditure) sebesar Rp 688 triliun. Belanja modal selama semester I banyak dipergunakan untuk infrastruktur, listrik, migas dan telekomunikasi. Sedangkan untuk public service obligation (PSO) mencapai angka Rp 76,7 triliun yang dialokasikan untuk 8 jenis layanan. Yakni untuk benih, listrik, elpiji dan BBM, ada untuk pos, pupuk, rastra, dan untuk sektor transportasi. Semua dicover BUMN.
Memang masih ada yang belum menguntungkan atau merugi. Tapi penyelesaiannya tidak terlalu rumit. Karena tidak menyangkut soal kebijakan politik. Seperti halnya Garuda merugi bukan alasannya ialah business nya jelek tapi alasannya ialah struktur permodalannya tidak sehat dan ini harus di perbaiki lewat PMN. PERUM BULOG , PT. BERDIKARI, PT. RNI yang masih merugi alasannya ialah beban Public Service Obligation sangat besar, akibatnya pemerintah harus memperlihatkan subsidi dan akomodasi biar tidak merugi. Yang lain menyerupai ANTAM itu alasannya ialah faktor harga nikel yang jatuh dipasar namun kini sudah membaik. Hampir semua Industri strategis menyerupai PT PAL Indonesia (Persero), PT Dok dan Perkapalan Surabaya (Persero), PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, PT Boma Bisma Indra (Persero), PT INTI (Persero) dalam keadaan merugi. Ini penyebabnya dari awal pendirian memang tidak efisien dari sisi permodalan dan investasi. Dulu sasaran pak Harto membangun industri tersebut lebih alasannya ialah faktor politik , sementara unsur bisnis tidak begitu di perhatikan. Di kala SBY saat ekonomi lagi booming perbaikan struktur permodalan tidak dilakukan dan reorientasi bisnis ke pasar tidak diterapkan. Dampaknya kerugian semakin besar akhir kalah kompetisi. Saat kini Jokowi mulai melaksanakan reorientasi business terhadap industri strategis dan kalau keadaan APBN mencukupi PMN niscaya di berikan kepada BUMN tersebut.
Memang masih ada yang belum menguntungkan atau merugi. Tapi penyelesaiannya tidak terlalu rumit. Karena tidak menyangkut soal kebijakan politik. Seperti halnya Garuda merugi bukan alasannya ialah business nya jelek tapi alasannya ialah struktur permodalannya tidak sehat dan ini harus di perbaiki lewat PMN. PERUM BULOG , PT. BERDIKARI, PT. RNI yang masih merugi alasannya ialah beban Public Service Obligation sangat besar, akibatnya pemerintah harus memperlihatkan subsidi dan akomodasi biar tidak merugi. Yang lain menyerupai ANTAM itu alasannya ialah faktor harga nikel yang jatuh dipasar namun kini sudah membaik. Hampir semua Industri strategis menyerupai PT PAL Indonesia (Persero), PT Dok dan Perkapalan Surabaya (Persero), PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, PT Boma Bisma Indra (Persero), PT INTI (Persero) dalam keadaan merugi. Ini penyebabnya dari awal pendirian memang tidak efisien dari sisi permodalan dan investasi. Dulu sasaran pak Harto membangun industri tersebut lebih alasannya ialah faktor politik , sementara unsur bisnis tidak begitu di perhatikan. Di kala SBY saat ekonomi lagi booming perbaikan struktur permodalan tidak dilakukan dan reorientasi bisnis ke pasar tidak diterapkan. Dampaknya kerugian semakin besar akhir kalah kompetisi. Saat kini Jokowi mulai melaksanakan reorientasi business terhadap industri strategis dan kalau keadaan APBN mencukupi PMN niscaya di berikan kepada BUMN tersebut.
Ada juga BUMN yang secara bisnis engga sanggup lagi bisnisnya di pertahankan alasannya ialah faktor kompetisi akhir adanya perubahan tekhnologi dan pasar seperti PT Pos Indonesia (Persero), PT Balai Pustaka (Persero). Untuk kedua perusahaan ini sebaiknya pemerintah merestruktur bisnisnya sesuai tuntutan pasar dan zaman. Tentu SDM juga harus diperbaiki biar sesuai dengan perubahan bisnis. PT Hotel Indonesia Natour (Persero) sebaiknya di jual saja. Karena nilai PSO nya rendah sekali. Dalam hal PT Indofarma (Persero) Tbk terus merugi. Secara bisnis dan management tidak ada yang salah. Yang salah alasannya ialah perusahaan bekerja dibawah kapasitas. Pemerintah harus mendukung perluasan perusahaan biar leading dalam bisnis Farmasi dan mencetak laba.
Jadi kalau sebagian orang menilai kerja Jokowi engga beres sehingga menciptakan BUMN merugi terang mereka masih terjebak dengan atmospir kala Soeharto dan SBY. Mereka hanya bicara tanpa data dan menganalisanya dari sudut haters tanpa pengetahuan cukup sebagai pengusaha. Kini keadaan berubah dan BUMN sudah dikelola dengan transfaransi tinggi dan hanya bermitra dengan mereka yang qualified secara bisnis.