Jangan Sedih, Uni...


Uni membisu saja. Hanya memandang. Lurus. Kosong, jauh. Lebih-lebih jikalau duduk depan jendela. Angin kadang memburai-burai rambutnya hingga masai, namun Uni bergeming. Matanya terus menerawang ke cakrawala. Wajahnya tambah putih, kian lesi. Tidak jarang air matanya merambat sepanjang pipi. ”Uni ! Uni !” adik-adik mengimbau, berlari mendekati, memeluk, serta menarik-narik tangannya. Uni tak hirau. Tetapi ibu terus bicara. Ibu bilang kami juga harus sering bicara dengan Uni , menyeru namanya. ”Tapi Uni membisu saja,” kata adik-adik. ”Seperti tak mendengar.”
”Uni mendengar,” ujar ibu. ”Dia sayang sekali kepada kalian.”

”Mengapa uni tidak menyahut?” adik terkecil bertanya kepada Uni Ros.

” Uni sedang malas bicara,” jawab Uni Ros. ”Ajaklah terus berkata-kata.”

”Malas bicara, ibarat jikalau saya ngambek?”

”Ya. Begitu.”

Sambil lambat-lambat menyisir rambut uni yang sepinggang ibu berucap, ”Ai, ai, harum dan bagus sekali rambutmu, Nak. Ikal. Legam. Ah, tidak elok kita terus mengenang yang sudah-sudah hingga rambut tak terurus. Itu, paman dan bibimu tiba, Nak. Salamilah paman dan bibimu.” Uni tetap tidak beringsut. Sudah usang uni serupa patung hidup. Sejak ia di pulangkan oleh suaminya , alasannya ialah Uni tidak mau dimadu untuk kesekian kalinya. Suaminya guru mengaji dan juga acap diundang orang berdakwah. Pada waktu suaminya minta izin menikah untuk kali pertama, Uni bisa mendapatkan alasannya ialah Uni belum juga hamil sehabis dua tahun menikah.

Tapi ketika suaminya minta izin menikah untuk ketiga kalinya Uni tidak menjawab apapun. Suaminya tetap melangsungkan pernikahan. Dan ketika suaminya menikah untuk keempat kalinya, Uni berontak dengan bunyi kencang sekali. Setelah itu Uni tidak lagi bicara. Dia menutup rapat mulutnya. Mungkin alasannya ialah itu suaminya memulangkan Uni ke rumah kami.
”Baru kemarin saya gres bisa berangkat,” kata Paman Adi ibarat minta maaf. ”Aku sibuk sekali. Banyak rapat bisnis yang harus saya lakukan.”

” Harus tunggu anak anak untuk jaga rumah. Baru bisa kemari. Maklum kami hanya berdua saja dirumah ” istri paman menambahkan.

”Paham saya itu,” balas ibu mengangguk, kemudian menoleh kepada Uni. ”Begitu keadaannya, lihatlah.”

Istri Paman Adi menghampiri uni. ”Tapi mau ia makan, Uni?

”Mau. Disuapi.”

”Disuapi?” Bibi senyum memeluk pundak Uni. ”Disuapi engkau Meriani, anak rancak? Eh, kenapa keningnya ini?” Senyum bibi tiba-tiba lenyap.

”Tempo hari ia benturkan ke beling rias,” sahut ibu. ”Tapi tidak dalam. Sudah kering sekarang.”

”Kenapa bisa begitu Nak!” Seru Bibi. “ Tengoklah, Bang!” Kata bibi kepada Paman. Bibi merebahkan kepala Uni di dadanya. Membelai-belai rambut erat luka. ”Masih rajin engkau mengaji, Meri? Nanti mengaji, ya. Bibi ingin mendengarmu mengaji. Pamanmu juga.” Tidak berjawab. Hanya bulu mata lentik Uni mengerjap-ngerjap. Kemudian air 
matanya membersit lambat-lambat, bagai rembesan pada panci rusak.

”Lepaskan, Nak. Tumpahkan terus. Menangislah keras-keras!” ujar bibi masih tersenyum. Kakak terisak. Bahunya bergerak-gerak. Adik-adik dan Uni Ros berlarian mendekat. ”Uni! Uni...! Mereka rangkul tangan dan badan Uni . Uni tersedu-sedu dalam pelukan bibi.

”Maulud Nabi kemarin sudah tak disuruh orang ia mengaji,” kata ibu ibarat berbisik kepada Paman Adi.

”Buya Nawawi juga tidak menyuruh?”

”Dia tetap. Sengaja buya bau tanah itu kemari. ’Siapa pula anak gadis sefasih engkau mengaji Meri, ia bilang. Mengajilah ketika maulud, sebagai biasa’. Tapi yang muda-muda menolak. Sekarang orang-orang muda berkuasa di surau. Katanya, tak ingin mendapatkan istri durhaka kepada suami”

Paman Adi melempar pandang ke luar rumah. Sebuah bendi lewat di muka rumah, penumpangnya tak menengok. Paman kembali melihat ibu. ”Sebaiknya Uni ikut denganku ke jakarta ,” ia bilang.

”Bagaimana saya bisa pindah, Adi ? " jawab ibu. ”Rumah ini peninggalan Uda Amsar kau. Aku ingin membesarkan anak anak dirumah yang Uda kau sanggup dari kerja kerasnya. Aku akan menjaga hartanya dan bekerja keras membesarkan konveksi yang diwariskan Uda kau”

” Uni masih muda. Menikahlah lagi”

" Sudah kepala lima usiaku. Tak terpikirkan bagiku untuk menikah lagi. Bagiku anak anak ialah kiprah yang harus saya tuntaskan. Ini amanah dari Uda kau sebelum meninggal. Eh siapa pula yang mau menikahi ku…"

" Uni saya hanya ingin menghindarkan Uni dari fitnah. Di kampung ini orang gampang sekali bergunjing walau sumber info fitnah belaka. Aku sebagai adik laki-laki Uni harus bertanggung jawab terhadap kehormatan Uni.Kalau uni tak ingin menikah lagi, Ikutlah dengan Ku ke jakarta. Ajak keempat anak anak Uni. Tinggal dirumah ku. Kami dirumah hanya berdua saja. Kedua anak kami kan sekolah di luar negeri”

”Tak mau aku. Uni tahu kau sangat peduli dengan Uni. Tapi Uni akan baik baik saja. Yang penting sering seringlah telp Uni ya and tengokin uni Ya. "
Paman termenung lama. Menyulut rokok. Melihat pula ke luar. Orang-orang tetap lewat di muka rumah, tak menengok. Hanya melirik sedan yang disewa paman di bandara sedang Parkir di halaman.Akhirnya paman berkata " Kalau begitu biarlah Meri ikut saya ke jakarta. Biar saya yang urus dia. Semoga ia bisa damai disana dan bisa semangat lagi hidupnya untuk memulai hidup baru. Bolehkah Uni”

" Baguslah jikalau itu keputusan kau Adi. Uni hanya turut saja. Kau pamannya kau lebih berhak atas kemenakan kau”

”Sstt!” ucap bibi perlahan. Mengejutkan kami. "Tidur.” Berbisik pula pada adik-adik, ”Ambil bantal, selimut!” Lalu ia rebahkan kepala Uni hati-hati. Dia luruskan kakinya. Diselimuti.

Saat tidur begitu muka uni persis bayi. Bersih. Polos. Tak sedikit pun tersisa resah yang mendera: Ayah meninggal , diceraikan suami, diasingkan orang Kampung. Padahal, sebelumnya Uni periang, terkadang terdengar menyanyi di kamar mandi: tak ’kan lari gunung dikejar/ hasrat hati rasa berdebar…. Atau diajaknya adik-adik, aku, Uni Ros berdoa, supaya ayah dilapangkan kuburnya dan kelak kami bisa berkumpul lagi di sorga.

Lalu datang suatu hari alasannya ialah status istri tertua dari tiga istri, suaminya kembali minta izin menikah keempat, serupa angin ribut Dan suaminya itu muncul di suatu petang, berwajah masbodoh memulangkan cincin kepada ibu. Tetapi, mantan suaminya maupun keluarganya selalu lewat di depan rumah dengan dagu terangkat pongah, ketika uni mulai terbiasa duduk di muka jendela. Kemudian mantan suaminya itu memang tidak terlihat lagi. Kata orang ia sudah tinggal dirumah istri keempatnya di kampung sebelah. Sementara Uni semakin betah di muka jendela, menatap kejauhan tak berbatas.

”Sudah ke mana-mana kuobati,” kata ibu, memandang paman serta bibi penuh harap. ”Belum juga ia berubah. Ada kira-kira dokter di Jakarta sanggup menangani?”

”Ada!” Paman dan bibi menjawab serempak. ”Tenanglah Uni,” lanjut bibi. 

”Kalau perlu kami bawa ke dokter di luar negeri. Sesekali akan kubawa pula ia umrah. Biar terbuka pikirannya”

”Kukhawatirkan justru Uni,” ulang Paman Adi. ”Ikutlah ke Jakarta!”

”Tak perlu khawatir, Adi" balas ibu. Sambil mengelus kepala paman ”Tidak semua orang jahat di kampung ini. ”

Uni terus tidur di beranda, tak bergerak-gerak ibarat bayi. Napasnya lunak. Kulitnya bersih. Putih. Apa gerangan terlintas di pikirannya sehingga mukanya begitu higienis dan tenang? Apakah dalam tidurnya ia bertemu ayah? Di antara kami uni paling erat dengan ayah. Barangkali alasannya ialah perempuan, putri sulung; tapi tangannya campin pula, terampil-cekatan menangani rumah. Ayah gembira dengannya, berharap uni jadi guru tamat IAIN. Sedangkan Uni Ros dibutuhkan menjadi dokter”.

”Kakek-nenek kalian guru. Mestinya ayah juga. Tetapi malah jadi pengusaha konveksi. "Ayah tertawa suatu ketika. ”Syukur ada uni kalian, ya?” Kami mengangguk, turut gembira walaupun uni waktu itu gres kelas satu Sekolah Guru Atas.”

" Ayah, saya ingin punya suami ibarat Ayah. Walau tak gagah rupa tapi ayah sangat sayang ke bunda dan kami. Tak ibarat Angku Jafar yang kaya itu , yang punya istri empat. Tak suka saya lihat gayanya" Kata Uni.
" Apa maksud mu soal si Jafar?

" Bolehkah saya tahu pendapat ayah soal poligami " kata Uni tanpa rasa sungkan. Dan ayah memang mendidik kami sangat demokratis. Apalagi antara ayah dan Uni erat sekali. Uni sangat manja kepada ayah.

" Pria boleh berpoligami selama dibutuhkan untuk menjaga dan mengelola harta anak yatim dari perempuan-perempuan yang ditinggal suaminya. Itupun dengan syarat perempuan itu sebatang kara. Tidak punya abang laki laki atau adik laki laki, Tidak punya paman dan ayah. Tapi jarang laki-laki menikah lagi alasannya ialah niatnya melindungi perempuan yang ditinggal mati suaminya demi menjaga harta dan memelihara anak yatim. Umumnya laki-laki menikah lagi dengan perawan atau alasannya ialah kecantikan wanita. Lebih alasannya ialah nafsu rendah. Kedua, ijab kabul itu harus ADIL. Adil disini bukan soal nafkah lahiriah tapi soal batin, dalam hal perasaan, emosi, cinta, kasih sayang.”

" Oh betapa ketatnya Allah memperlihatkan syarat poligami bagi laki-laki. Makara benar secara syar’i poligami itu bukan hal gampang bagi laki-laki, bahkan tidak mungkin. “

" Benar anaku. Coba baca Annisa ayat 129 “walan tastati’u anta’dilu baina annisa walau harastum,” kau tidak akan bisa berbuat adil di antara istri-istrimu kalaupun kau sangat ingin melaksanakan hal itu. Nabi Muhammad menyampaikan “Barang siapa yang mengawini dua perempuan, sedangkan ia tidak bisa berbuat adil kepada keduanya, pada hari alam abadi nanti separuh tubuhnya akan lepas dan terputus.” Masya Allah, ayah tidak mau terjadi ibarat sabda Rasul itu. Bahkan sebagian ulama beropini bahwa poligami bisa diharamkan ketika calon suami tahu dirinya tidak akan bisa memenuhi hak-hak istri, apalagi hingga menyakiti dan mencelakakannya."

Uni sangat tercerahkan dengan pitutuah ayah itu. Kelak sehabis Uni menikah , Uni selalu unggul dalam debat dengan suaminya yang meminta izin menikah lagi. Tapi entah mengapa semakin Uni paham dalil soal poligami semakin menjadi jadi gila kelakuan suaminya. Tak penting Uni sepakat atau tidak, suaminya tetap menikah dengan seringai srigalanya

”Rencanaku besok kembali,” ucap Paman Adi . ”Kubawa Meri sekalian. Jaga diri Uni baik baik. Kalau ada apa apa telp aku. Si Burhan jikalau tamat SLTP suruh ia ke jakarta semoga saya urus pula dia.”

Ibu mengangguk-angguk. Ibu bernapas lega. Besoknya, Uni dibawa paman dan istrinya. Ibu menangis. Kami juga. Rumah jadi lengang—lengang sekali. Uni telah pergi. Tidak lagi berada di tengah-tengah kami. Dekat kami. Tapi, setidaknya mantan suaminya takkan lagi bisa tersenyum mengejek melihat Uni lagi termenung di depan jendela, memandang gunung ataupun kejauhan tiada batas. Tidak sanggup lagi ia atau keluarganya mengangkat dagu dengan pongah bila lewat di muka rumah kami.

Di kurun kini , nalar memperluas cakrawala, dan hati memperkaya Sukma. Sorga itu kesepakatan Tuhan namun cinta Tuhan yang utama. Bukan banyak ritual agama yang dituju tapi nrimo yang utama .Uni telah bersikap dengan ilmunya dan hatinya mendapatkan dengan berat namun ia berusaha ikhlas. Suaminyapun telah bersikap dengan ilmunya namun bertindak dengan nafsunya. Kami dibesarkan oleh ayah yang taat beragama namun rendah hati dalam beriman. Dan keperkasaannya sebagai laki-laki tidak ditunjukkan kemampuannya menikahi banyak perempuan tapi mendidik anak dan istri dengan rujukan budbahasa mulia. Paman Adi pengusaha andal namun budbahasa dan agama tetap menjadi bab hidupnya. Anak dipangkunya, kemanakan dilindunginya dan saudara perempuan dijaganya dari fitnah..


Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/

Artikel Terkait