Baru kali ini saya mendengar Jokowi bicara keras dan tegas disertai emosi dihadapan publik. Ini bukan soal orang menghinanya tetapi kepada meraka yang menunjukkan statement pesimis terhadap masa depan Indonesia. Mengapa hingga Jokowi emosi ? Karena semua tahu bahwa bangsa ini selama ini terpuruk sebab mental para pemimpin yang sengaja membuat rasa takut kepada rakyat menyerupai ketakutan kepada PKI, takut utang, takut kafir , takut revolusi, takut bubar dll,sehingga rakyat tergantung kepada elite ba’ yang kuasa pelindung namun menipu rakyat. Sikap mental inilah yang menjadi agenda utama Jokowi untuk mengubahnya semoga Bangsa Indonesia punya perilaku optimis tanpa rasa takut dan penuh passion untuk kerja keras menatap masa depan yang cerah.
Menteri di kabinet kerja Jokowi yang menakhodai bidang ekonomi ialah orang yang sudah final dengan dirinya. Ada Jonan mantan banker Citibank. Ada ibu Susi pengusaha sukses. Ada Erlangga pengusaha dan asset Manager. Ada Thomas Lembong jago financial engineering. Ada SMI mantan eksekutif Bank Dunia, Ada ibu Rini mantan CEO Astra yang sukses dll. Mereka pekerja keras semenjak usia muda. Mereka kreatif dan mandiri. Pada usia relatif muda mereka sudah mapan sebab cerdas dan selalu optimis ditengah perjalanan hidup yang penuh kompetisi. Pada usia produktif bagi ukuran orang Indonesia sebab belum masuk usia pension, mereka memilih sikap. Mereka keluar dari kehidupan yang menjanjikan kemewahan kepada kehidupan yang lebih banyak menuntut pengorbanan. Dan sekarang Mereka bergabung dan gembira menjadi belahan mimpi Jokowi menyebabkan Indonesia hebat.
Mereka ingin membentuk masa depan bangsa nya semoga hidup lebih berarti. Setidaknya dengan kemampuan yang dimilikinya mereka bisa menunjukkan impian kepada rakyat khusus yang duafa bahwa masa depan bukanlah yang mengkawatirkan. Ini merupakan langkah yang sangat ekstrim bagi ukuran insan pada masa kini. Dimana orang berlomba lomba untuk mengejar kesenangan diri dan menumpuk harta. We should live and labor in our time that what came to us as seed may go to the next generation as blossom, and that what came to us as blossom may go to them as fruit. This is what we mean by progress. Demikian yang ditulis oleh Henry Ward Beecher dalam bukunya. Inilah salah satu berkah dari sistem demokrasi dimana orang baik akan mendapat ruang untuk berbuat baik dengan umur dan pontesinya, dan mereka mempu.
Bahwa masa depan tidak mencuatkan paralelisme antara ruang, jarak, dan waktu. Tentu masa depan bukan reproduksi kehidupan kelampauan dan ke-masa-mendatangan yang unpredictable. Bagaimanapun masa depan merupakan kausalitas perjalanan perihal substansi “keberadaan'' (eksistensi) dan beraktualisasi perihal hidup itu sendiri. Pun rekonseptualisasi mengenai masa depan, tiadalah nilai kesejarahan hidup masa silam yang diterima. Sebagai masa depan, insan dituntut -mengutip Dr Zhivagonya dalam novel Boris Pasternak- untuk membentuk kembali hidup. Itulah yang dilakukan oleh Jokowi dan mereka yang membantunya , yang meng “nol” kan dirinya untuk memulai sesuatu yang gres dalam dimensi baru. Sikap mereka seakan menegaskan perihal semangat juang untuk berbuat demi rakyat , bangsa dan negara, yang mereka yakini sebagai wahana yang lebih bernilai dari apa yang sudah mereka capai sebelumnya.
Memang bahwa insan dilahirkan buat Hidup, bukan untuk berkemas-kemas menghadapi hidup. Hidup senantiasa memperbarui, membuat kembali, mengubah, dan meningkatkan dirinya. mempertimbangkan masa depan ialah membentuk kembali hidup. Berdasarkan pertimbangan semacam itulah, permenungan masa depan dimulai semoga tidak menghadapi kecemasan, 2030 bubar. Orang optimis selalu untung kecuali orang yang selalu cemas. Bangsa Indonesia sebagai komunitas dunia , seharusnya memandang masa depan dengan mata hati dan bukannya mata gelap. Di tengah kepayahan yang menimpa bangsa ini akhir rezim masalalu diharapkan kearifan tersendiri untuk memandang masa depan. Setidaknya bagi mereka yang sudah terlalu kaya sebab korupsi atau manipulasi tanpa tersentuh aturan untuk meng “nol” kan dirinya ; memulai sesuatu yang gres dan lebih bernilai. Agar masyarakat bangsa ini memandang masa depan bukan sebagai penantian waktu yang tak kunjung selesai.
Tentu kita tidak ingin itu terjadi, menyerupai diperlihatkan tokoh Estragon dan Vladimir dalam lakon Menunggu Godot (Waiting for Godot) Samuel Beckett. Atau, masa depan bangsa ini menyerupai lentingan Bob Dylan dalam lagu ballada Blowing in the Wind: How many times must a man turn his head/and pretend that he just doesn't see/How many ears must one have/before he can hear people cry/How many deaths will it take till he knows/that too many people have died. Setidaknya dari sosok Jokowi kita punya hope...
Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/