Ketika saya keluar dari elevator, terlihat seorang laki-laki berdiri di depan pintu. Kami berpapasan dan saya melihat laki-laki itu tersenyum. Namun, ketika posisi pundak kami sejajar, dia membisikkan sebuah kata, “Naga Kuning.” Aku terhenyak, kaget dan segera menghentikan langkah. “Ikuti aku,” kata laki-laki itu sambil melangkah meninggalkan elevator.
Aku mengikuti laki-laki itu menuju Dun-King Donut yang juga berada di dalam gedung. Pria itu menentukan daerah duduk di balik tiang penyangga bangunan. Sehingga walau beling lebar terbentang luas, Aku tidak bisa melihat ke luar jendela. Pria itu kemudian memberikan amplop kepadaku.
“Paling lambat malam ini, Anda harus berangkat ke Beijing,” kata laki-laki yang kuperkirakan, usianya tak kurang dari 45 tahun itu. Meski terlihat muda, tapi dari raut wajahnya terkesan keras. Bekas tempaan hidup yang tak biasa.
Setelah saling pandang beberapa detik, laki-laki itu berkata, “Tolong telepon sahabat Anda yang tadi bertemu di American Club. Beritahu dia bahwa Anda akan mudik bersama istri untuk beberapa bulan. Sampaikan juga bahwa Anda sudah melupakan semua ini. Keluarlah dari restoran ini dan terus melangkah tanpa melihat ke belakang. Keluar dari gedung ini, jangan lewat depan, tapi lewat belakang. Dalam lima menit ada kendaraan yang akan berhenti sempurna di depan loby belakang gedung ini. Kendaraan van warna hitam,” kata laki-laki itu sambil berdiri menuju daerah pemesanan makanan.
Aku mengangguk, kemudian segera keluar dari restoran dengan mengikuti petunjuk untuk tidak melihat ke belakang. Aku menghubungi Amir melalui telepon selularnya.
“Mir?”
“Ya, Jak.”
“Aku mau pamit.”
“Mau kemana kamu?”
“Mau mudik untuk coba melupakan semua ini.”
“Oh. Berapa lama?”
“Tidak tahu pasti. Yang jelas, hingga saya bisa melupakan semuanya.”
“Apa yang bisa saya bantu, Jak?” tanya Amir coba memperlihatkan dukungan kepadaku sebagai sahabatnya.
“Tidak ada,” jawabku tegas. “Bagaimanapun terima kasih banyak untuk semuanya.”
“Ya Jak, saya minta kau sabar. Hidup masih panjang. Jangan terlalu usang down ya?”
“Ya, Mir. Selama di kampung, saya juga akan memutus relasi dengan dunia luar. Ingin benar-benar istirahat.”
“Ya, saya maklum, kok. Yang penting jangan lupa kasih kabar jikalau kau sudah kembali ke Jakarta. Hati-hati ya?”
Aku menutup telepon dan segera melangkah ke lobi belakang gedung. Tak usang menunggu, sebuah kendaraan beroda empat van warna hitam berhenti sempurna di sampingku. Seorang laki-laki melangkah sigap keluar dari dalam van. Sambil tersenyum dia membukakan pintu. Kubuka amplop yang tadi kuterima. Di dalam amplop itu terdapat seikat uang Dollar senilai USD 10,000 dan paspor atas nama orang lain namun dengan photoku.
“Kami akan membawa Anda ke hotel dekat airport,” kata laki-laki di sampingku. Pria itu tetap berusaha ramah walau sedang berkonsentrasi mengendalikan kendaraan dengan kecepatan sedang di jalur bebas hambatan. Sesampai di hotel, laki-laki itu meminta untuk menciptakan daftar kebutuhan yang kuinginkan dalam perjalanan ke Beijing. Kuberikan catatan ukuran pakaian, termasuk Jas dan sepatu. Pria itu mengangguk sambil berlalu.
Ada impian untuk menghubungi istri di rumah. Tapi laki-laki yang bersamaku tadi melarang dan menegaskan, bahwa semenjak satu jam kemudian saya sudah masuk sasaran untuk diawasi oleh pihak lain. Dia memberiku nomor telepon baru. Dia juga meminta daftar nama yang harus tahu nomor teleponku. Pria itu akan mengatur semoga nomor telepon baruku sanggup dihubungi oleh pihak yang menurutku penting. Aku hanya memberikan nomor telepon lawyer-ku. Karena sangat berharap ada kabar dari sang lawyer soal transaksi yang dulu.
Dari sini, saya sadar bahwa kini berada di pinggir jurang di satu wilayah no way return. Satu-satunya hal yang harus kulakukan yaitu terus melangkah pada sebuah pilihan yang tak mudah.
“Tidak usah khawatir, keluaga Anda aman. Mereka orang professional dan hanya akan bekerjasama dengan orang yang menjadi sasaran mereka,” terang laki-laki itu seakan memahami kekhawatiranku perihal keluarga.
Kupejamkan mata, berusaha untuk tidur sesudah laki-laki itu pergi membeli barang keperluan untuk ke Beijing. Wajah Robert yang tersenyum sinis ketika dia pergi dari American Club terus terbayang. Robertlah yang berada di belakang Amir, hingga dia berani memberikan bahaya tempo hari. Baru menyadari bahwa Amir telah mempertemukan dengan orang yang bertugas untuk menggiringku menjadi pecundang. Aku juga memperhatikan betapa Robert dan Amir punya relasi istimewa. Robert terlihat berusaha menghargai Amir dan persahabatan keduanya ketika bersikap terhadapku.
Namun, pada hasilnya kepentingan strategislah yang akan lebih diutamakan mereka. Inilah yang mungkin disadari kelompok Naga Kuning, untuk segera melindungi diriku dengan membawaku ke Beijing. Tapi, apa yang selanjutnya akan saya lakukan di Beijing? Apakah ini awal bagiku untuk terpisah dari keluarga? Apakah ini, babak awal untuk masuk dalam peperangan yang sesungguhnya?
Lantas apa artinya upaya Madam mengelabui Group Fidelity dengan kamuflase access ke sistem The Fed kemarin? Tidakkah itu sudah cukup ampuh untuk meyakinkan musuh, bahwa saya tak lagi diperlukan? Bukan lagi orang yang harus dikawatirkan oleh Group Fidelity. Aku juga semakin resah dengan perilaku Naga Kuning yang terkesan terlalu memproteksiku dalam kunjungan ke Beijing ini.
Banyak hal yang saya pikirkan malam itu. Seperti dengung lebah yang berputar di dalam kepala. Pada akhirnya, harus kusadadari bahwa saya memang buta sebuta-butanya terhadap problem yang sedang ku hadapi. Dan ketika tak ada kejelasan lain, dan daripada lelah dengan logikaku, lebih baik saya berserah diri kepada Tuhan. Hanya itulah yang membuatku bisa tegar untuk mendapatkan segala anjuran dari Naga Kuning.
Kini, saya ada di kamar transit menuju penerbangan panjang ke Beijing. Saat itu, tiba-tiba saja saya merindukan Catty. Dimanakah Catty berada? Apakah dia baik-baik saja? Semoga suatu ketika nanti, saya bisa kembali bertemu dengan Catty dalam suasana yang lebih baik. Bayangan wajah Catty melintas di pelupuk mata. Sahabat baikku yang punya perhatian sama soal keadilan dan kebenaran.
***
Saat check in pesawat, gres kusadari bahwa di paspor palsuku sudah tertempel visa kunjungan ke Beijing. Naga Kuning rupanya sudah mempersiapkan dengan baik kepergianku. Tapi, saya tidak tahu siapa yang akan menjemput di Beijing. Pria yang mengantar ke bandara tidak bicara soal itu. Aku juga tidak bisa berkomunikasi dengan Lien walau sudah kucoba berkali-kali. Chang pun sama, tidak bisa dihubungi. Aku hanya bisa mengikuti perintah untuk berangkat dan kini sudah ada di dalam pesawat menuju Beijing.
Perjalanan Jakarta – Beijing membutuhkan waktu delapan jam. Cukup melelahkan namun tak begitu terasa sebab di sampingku ada seorang perempuan cantik. Wanita itu seorang pengusaha Indonesia yang sedang mencari kawan dagang di Beijing. Usahanya berkembang pesat sebagai penjual bunga di Jakarta. Bunga diimportnya dari Yunan, yang katanya, harga dan kualitasnya bahkan lebih baik bila dibanding membeli dari Lembang, Jawa Barat! Hmmm.. Itulah mengapa negeri berpenduduk lebih dari satu milliar ini, bisa mencicipi pertumbuhan ekonomi yang sangat spektakuler. Sekarang, Cina sudah menjadi raksasa ekonomi yang bisa memproduksi dan menjual apa saja. Di dalam pesawat itu kami saling bertukar dongeng perihal sesuatu yang menyenangkan.sehingga waktu delapan jam, sanggup kami lewatkan tanpa rasa jenuh.
Ternyata yang menjemput kedatanganku ke Beijing yaitu Lien. Sungguh ini suatu kejutan lagi yang tak terpikirkan sebelumnya. Ketika itu Beijing sudah memasuki demam isu semi. Suasana langit begitu cerah. Ditemani hembusan angin sepoi khas demam isu bunga, dengan kendaraan Audi, Lien membawaku keluar dari Bandara menuju hotel.
“Kami telah siapkan hotel untuk kamu, Hilton,” kata Lien. “Bagaimana penerbangannya?”
“Cukup melelahkan.”
“Maaf, kami terpaksa memerintahkan team kami di Jakarta untuk bertindak cepat.”
“Team?”
“Ya,” jawab Lien enteng.
“Jadi, kemana saja saya pergi selalu diawasi?”
“Bukankah sudah kami katakan bahwa kita akan selalu bahu-membahu dalam situasi apapun?” jawab Lien dengan senyum tersungging dibibirnya. Sungguh! Ternyata pertarungan ini memang serius. Team Naga Kuning rupanya tak mau ambil resiko dengan keamanan diriku.
“Ada apa sebetulnya?” tanyaku heran.
“Kamu tahu kan? Ketika kami melangkah, orang lain menghitung langkah kami. Ketika kami bicara, orang lain mendengarkan kami. Ketika kami berlari, orang lain mengejar kami. Tak ada satupun tindakan yang luput dari perhatian mereka. Tentu kami pun harus melaksanakan hal yang sama, semoga tidak menjadi mangsa.”
“Siapa yang kau maksud dengan orang lain itu?”
“Sulit untuk dijelaskan, tapi kami mengenal dengan niscaya siapa musuh kami. Keberadaan decade asset dan transaksi yang telah kau lakukan, bukanlah problem sederhana. Bukan hanya menyangkut sejarah aset itu saja, tapi juga simbol pertarungan panjang antara kami dengan mereka.”
“Aku tidak mengerti.”
“Memang tidak gampang untuk dimengerti. Tapi saya yakin kau memahami, apa di balik ini semua. Kamu cerdas untuk bersikap dan kadang menciptakan kami kagum. Kamu bisa membaca apa yang tak tertulis dan bisa memahami jalan pikiran kami,” kata Lien.
Aku terdiam, tidak tahu bagaimana cara kerja mereka dalam menghadapi Group Fidelity, dan juga tidak tahu bagaimana group Fidelity bergerak. Madam Lyan pun punya siasat yang juga tidak kumengerti. Yang kutahu, ketika ini Group Fidelity dikepung dari dua sudut. Dari dalam maupun dari luar. Namun kekuatan Group ini menciptakan lawan-lawannya harus melangkah ekstra hati-hati.
“Jak, saya tidak tahu apa selesai dari ini semua. Tapi, bagaimana pun dan apa pun hasilnya kita tetap bersahabat. Karena pastinya, banyak hal yang bisa kita kerjakan untuk terus melawan mereka.”
“Tentu. Aku juga mencicipi relasi kita bukan hanya soal kepentingan decade asset, tapi lebih dari itu, ini perihal nilai-nilai persahabatan. Aku merasakannya dari pancaran matamu dan juga anggota team yang lain. Itulah yang membuatku nyaman bersama kalian semua,”
“Terima kasih.”
Tak terasa kendaraan sudah hingga di pelataran parkir hotel Hilton. Lien memberhentikan kendaraan sempurna di depan loby hotel dan kami pribadi keluar menuju ruang reservation. Lien mengambil kunci kamar tanpa reservasi lebih dulu. Rupanya kamar sudah disiapkan Lien atas namanya sendiri. Petugas hotel membawa tasku dan mengikuti kami menuju kamar.
Sesampai di kamar, saya memandang ke luar melalui jendela beling yang lebar. Kota Beijing terlihat besar kepala dan penuh wibawa. Gedung-gedung bertingkat yang tersusun rapi dengan jalanan yang lebar dan panjang. Inilah kota pusat pemerintahan sebuah negara berpenduduk lebih dari satu miliar.
“Aku ada di kamar sebelah,” kata Lien tersenyum sambil mengambil air mineral dari kulkas.
“Oh, ya? Tentu sama ibarat dulu ketika kita di Hong Kong, kan? Dan saya tidak perlu cemas,” jawabku berkelakar.
“Jak, ini Beijing. Steril dari group mereka. Aman seribu persen. Tenang sajalah.”
“Percaya! Hanya saja, saya tidak ingin ada kejutan lagi. Jangan lagi!”
Lien tertawa renyah. Sementara saya hanya bisa tersenyum kecut. Pikiranku melayang, terbayang perihal Catty. Lien menghampiriku yang berdiri, termangu di dekat jendela.
“Kamu sedang memikirkan seseorang?” tanya Lien seakan bisa menebak dengan sempurna apa yang sedang kupikirkan.
“Dia manis juga ya?”
“Siapa yang kau maksud?” tanyaku.
Lien memalingkan wajah ke daerah lain. “Tentu saja, Catty.”
“Kamu juga cantik.”
“Tapi, dia lebih cantik, kan?”
“Kamu juga.”
Lien terdiam sebentar. Dia duduk di pinggiran bangku dan memegang bahuku. “Jak, ada yang harus kau ketahui, dan kuharap kau tegar.” Aku mencicipi firasat jelek perihal Catty.
“Ada apa memangnya?” saya berdiri dari daerah duduk dan menatap mata Lien ragu.
“Dia orang baik. Tapi,” bunyi Lien terhenti.
Aku menaikkan alis, “Ada apa?”
“Aku harap kau tegar, Jak.”
“Ada apa dengan Catty?”
“Orang kami di Lugano memberi kabar, Catty terbunuh kemarin.”
“Terbunuh?”
“Ya. Dia meninggal sebab over dosis. Mayatnya ditemukan di kamar mandi dengan verbal berbusa.”
“Oh!” sekelebat petir menghatam diriku. Tubuhku limbung. Kematian Catty menyadarkan perihal sang maut yang sudah berdiri terlalu dekat denganku.
Lien melirik, “kamu tidak apa-apa, kan?” saya tak menjawab pertanyaannya. Yang sanggup kulakukan hanya duduk di tepi daerah tidur. Tak terasa air mataku bergulir. Aku menangis!
“Biarkan saya sendiri,” kataku tanpa sanggup memandang Lien. Namun, walau sudah kuminta, Lien tidak beranjak dari tempatnya. Rupanya dia tidak ingin membiarkanku seorang diri dalam kesedihan ini. Aku menatap keluar jendela, sejenak kemudian, Lien memegang bahuku.
“Jaka, orang kami melaporkan kematian Chatty sebab dia menolak membocorkan hubunganmu dengan kami. Catty juga tidak memberitahu bahwa kau memegang dokumen yang menuntunmu kepada code decade asset. Dia mengorbankan dirinya demi melindungimu. Kamu dihentikan larut dalam emosi. Tentu Catty tidak berharap kau lemah sebab kamatiannya. Kamu harus terus melangkah menuntaskan misi yang belum tuntas.”
Aku tersentak, “Apa yang kau ketahui perihal Catty?”
“Dia sahabatku ketika di Harvard.”
“Oh. Makara kalian sudah saling kenal?”
“Ya, atas alasan itu pula saya ditempatkan dalam team ini.”
“Oh!”
“Ayah Catty yaitu keluarga dinasti dari perbankan di Eropa. Tapi sayang sekali, dia lahir dari rahim perempuan yang tidak pernah diakui secara resmi oleh keluarga ayahnya. Itulah kenapa, masa kecil Catty tidak pernah tinggal di Eropa. Dia menuntaskan pendidikan SMA-nya di Taipe dan kemudian meneruskan ke Harvard.”
“Lalu, mengapa dia harus dibunuh?”
“Ayahnya yaitu salah satu orang yang sangat dihormati di bulat Group Fidelity. Tapi, eksekusi bagi pengkhianat sangat keras dalam organisasi ini. Walaupun itu tiba dari orang yang sangat dicintai. Kematian yaitu eksekusi terhormat, mungkin.”
Lien menyentuh tanganku. “Istirahatlah, pukul tuju nanti, saya akan menjemputmu untuk makan malam. Team menantimu untuk mengatur langkah selanjutnya.”
Lien melangkah keluar dari kamar. Setelah beberapa langkah, Lien kembali menoleh ke belakang. Dia melihatku masih berdiri dengan pandangan kosong. Lien hanya menarik nafas panjang. Bagaimanapun dia harus memberiku kesempatan untuk menenangkan diri. Lien yakin saya akan tegar. Dia sangat yakin akan hal itu.
Di kamar, saya terduduk lemas. Semua hal perihal Catty kembali terbayang-bayang di pelupuk mata. Juga kebersamaan kami ketika di Hong Kong, Beirut, Damaskus, dan terakhir di Bangkok. Masih terbayang wajah Catty yang begitu tegar menghadapi segala ancaman. Pertemuan terkahir di Bangkok, dia sempat berkata dalam kesenduan malam sepi, “Kadang, insan berjalan lebih cepat dari yang lain. Andaikan saya berjalan lebih cepat, maafkan aku.”
Tak pernah terbayangkan selesai dari dongeng Catty akan sama ibarat suaminya dan Fernandez. Memang dia berjalan lebih cepat dariku. Hanya problem waktu, saya pun akan menemuinya. Akhirnya saya sadar betapa dekatnya misi ini dengan maut.
Tapi, sebagaimana Catty, Tomasi dan Fernandez, mereka semua menemui kematian sebagai petarung dan mati secara terhormat. Ya, mereka mati di tangan musuh ketika genderang perang ditabuh. Bukan sebagai seorang pengecut yang lari dari medan pertempuran. Mereka tentu sudah menyadari bahwa hanya soal waktu, mereka akan jadi korban.
Sama halnya dengan para syuhada pembela panji Islam di zaman Nabi dan para Khalifah sesudah beliau. Para pejuang Islam tak pernah berpikir soal kematian. Karena dalam Islam tidak ada istilah mati. Yang ada hanyalah perpindahan daerah dari dimensi dunia ke dimensi alam Barzakh. Sampai hasilnya semua insan terhenti di tujuan akhir, yaitu alam akhirat.
Yang jadi problem bukanlah mati atau hidup. Tapi pertanyaannya adalah, mau mati ibarat apa? Ini yaitu soal pilihan. Allah akan menanti pilihan kita dan bagaimana perilaku kita dengan pilihan itu. Semua sudah terjadi dan kini, tinggal saya seorang diri. Aku teringat kata-kata Lien, perihal impian Catty agar saya tak berhenti. Yah, saya memang tak boleh menyerah, harus terus melangkah dan melanjutkan usaha ini.
Ya, Catty. Tenanglah kau di alammu. Dan saya akan terus melangkah tanpa ragu!