Memburu Harta (28)


Di Changi Airport, Boy Steward sudah menanti. “Senang bertemu lagi denganmu, Boy.”
“Madam memintaku untuk menemuimu, Jak.” Kata Boy sambil memelukku.
“Oh, begitu?”
“Ya.” Boy tersenyum. “Kita akan tinggal di tempat yang sama. Ritz Carlton Hotel, ok?”
“Ok.”
“Bagaimana hari-harimu di Beijing?”
“Biasa saja. Selain menunggu, juga disibukkan dengan mempelajari e-banking dari team Naga Kuning.”
“Oh ya?”
“Ya. Sekarang saya menjadi lebih paham cara kerja Fed system.”
“Apa yang kau tahu wacana itu?”
Aku menatap keluar jendela mobil. “Banyak sekali.”
Boy melirikku. “Banyak? Sebutkan contohnya.”
“Euroclear di London memakai hukum clearing ‘fund first’.  Sementara DTCC di New York memakai hukum clearing ‘collateral first’. Trader yang terlibat dalam sebuah transaksi memakai dua sistem clearing ini. Pada waktu membeli, beliau memakai hukum DTCC dan ketika menjual beliau memakai Euroclear. Dengan demikian beliau sanggup membeli tanpa harus keluar modal tunai terlebih dahulu. 
Cukup dengan bukti dana atau aset di rekening DTCC sebagai collateral, beliau sudah bisa melaksanakan perdagangan. Sementara keuntungan sanggup dipastikan ada di tangan, sebab beliau tidak akan membeli sebelum menjual. Di sinilah resiko menjadi nol. Sebuah sistem yang sangat canggih, yang bisa melipatgandakan uang dengan cepat dan fantatis. Itulah mengapa dilakukan dengan sangat rahasia. Karena ini yaitu konspirasi antar clearing house.” 
“Untuk orang awam sepertimu, bisa dengan cepat memahami transaksi ini sangatlah luar biasa,” puji Boy sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Suatu saat, bila kau berniat mencari konsultan di bidang ini, saya siap melamar,” lanjut Boy tertawa.
“Ya! Aku juga punya banyak hal yang ingin kutanyakan padamu, Boy.” 
“Aku selalu siap membantu, Friend!” Aku tersenyum dan menepuk pundak Boy. “Ini ada sesuatu untukmu,” kata Boy menyerahkan sebuah amplop.
“Apa ini?”
“Nanti kita bahas di hotel.” Boy menatap beling spion, mengawasi potongan belakang mobil. Memperhatikan dengan awas.
Sesampai di kamar hotel. Boy memberi arahan menutup lisan dengan dua jari. Aku mengerti, itu artinya dilarang ada suara. Boy keluar dari kamar dengan membawa sebuah tas kecil. Mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. Sebuah alat menyerupai VCD dengan antena kecil di atasnya. Alat itu kemudian ia sambungkan ke listrik. Tombol-tombol di sekitar alat itu serta merta menyala. Tak berapa usang terdengar bunyi berdengung agak lama. Kemudian berhenti. Boy menoleh padaku sambil tersenyum. “Sekarang kita bisa bicara.”
“Alat apa itu?”
“Oh ini alat anti sadap. Mampu menangkis gelombang radio hingga 40 mil. Artinya bila ada orang menempatkan alat penyadap di ruangan ini atau di mana saja, mereka tidak akan mendapatkan sinyal apapun.”
“Bagaimana bila alat penyadapnya menyatu dengan telepon?”
“Juga tidak akan berfungsi. Karena alat penyadap mengeluarkan gelombang elektromagnetik untuk menangkap suara. Dan alat ini mengaburkan gelombang itu.”
“Kalau memang ada orang berniat menyadap kita, mereka tentu akan curiga bila alatnya tidak berfungsi.”
“Mereka tetap sanggup mendengar suara. Tapi bunyi lagu yang terdengar samar-samar.”
“Mengapa harus pakai alat anti sadap segala?” saya bingung.
“Ini Singapore, beda dengan Hong Kong. Di sini, group Fidelity mempunyai saluran tak terbatas dengan pemerintah. Beda sekali dengan Hong Kong di mana Cina tidak pernah mau berteman dengan mereka.”
“Oh.”
Boy bangun menarik gorden warna putih untuk menutupi jendela kamar. Kemudian melangkah mendekatiku. “Bukalah amplop itu.” Aku membuka amplop. “Apa ini?”
Di tanganku ada sebuah kartu bisnis, dengan nama Michael Tom, seorang Investment Banker. Juga tertera alamat lengkap di Nassau. Ada pula selembar Bank Draft  senilai USD 100 juta.
“Dokumen itu akan menuntun Anda masuk ke dalam bank terkemuka di sini.” 
Boy kemudian duduk berhadapan denganku. “Bank itu terhubung eksklusif secara online dengan database Fed system. Tugasmu adalah, gunakan LAN access yang ada di bank itu untuk masuk ke back office sistem komputer mereka. Setelah itu gunakan kode saluran decade asset yang kau punya.”
“Bagaimana mungkin mereka mengizinkan saya memakai LAN access itu?”
“Tentu mustahil bila kau minta izin,” jawab Boy menyeringai, memamerkan gugusan giginya yang putih.
“Maksudmu?”
“Masuklah secara belakang layar dan keluar dengan belakang layar pula.”
“Wah, resikonya besar sekali. Kalau hingga ketahuan, mereka akan menuduhku berencana merampok bank,” saya mundur selangkah, begidik ngeri. “Ini gila! Mengapa harus begini?”
Boy memegang tanganku. “Jak, tidak ada yang memaksamu melaksanakan ini. Kalau kau tidak siap, ya kita lupakan saja.”
Aku tersentak dengan kata-kata Boy. Aku menatap matanya dengan seksama. Tidak terlihat sama sekali pemaksaan dan niat terselubung apapun untuk memperalatku. “Tapi,” lanjut Boy memegang pundakku. “Ini yaitu cara paling efektif sesudah team Naga Kuning gagal mengakses Fed system melalui portal. Kamu tahu kan, apa yang terjadi di Hong Kong sesudah kau mengakses Fed system?”
Aku tertunduk dalam, menatap lantai hotel yang bersih. Pikiranku melayang membayangkan wajah Lien dan beberapa pengawal yang meregang nyawa dengan dada berlubang. “Andai pun kau tidak bersedia meneruskannya, maka kau sanggup pulang besok. Masalah ini selesai. Kamu bisa lupakan ini semua.”
“Tapi bila saya gagal lagi mengakses?” potongku. Boy berhenti meneruskan kalimatnya. “Kamu bisa keluar secara diam-diam. Kemudian kau juga bisa pulang ke rumah untuk melupakan dilema ini. Mereka tidak akan pernah tahu keberadaanmu. Mereka hanya tahu, ‘orang dalam’ bank yang melakukannya,” kata Boy menguatkan.
Aku menghempaskan tubuhku di sofa. Kututup wajahku dengan telapak tangan, kemudian mengusap kepalaku. Untuk beberapa ketika saya hanya bisa membisu dan tak tahu harus berbuat apa. Kupejamkan mata sekedar untuk menahan gemuruh di dada. Namun, ketika terpejam itulah, muncul wajah istri, anak-anak, Ester, Catty dan Lien, dan wajah orang-orang yang telah mengorbankan nyawanya, silih berganti membayang di pelupuk mata. Aku semakin gelisah hingga sayup-sayup kudengar sebuah bisikan.
Anakku,bila ada pesan tiba kepadamu, maka terimalah takdirmu. Jemputlah hari esok dengan keberanian. Saatnya melawan tanpa ragu. Negerimu membutuhkan keadilan dan kemenangan dari peperangan yang sesungguhnya. Perang melawan kekufuran. Perang melawan kekuatan dari kegelapan. 
Soekarno yaitu simbol perlawanan sejati melawan kekuatan kegelapan dari waktu ke waktu. Kamu harus melanjutkannya dalam bentuk lain. Di tanganmu ada kekuatan raksasa untuk mengalahkan musuhmu. Saya doakan perjuanganmu diridhoi Allah. 
aku terperanjat dan teringat akan kata-kata yang terngiang di telingaku. Suara itu yaitu bunyi orang bau tanah yang kutemui di Hobey. 
Aku bangun dengan segenap keberanian yang kupunya. Menatap kedua mata Boy, yang telah menungguku lama. “Baiklah, saya siap masuk ke dalam bank itu. Kapan planning ini akan dilaksanakan?”
Boy tersenyum lega. “Tunggu ketika yang tepat. Kesiapanmu harus didukung dengan planning yang matang.”
Aku mengerutkan kening. “Rencana apa lagi?”
“Aku akan melatihmu dengan tepat biar sanggup melaksanakan misi ini dengan aman.”
“Oh?!”
“Ya,” jawab Boy melangkah keluar kamar. “Istirahatlah. Besok kita mulai latihan.”
“Latihan?”
“Sampai besok, Jak.”
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Boy sudah tiba ke kamarku.
“Jam 6 pagi, Boy?” sapaku menyambut kedatangan Boy yang tiba dengan pakaian olah raga.
“Mari kita mulai latihan pagi ini.”
“Latihan apa?”
“Lari!” Boy tersenyum. Aku mengikuti Boy berlari menuju river side.  Baru sepuluh menit, saya sudah membungkuk dan jadinya terduduk kepayahan. Boy mendekat, menyampaikan sesuatu padaku yang bersimbah keringat. “Mulailah dengan lari santai. Tidak usah terburu-buru,” kata Boy sambil menepuk bahu.
“Aku tidak mengerti, untuk apa lari pagi ini? Bukankah kita akan masuk ke dalam bank secara belakang layar dan tanpa memancing kecurigaan?” tanyaku heran.
“Jak, misimu ini sangat penting. Sedikit saja kesalahan akan berakibat fatal. Banyak operasi gagal hanya sebab fisik yang tidak prima. Kamu butuh konsentrasi dan ketenangan. Semua itu hanya bisa didapat, bila fisikmu sehat.” Aku menatap Boy sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Entahlah. Aku ikuti saja apa katamu.” Boy tersenyum geli. 
Latihan lari dan fitness dilakukan selama seminggu. Sampai akhirnya, Boy merasa yakin bahwa saya sudah dalam kondisi layak untuk melaksanakan operasi. Kemudian beliau membawaku ke sebuah gedung perkantoran di tempat Rafless.  Kami memakai lift menuju lantai sembilanbelas. 
Di lantai itu, terdapat sebuah ruangan kantor tanpa papan nama. Kantor itu tidak berpenghuni. Di dalamnya hanya ada beberapa sekat pembagi ruangan. Untuk masuk ke dalam, diharapkan sebuah kartu magnetic. Di salah satu ruangan terdapat ruang rapat dengan empat kursi. Ada sebuah meja kecil di samping meja rapat, dengan sebuah PC di atasnya.
“Mengapa kita kemari?” tanyaku bingung.
“Tempat ini yaitu simulasi dari ruangan Private Banking yang akan kau susupi.”
“Oh!”
“Sekarang kita akan mulai simulasi, dari semenjak kau naik lift hingga masuk ke dalam ruangan ini, dengan beberapa kemungkinan yang akan kau hadapi. Itu akan kita hitung waktunya. Kemudian kita akan lihat kecepatan kau mengakses LAN Bank untuk masuk ke dalam back office,” kata Boy.
“Bagaimana kau bisa tahu lift itu akan segera terbuka ketika saya tiba ke bank? Dan bagaimana kau tahu mereka juga akan segera mengizinkanku masuk ke dalam ruangan rapat, ketika datang? Dan bagaimana kau tahu lift akan segera terbuka ketika saya mau turun?” tanyaku beruntun.
“Kamu akan masuk lima menit sesudah jam istirahat kantor. Saat itu, salah satu lift akan rusak sementara. Kaprikornus tidak akan menjadikan kegaduhan. Teamku sudah mengaturnya. Ketika hingga di lantai sembilanbelas, akan ada petugas yang mendapatkan kau di luar ruangan. Lalu, beliau akan membawamu ke ruangan private banking sesudah kau perlihatkan bank draft. 
Setelah berhasil masuk ke dalam, petugas akan membawamu ke ruang meeting untuk membahas planning wacana bank draft itu. Kemudian, beliau akan pergi ke ruang dealing room untuk memverifikasi bank draft tadi. 
Nah, ketika itu, kau hanya punya waktu kurang dari 10 menit untuk mengakses LAN-nya, dengan PC di ruang meeting tadi.” Boy menjelaskan dengan teliti.
Boy duduk di ruangan simulasi, meeting room. “Setelah beraksi dengan PC tadi, kau harus keluar dari ruangan itu dengan alasan mau ke toilet. Karena sesudah 30 menit, mereka akan mengetahui bahwa LAN-nya disusupi orang lain. Ini berbahaya. Kaprikornus usahakan biar kau cepat keluar. Lift akan segera terbuka dengan menekan lima kali tombol tanda turun. Gunakan Lift nomor 3. Ok?”
“Bagaimana dengan kamera?” tanyaku sedikit gentar.
“Tidak usah khawatir. Itu sudah diatur oleh team kami. Kamu lakukan saja urutan operasi ini.”
“Ok.”
Latihan simulasi itu dilakukan berkali-kali. Sampai jadinya Boy merasa puas dengan waktu yang kucapai.
“Ok. Latihan selesai hingga di sini.”
“Kapan operasi ini akan kita laksanakan?” tanyaku sembari menatap Boy. 
“Setelah Madam Lyan bertemu denganmu.”
“Madam Lyan?”
“Ya. Besok beliau akan tiba kemari. Kamu dijadwalkan makan malam bersamanya.”
“Bersamamu?”
“Tidak,” jawab Boy tersenyum. “Hanya kau dan Madam.”
“Jadi, besok siang kau bisa istirahat yang cukup. Karena lusa kau akan mengeksekusi operasi ini,” lanjut Boy.

“Siap, Bos!” seruku sambil menempelkan lima jari di kepalaku, memberi hormat dengan perilaku sempurna. Kami pun berpelukan.


Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/

Artikel Terkait