Industri Pengolahan Sawit.


Ada ratifikasi bersahaja dari Jokowi prihal menurunnya Elektabilitas nya di Sumatera khususnya di Riau , Jambi, Sumatera Selatan. Penyebabnya  alasannya harga Sawit dan karet jatuh di pasar dunia. Kejatuhan harga tersebut di manfaatkan oleh lawan politik nya untuk menjatuhkannya. Padahal kejatuhan harga itu bukan alasannya kebijakan Jokowi tetapi memang pasar dunia sedang berubah. Tidak ada negara yang bisa mengendalikan harga pasar. Ini murni faktor bisnis. Harga karet alam jatuh alasannya minyak dunia jatuh. Otomatis karet sintetis yang merupakan hasil dari turunan minyak mentah juga turun harganya. Selagi harga karet sintetis lebih murah dari harga karet alam maka pembeli cenderung membeli karet sintetis. Begitupula jika harga minyak  tinggi, karet sitentis juga akan naik dan orang beralih ke karet alam.

Namun permasalahan jatuhnya harga CPO dan karet merupakan kesalahan design  industri pengolahan materi baku semenjak puluhan tahun. Secara bisnis, pemilik perkebunan terbesar di Indonesia tidak lebih  sepuluh perusahaan. Mereka dikenal sebagai konglomerat yang tumbuh kala Soeharto. Orientasi mereka bukan kepada industri tetapi lebih kepada rente bisnis. Menjual materi baku tanpa berharap nilai tambah dari industri pengolahan. Ini cara gampang meningkatkan laba dengan cepat disaat harga komoditas tinggi. Dan ketika harga turun mereka juga menentukan menekan produksi tanpa berpikir mendirikan sendiri industri pengolahan. Barulah di kala Reformasi muncul industri pengolah Sawit hingga ke downstream seperti  oleokimia dasar dan Biodisel. 

Downstream CPO diantaranya  fatty alcohol ethoxylate (FAE) ialah Industri surfaktan. Surfaktan sanggup diklasifikasikan berdasarkan aplikasinya ibarat deterjen, biro pengemulsi, biro pendispersi dan biro berbusa. Industri deterjen ialah konsumen utama FAE. Secara umum, surfaktan dari asam lemak dan minyak lebih unggul di pasaran. Kosmetik dan farmasi FAE salah satu produk dari materi baku minyak sawit non CPO mempunyai sifat gampang menyerap di kulit dan dipakai eksklusif dalam krim, lilin dan lotion. Pada industri farmasi minyak dan lemak dipakai sebagai emolien, penghilang rasa sakit dan senyawa aktif dalam perawatan penyakit kulit. Industri tekstil FAE dipakai sebagai komposisi aktif dalam biro anti penguapan yang dipakai dalam industri tekstil. Belum lagi biodisel dan Artikel Babo. Kaprikornus luas sekali industri turunannya.

Pemain utama untuk industri  oleokimia dasar 9 perusahaan dengan kapasitas 1.599.700 Ton. yang terdiri dari  PT. Musim Mas (kapasitas 450.000 Ton/tahun; PT. Ecogreen (419.000 Ton/tahun); PT. Nubika Jaya (150.000 Ton/tahun); PT. Wilmar Nabati Indonesia (132.000 Ton/tahun); PT. Domba Mas (104.600 Ton/tahun); PT. Sumi Asih 101.000 (Ton/tahun); PT. Cisadane Raya (100.000 Ton/tahun); PT. Soci Mas ( 88.000 Ton/tahun); dan PT. Flora Sawita (55.100 Ton/tahun).  

Sedangkan pemain besar atau major player dari industri biodiesel ialah PT. Wilmar Bioenergy Indonesia Dumai , Riau (1.300.000 Ton/tahun); PT. Wilmar Nabati Indonesia Gresik, Jatim (1.300.000 Ton/tahun); PT. Musim Mas Batam, Kepri (615.000 Ton/tahun); PT. Ciliandra Perkasa , Dumai Riau (250.000 Ton/tahun); PT. Cemerlang Energi Perkasa, Dumai Riau (250.000 Ton/tahun); PT. Musim Mas Medan ( 235.000 Ton/tahun); PT. Pelita Agung Agri Industries Bengkalis Riau (200.000 Ton/tahun); PT. Multi Biofuel Indonesia, Kalsel (160.000 Ton/tahun); PT. Darmex Biofuels, Cikarang Jabar (150.000 Ton/tahun); PT. Anugerah Inti Gemanusa, Gresik Jatim (120.000 Ton/tahun); PT. Sumi Asih Oleo Chem, Bekasi Jabar (100.000 Ton/tahun). Total kapasitas terpasang untuk industri biodiesel pada tahun 2013 ialah 4.977.000 Ton/tahun.

Nah bandingkan kapasitan produksi industri oleokimia dasar dan biodiesel dengan produksi CPO  27,75 juta ton pada tahun 2013 yang setiap tahun meningkat rata rata 6%. Artinya 80% CPO di ekspor untuk kebutuhan industri downstream di China, Eropa dan India. Makanya jangan kaget bila  harga CPO ditentukan oleh pasar dunia. Sementara harga produk downstream CPO setiap tahun terus naik dan  ajakan akan fatty acid dan fatty alcohol setiap tahun naik 4%. Kaprikornus bisa di simpulkan bahwa kita punya peluang besar untuk menjadi penghasil downstream CPO alasannya bagaimanapun minyak inti kelapa sawit jumlahnya berlimpah, harganya murah, dan komposisi asam lemaknya mirip dengan lemak hewani dan minyak kelapa. Lantas mengapa pertumbuhan industri downstream CPO rendah dibandingkan dengan Malaysia ? Peryebabnya ialah sebagai berikut :

Pertama, Indonesia belum sepenuhnya menguasai tekhnologi downstream CPO. Saat kini yang populer penguasa tekhnologi hanya dua yaitu Lurgi (Jerman) dan Davy (Inggris). Untuk mendirikan pabrik dengan kapasitas besar bagaimanapun investor butuh jaminan dan licensi dari pemilik tekhnologi, dan itu tidak mudah! Ini tantangan bagi insinyur teknik kimia Indonesia. Pemerintah juga harus lebih besar menyediakan dana riset untuk tekhnologi ini. Kita harus berusaha menjadi yang terdepan dalam teknologi pemrosesan oleokimia berbasis minyak sawit, alasannya kita lah negara penghasil terbesar minyak sawit. 

Kedua, keterbatasan akan energi  atau  listrik. PLN tidak bisa menyediakan listrik untuk pabrik dengan kapasitas ratusan ribu Ton setahun. Mau tidak mau investor harus bangun pembangkit listrik sendiri ( IPP), Disamping investasinya besar dan juga tidak gampang mendapat fuel GAS. Maklum sebagian besar gas kita impor. Karena produksi LNG dalam negeri semua di ekspor. Umumnya hitungan investor menjadi tidak layak jika pembangun industri termasuk menyediakan sendiri listrik. Belum lagi untuk menjamin supply materi baku, industri juga harus menyediakan sarana logistik berupa pelabuhan dan kapal. Kaprikornus benar benar padat modal yang  tentu akan memangkas IRR proyek. Kalau sudah begitu , investor lebih cenderung untuk jual materi baku daripada pusing mengolahnya dengan investasi besar. Makanya pemain bisnis downstream tidak banyak di Indonesia walau peluangnya besar.

Ketiga , kurangnya insentif dari pemerintah. Walau duduk masalah ini tidak begitu significant mendorong orang berinvestasi di downstream CPO namun bagaimanapun pengaruhnya cukup besar. Hanya di kala sebelumnya insentif pemerintah belum begitu exciting. Baru di kala Jokowi lah insentif itu mulai memperlihatkan efek besar. Salah satunya yang menjadi kesempatan untuk industri oleokimia ialah terbitnya regulasi kemudahan investasi melalui Peraturan Menteri Keuangan 35 tahun 2018 yang mengatur kemudahan kemudahan pengurangan pajak penghasilan tubuh alias tax holiday. Singkatnya, jika terdapat investasi gres dengan nilai diatas Rp 500 miliar, akan diberi kemudahan tax holiday sesuai jangka waktu yang diterapkan melalui PMK tersebut. Maklum investasi pada industri oleokimia memang menghabiskan biaya yang besar. Setidaknya diharapkan investasi Rp 10 miliar per ton untuk bangun oleokemia untuk produk fatty acid dan fatty alcohol.

Atas hambatan tersebut diatas bagaimana solusinya ? berdasarkan saya, pemerintah harus turun tangan eksklusif menyelesaikannya. Tidak bisa lagi diserahkan kepada swasta atau 9 pemain utama itu. Mereka sudah nyaman dengan keadaan yang ada. Sementara jutaan petani meradang alasannya harga jatuh dan hidup mereka dipertaruhkan diatas lahan yang mereka olah. Sudah seharusnya pemerintah membentuk Badan Usaha Milik Negara yang khusus dibidang refinery untuk menghasilkan produk downstream CPO secara luas. Pendiriannya bisa dipusatkan di satu tempat misal di Kaltim atau Riau di tempat KEK. Karena terusan kepada sumberdaya yang besar pada pemerintah,  tentu akan bisa menyediakan semua sarana ibarat Pembangkit listrik, logistik ibarat pelabuhan, kapal , storage dan tekhnologi. 

Dengan demikian harga tidak  lagi tergantung dengan harga international. Hukum demand and supply akan bekerja efektif. BIla supply CPO kita kurangi alasannya kebutuhan industri downtream dalam negeri maka otomatis harga international akan naik , yang juga akan mendongkrak harga downstream CPO. Saya yakin di KEK dimana Pusat industri oleokimia di bangun akan tumbuh industri hilir yang memproduksi sabun, deterjen, kosmetik, pharmasi dan lain lain. Maklum industri hilir akan berusaha membangun pabrik mendekati lokasi industri hulu. Secara bisnis , pendirian BUMN khusus industri downstream CPO ini sangat feasible . Karena disamping nilai tambah yang sangat tinggi. Bila pada tahun 2017, nilai ekspor minyak sawit Indonesia mencapai 22,97 miliar dollar AS maka jika 80% CPO diolah dalam industri downstream maka nilainya bisa 5 kali lipat atau USD 100 miliar atau Rp. 1400 triliiun. Ini tidak termasuk nilai tambah dari adanya industri hilir. 

Sumber https://culas.blogspot.com/

Artikel Terkait