Akhiri Dagelan Ini...

SN dengan tegas tidak akan menjawab pertanyaan dari  MKD dengan alasan bahwa pertama, rekaman  pembicaraan tidak utuh. Sudah di edit !.Kedua, rekaman itu diserahkan bukan oleh orang yang terlibat dalam pembicaraan tapi orang lain ( Sudirman Said).Ini melanggar hak privasi.  Ketiga, beliau merasa tidak pernah mecatut nama presiden soal saham.  Dalam sidang SN berlindung dibalik UU bahwa sidang terbuka atau tertutup ditentukan oleh pihak yang disidang. Dalam hal ini SN menolak sidang terbuka untuk umum. Ini menandakan kelasnya sebagai politisi yang matang. Karena beliau tahu apabila sidang terbuka akan mengakibatkan persepsi berbeda dari public. Ini akan membuat  suhu politik memanas. Menurut sobat saya alasan pertama itu yang paling tepat.Karena apabila rekaman itu tidak di edit maka SN tidak akan disidangkan. Maklum hampir semua elite politik dan penguasa sebelumnya akan kena kotoran dimukanya. Ini akan memperlmalukan mereka dan tentu merusak reputasi. Itu tidak elok Apalagi ahad ini yakni jadwal  Pilkada serentak. Tapi rakyat sudah dapat menebak bahwa ada sesuatu yang busuk selama ini disembunyikan dibalik loby dan bisik para elite untuk melaksanakan kospirasi demi uang lendir.

Kejadian selama ini berkaitan dengan Freeport dan sidang MKD menjadi pembicaran di sosmed yang bernada lucu. Mengapa ? Lelucon menentang yang lurus dan yang lumrah. Di panggung atau di layar televisi, Asmuni atau Kirun mengakibatkan gelak lantaran yang lurus dibengkokkan, yang lumrah dibelokkan. Itu sebabnya dalam adegan Srimulat para pembantu rumah tangga—yang dalam latar sosial Jawa mesti seperti tak tampak tapi bekerja patuh di depan para tamu—bukan saja menonjol, tapi malah mempermainkan sang majikan. Etiket runtuh. Penonton tertawa. MRC menghambakan diri layaknya jongos dihadapan penguasa. Pengalamannya dengan berlaku menyerupai Kirun justru menghasikan uang dengan gampang walau lantaran itu beliau bengkokkan yang  lurus , yang lumrah beliau belokkan. Dulu begitulah adanya. Tapi sekarang ketika orang banyak mengetahui maka ia menjadi tontonan yang lucu. Dalam arti tertentu, ini juga sebuah protes kepada elite politik yang menyerupai persegi empat: hidup yang semua sisinya sama, semua sisinya jadi batas, semua sisisnya sudah dapat diduga. Marshal MacLuhan mungkin mengungkapkan ini ketika ia mengatakan, dalam sebuah pidato di tahun 1969, “Jokes are grievances“: dagelan yakni keluhan. Sadar atau tak sadar, kita mengeluh kepada elite politik yang persegi empat, dan kita melucu. 

Hidup di Indonesia, kita tahu, tak semuanya sebuah karnaval ala Bakhtin, ketika banyak orang mati dan jutaan insan cemas. Bahkan bagi seorang badut pun kita harus meminta jeda. Seorang wanita konon pernah mendengar dagelan Groucho selama tiga hari tanpa putus. Merasa tak dapat lagi bicara dan tukar-menukar pikiran, ia pun berteriak: “Please, Groucho, stop! Let’s have a nice quiet normal conversation.  Tapi sejauh mana? Pertanyaan ini memang biasa dimajukan terhadap setiap fragmen kotor. Yang lurus dan yang lumrah kian usang kian dapat mencekik, tetapi bisakah hidup terus-menerus harus berupa letupan lucu? Ini saatnya Kirun dieksekusi supaya kelak dimasa depan tidak ada lagi orang mendapat tontonan yang lucu ,sesuatu yang sudah diluar batas kemuakan.Agaknya kita juga harus berteriak yang sama kepada Presiden: akhiri kelucuan ini..lawan siapa saja yang membuat rakyat tertawa menonton panggung. Pastikan keadilan menang.

Dengarlah kata Jokowi : "Saya tidak apa-apa dikatakan Presiden gila! Presiden sarap, Presiden koppig, tidak apa-apa. Tapi kalau sudah menyangkut wibawa, mencatut meminta saham 11 persen, itu yang saya tidak mau. Tidak bisa. Ini persoalan kepatutan, kepantasan, moralitas. Itu persoalan wibawa negara," ungkap Jokowi dengan nada tinggi. Jokowi bukan badut. Bukan subject menyerupai pemimpn sebelumnya yang membuat kelucuan dari seorang Kirun. Kewibawaan negara bukan lelucon. Pemimpin harus menghentikan ini semua. Panggung harus segara ditutup...no more joke. Its enough. 



Sumber https://culas.blogspot.com/

Artikel Terkait