Di China, tersebutlah dimana sang kepala tempat kehillangan nalar untuk mendapat dana guna merealisasikan harapan membangun pasar rakyat berskala modern berstandar International. Pasar ini bukan ukuran kecil tapi berukuran raksasa denggan menyerap lahan lebih dari 80,000 meter persegi. BIla bangunan ini simpulan akan menampung pedagang kecil berjumlah 40,000 unit. Lantas mengapa perbankan atau forum keuangan tidak bersedia mengatakan santunan guna merealisasikan harapan ini ? Bukan alasannya usul kios yang kurang minat. Bukan!. Tapi alasannya syarat yang ditetapkan Pemerintah Daerah yang menciptakan perbankan dan investori institusi berkerut kening. Mengapa ? Pemerintah Daerah tak ingin kios itu dijual alasannya kawatir akan mengatakan peluang orang berduit menguasai kios dan menyewakan kepada pedagang kecil dengan harga selangit. Pemerintah Daerah juga tak ingin kios itu disewakan alasannya kawatir hanya pedagang yang qualified secara financial yang bisa sewa, sementara yang tidak qualified tidak bisa menyewa. Itulah penyebabnya hingga project harapan itu dinyatakan tidak feasible oleh perbankan.
Ditengah keterbatasan sumber pembiayaan itu, ditengah tatapan sinis forum perbankan, project itu dalam jangka waktu tidak lebih dua tahun sudah terbangun. Dari mana pemda mendapat uang itu ? Apakah dari APBD yang dananya bersumber dari Pusat? Tidak. Lantas darimana ?. Karena Pemerintah sentra melarang PEMDA menarik santunan dari manapun maka PEMDA membentuk LGFV ( Local Government Fund Vehicles ). LGFV ini semacam agent fund raising namun bukan forum resmi pemerintah. Caranya LGFV menerbitkan bond berbasis revenue. Nominal perlembar revenue bond itu Rp. 20,000. Untuk memenuhi anggaran pembangun sebesar Rp. 4 triliun maka 200 juta lembar revenue bond dilepas kepublic. Karena nominal bond itu kecil maka dipastikan kelompok atas,menengah maupun bawah sanggup menyerapnya. Sumber revenue berasal dari komisi penjualan atas setiap produk yang dijual oleh penghuni kios. Pemerintah Daerah memutuskan komisi sebesar 5 %. Untuk memastikan system komisi ini berjalan efektif dan efisien. 40,000 kios terhubung secara IT melalui cash management yang dikelola oleh BUMD. Setiap pemilik kios mempunyai kartu PayPal yang memungkinkan mereka sanggup membayar komisi pemda secara online.
Per bulan rata rata turnover transaksi di pasar itu mencapai Rp. 4 triliun dan bila 5 % komisi pemda maka jumlah revenue Pemerintah Daerah sebesar Rp. 200 miliar. Bila anggaran membangun pasar itu mencapai Rp. 4 triliun maka di pastikan dalam dua tahun revenue pemda itu sudah bisa meluniasi revenue bond. Sebelum pemda melunasi , pemda menunjukkan opsi dalam bentuk penyertaan koperasi. Artinya public bisa menukar revenue bond itu dalam bentuk penyertaan koperasi. Mekanisme dan adminisrasi dilakukan secara IT system , sehingga public mempunyai susukan untuk mengetahui prospek pengelolaan pasar itu dan dikala usulan opsi revenue bond ditukar dengan penyertaan koperasi maka serta merta public menyetujuinya. Mengapa public begitu antusias dengan denah revenue bond ini? Karena yield ( imbal hasil ) jauh lebih tinggi ketimbang mereka menempatkan dananya di bank yang berbasis bunga/RIBA.
Sementara akumulasi dana dari pengelolaan pasar itu sanggup pemda gunakan untuk membangun infrastruktur ekonomi Artikel Babo sepeti PDAM, Listrik, Jalan toll. Setelah simpulan dibangun maka Pemerintah Daerah sanggup menerbitkan bond berbasis revenue .Setelah berjalan dua tahun dan provent mendatangkan yield maka dapat ditukar dalam bentuk penyertaan koperasi. Tanpa disadari semua infrastruktur ekonomi yang berafiliasi dengan orang banyak didanai oleh masyarakat sendiri. Kalau dulu nenek moyangnya mengajarkan membangun sarana prasarana kampung secara bahu-membahu melalui kekuatan phisik namun sekarang bahu-membahu dirancang oleh para jago keuangan, insinyur , akuntan, dan IT. Mereka diayomi oleh pejabat Negara yang higienis dan amanah. Maka jadilah negeri yang makmur sejahtera dibawah lindungan Tuhan. Karena semua terbangun tanpa Riba. Karena sudah meluas penggunaan LGFV ini maka Pemerintah Pusat mulai berpikir untuk melembagakan LGFV ini biar pihak investor terjamin keamanannya dan penggunaannya lebih terkontrol. Rencananya tahun 2015 Daerah sudah boleh menerbitkan municipal bond.
Mungkinkah ini terealisasi di Indonesia ? apakah mungkin public dari segala golongan bisa menjadi investor bagi keperluan penyediaan infrastruktur ekonomi? Jangan pernah meremehkan kekuatan komunitas. Kata pejabat China. Saya tertegun dengan kata kata itu. Dia benar! . Betapa tidak. Data pelanggan selular di Indonesia sekarang mencapai lebih 250 juta. Hitunglah berapa kekuatan dana dari komunitas itu bila harga per unit telp selular itu minimal Rp. 500,000 dan belanja pulsa per bulan Rp. 20.000. Kelompok menengah Indonesia juga dahsyat jikalau dilihat dari data pelanggan blackberry yang berjumlah kl 4 juta dan mereka harus menguras dana perbulan diatas Rp. 100,000, Mereka semua yaitu investor potensial untuk menyerap revenue bond bernominal dibawah Rp 20,000 perlembar. Ini peluang bagi Pemerintah Daerah untuk menyebabkan mereka sebagai financial resource.
Padahal UU mengenai municipal bond berbasis revenue ini sudah usang di syahkan oleh DPR. Sementaca China Municipal bond gres akan diterapkan 2015. Peraturan Pemerintah mengenai petunjuk pelaksanaan , juga sudah diterbitkan. Peraturan Menteri Keuangan yang menyangkut aspek tekhnis penerbitan municipal bond juga sudah dikeluarkan. Lantas mengapa hingga sekarang municipal bond berbasis revenue itu tidak efektif sebagai financial resource ? Padahal rakyat indonesia berbudaya gotong royong. Mengapa hingga sekarang pemerintah masih pusing memikirkan sumber dana aneh biar infrastrutkur terbangun? Mengapa ? Jawabnya hanya satu., yaitu selama ini apara pemda tidak punya reputasi dihadapan rakyat alasannya memang tidak punya integritas sebagai pejabat yang amanah. Rakyat lepas dari orbitnya dan pemda asyik dengan dirinya sendiri.Semoga kedepan Skema municipal bond berbasis revenue ini sanggup diterapkan oleh PEMDA.
Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/