Hanya butuh satu jam perjalanan dengan pesawat untuk hingga di Guangzhou. Aku beserta Team Chang di jadwalkan akan mengikuti rapat di CITIC Plaza. Sebuah gedung pencakar langit di sentra kota Guangzhou, dengan delapanpuluh lantai. Tamu dari Beijing yang di maksud ternyata hanya dua orang. Keduanya di perkirakan berusia di atas enam puluh.
Salah satu tamu itu menatapku dengan seksama. “Kami harap inilah simpulan dari perjalanan panjang. Di tangan Anda, kami semua menaruh harap,” katanya kepadaku dalam bahasa Inggris yang fasih.
Tamu yang satunya berdiri. Menyerahkan dokumen dari tangannya kepadaku. “Ini kuserahkan dokumen yang bisa Anda gunakan untuk menuntaskan transaksi di Swiss.”
Aku berdiri, membungkukkan tubuhku sedikit, sambil berkata, “Terima kasih. Akan kupegang amanah ini dengan baik.”
Dokumen yang gres saja kuterima yaitu Safe Keeping Receipt Bullion Aset. Dokumen bukti tanda terima penitipan aset di beberapa bank di Eropa.
Kedua tamu itu saling berpandangan. Kemudian nampak air mata mereka berlinang. Drama itu disaksikan oleh semua anggota Team Chang.
“Apa yang akan kau lakukan dengan dokumen itu, Jak?” Lien bertanya dengan mimik serius.
“Aku akan memanggil lawyerku masuk ke Hong Kong untuk membahas langkah aturan yang harus kulakukan. Kemudian saya akan masuk ke salah satu bank Eropa di Hong Kong untuk membuka rekening custody.
“Rekening custody?” Huang mengangkat alis.
“Aku akan menempatkan dokumen Fund Confirmation di sana.”
“Fund Confirmation? Evident transaksi di Swiss?” Chang bertanya dengan mimik terkejut. “Bukankah kau bilang, otoritas Amerika menolak untuk mengakui transaksi ini?” sambungnya.
“Seseorang telah memberikannya kepadaku.”
“Siapa dia?”
“Madam Lyan.”
“Lyan Piory?!” seru Huang.
“Mungkin,” jawabku sambil mengerutkan kening. “Aku tidak tahu niscaya nama lengkapnya.”
“Ya, Lyan Piory. Dia yaitu salah satu pejabat senior US Treasury. Di mana kau bertemu dengannya?” Aku terdiam. Ragu untuk menjelaskannya. “Ok, baiklah. Selanjutnya apa yang akan kau lakukan dengan evident itu?” tanya Yu mengacuhkan perilaku diamku. Seakan mengerti, tentangku yang tidak ingin menyebarkan warta wacana Lyan Piory.
“Setelah rekening custody kubuka, maka pihak bank akan melaksanakan verifikasi atas fund confirmation yang kutempatkan itu.”
“Untuk apa?”
“Verifikasi itu akan mengharuskan The Fed menyerahkan evident asset itu kepada bank Custody. Selanjutnya, secara sistem keberadaan, decade asset itu akan berada di bawah kendalik, sebagai pihak yang diberi kuasa oleh kalian.”
“Apa jadinya bila sesudah verifikasi ternyata ditolak oleh The Fed?”
“Bank custody akan menuduhku melaksanakan pemalsuan dan penipuan dalam transakasi keuangan. Tentu kalian sudah tahu eksekusi apa yang akan kuterima di Hong Kong,” Aku melirik Lien yang nampak tegang. “Aku butuh kuasa khusus dari Anda untuk melaksanakan ini,” lanjutku mantab.
“Kami sudah siapkan surat kuasa untuk melangkapi proses verifikasi berdasarkan dokumen yang kami serahkan,” kata Yu. “Sebaiknya kita lakukan di hadapan lawyermu, Jak.”
Saat ini, sama sekali saya tidak lagi diliputi keraguan dalam setiap langkah. Karena saya hanya melaksanakan protokol ini ibarat apa yang pernah disampaikan lawyer-ku. Aku sadar benar telah berada dalam posisi yang tidak mudah. Walau aturan pasar uang begitu ketat namun tangan-tangan kekuasaan yang tak terlihat, bisa ikut bermain untuk membuatku menjadi pencundang. Ini memang hal yang biasa terjadi di dunia yang serba kapitalis, di mana uang yang jadi penguasa.
Dan, hal yang kedaluwarsa lagi culas, sanggup berjalan mulus bila the invisible power ikut bermain. Aku teringat bagaimana proses pelepasan aset yang dilakukan BPPN. Semuanya hasil konspirasi dan rekayasa! Dengan data laporan yang ku terima dari Amir, saya tahu betul semua kebusukan sebuah konspirasi di negeriku tercinta.
Garibaldi Venture Fund Ltd, mengambil alih PT. Gajah Tunggal melalui BPPN. Menurut data dari Bloomberg dan PWC, saya tahu bahwa perusahaan ini berdomisili di Singapura. Tapi ternyata perusahaan ini tidaklah terdaftar di Singapura, alias fiktif. Juga Farallon, perusahaan ini dinyatakan sebagai pemenang tender pengambil alihan BCA melalui divestasi. Menurut Securities and Exchange Commision (SEC), Farallon Capital Management LLC merupakan perusahan go-public dengan nomor 0000909661. Namun di situs SEC dan di 20-F FCM, daftar subsidiaries tidak terdapat nama FarIndo maupun BCA sebagai anak perusahaan. Dan dari business registry-nya di Mauritius juga tidak ada nama FarIndo sebagai perusahaan berdomisili di Mauritius. Aset BCA senilai Rp. 104 triliun, dijual sangat murah. Hanya senilai Rp. 5,3 triliun.
Hal yang sama juga terjadi pada Swissasia Global, pengakuisisi Lippo Bank. Juga Uni Bank Tbk yang terdeteksi sebagai penerbit NCD bodong, yang diambil-alih oleh 21 pemegang saham SPV dari Samoa Island. Indosat juga dijual ke STT Singapura. Sales and Purchase Agreement-nya untuk Indonesian Communication Limited (ICL) Mauritius, yang katanya subsidiary dari STT Singapura, ternyata tidak ada nama ICL sebagai anak perusahaan STT Singapura. Di Business Registry negara Mauritius juga tidak ada nama ICL terdaftar di sana.
Sampai kebijakan sistem akuntasi BI yang ditetapkan oleh IMF pun direkayasa. Pada tahun 2000, BI mengumumkan perubahan pencatatan devisa dari Gross Foreign Asets ke International Reserves and Foreign Currency Liquidity (IRFCL). Sebagai dampaknya, terjadi penyusutan devisa sebesar USD 3 milliar. IRFCL ini sendiri diperkenalkan oleh IMF.
IRFCL merupakan hasil dari off-balance-sheet-components, dikurangi predetermined dan contingent short-term drains. Anehnya, hanya Indonesia yang mengalami penyusutan ketika migrasi sistem ini, sementara negara lain tidak terjadi apa-apa.
Dari situs BPK, saya juga tahu bahwa anak perusahaan Bank Indonesia yang berkedudukan di Negeri Belanda, Indover BV, melaksanakan write off sebesar 385,27 Juta US dollar. Dengan mengalihkannya ke Indo Plus BV yang efektif per tanggal 23 November 2003. Artinya Negara RI qq Bank Indonesia dirugikan sejumlah nilai tersebut.
Itulah sedikit pola yang kuketahui dan kini semakin yakin bahwa kekuatan Group Fidelity memang bisa berbuat apa saja, termasuk merampok aset negara lewat cara-cara sistematis dan legal. Hebatnya tidak satupun politisi di dewan perwakilan rakyat atau pegawanegeri aturan yang mempersoalkan duduk kasus ini. Kasus ini tidak pernah dipersoalkan secara hukum. Mungkin sudah dipeti-eskan.
Aku tahu itu. Mereka sama ibarat Amir yang begitu loyal kepada Robert. Mereka yang ada di ring kekuasaan itu tak berdaya menghadapi kekuatan Group Fidelity. Sehingga, negara terjebak dalam cengkraman gerombolan insan berwajah iblis yang rakus menghisap darah rakyat yang lemah.
Akankah saya bisa melawan kekuatan group raksasa ini? Sungguh, apa yang bisa kulakukan hanya berserah diri kepada Tuhan. Yakin bahwa Team Madam Lyan dan Naga Kuning juga menyadari kekuatan Group Fidelity ini. Karenanya, mereka tentu sudah mempersiapkan diri dengan sangat baik. Semoga saja!
***
John Low, bekali-kali kuhubungi lewat sambungan telepon internasional, tapi tetap saja tidak bisa. Dari sekretarisnya, saya tahu bahwa John sedang berada di New York. Jadwal kembali ke Swiss gres satu ahad lagi. Karenanya saya belum bisa memastikan jadwal untuk transakasi di Hong Kong. Team Chang menentukan menunggu di Shenzhen yang lebih erat dari Hong Kong.
Di Shenzhen, saya menginap di Hotel Shangrila yang berlokasi tidak jauh dari Lo Wu, central station Shenzhen. Shenzhen yaitu kota yang didirikan di awal tahun 1980. Awalnya hanya sebuah desa nelayan, tapi kini telah bermetamorfosis menjadi kota kosmopolitan. Inilah salah satu kota yang dominan penduduknya berusia muda. Kota ini dirancang dengan sangat modern. Memang hampir semua kota di Cina tumbuh pesat. Seolah saling bersaing mencapai kemakmuran.
Chang mendatangi kamarku sebelum breakfast, “Jak, saya berusaha menghubungi otoritas Hong Kong supaya bersedia untuk menjagamu dari kemungkinan jelek pada dikala verifikasi. Tapi,” Chang terhenti dan menatap keluar jendela. Aku mengerutkan kening, “Katakan, kenapa?”
“Mereka tidak bisa banyak membantu. Resikonya sangat besar bila mereka melindungimu. Ini yaitu transaksi off-shore di bawah yuridiksi Amerika. Perlakuan istimewa untukmu akan merusak reputasi Hong Kong sebagai financial center dunia,” kata Chang yang segera terdiam. Tak berani menatapku.
Aku berdiri dari tempat duduk dan menghampiri Chang. Kutepuk bahunya dua kali dan kukatakan, “Bukankah kita sahabat? Aku percaya pada nilai-nilai persahabatan itu. Tidak ada duduk kasus dan tidak usah merasa bersalah bila balasannya saya harus di penjara di Hong Kong. Ini yaitu pilihanku dalam menjemput takdir.”
“Ya! Tapi, terlalu berat bagimu,” kata Chang menghela napas.
“Tidak ada masalah. Semua akan baik-baik saja,” jawabku berusaha menguatkan Chang untuk tetap tegar.
“Baiklah. Tapi kau perlu tahu, bahwa kami akan selalu di belakangmu. Serumit apapun situasinya.”
“Terima kasih.” Lalu kami saling merangkul untuk beberapa saat. “Nah, kini mari kita breakfast.”
Pada dikala sarapan, semua anggota team hadir dalam keadaan membisu seribu bahasa. Mereka tahu situasi sulit yang akan kuhadapi. Sementara saya berusaha sesantai mungkin. Bersikap seakan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. “Mengapa kau hening sekali?” tanya Wu heran. Dia yang selalu membisu tiba-tiba ikut bicara. Tak bisa menahan rasa penasarannya.
“Untuk kalian semua tahu, ada pengalaman miris ketika saya pergi ke kebun sawit milik seorang teman. Kebun itu sangat luas tapi terpaksa harus dijual kepada orang asing. Di sana saya menyaksikan sendiri pekerja kebunnya yang terpaksa pergi ke negeri orang untuk bekerja. Karena di negeri kami, penghasilan sebagai buruh tani tidak cukup untuk hidup layak. Anak gadisnya terpaksa dijual untuk menjadi pelacur. Tahukah kalian, bahwa anak yaitu cermin kehormatan bagi seorang ayah dan permata bagi seorang ibu? Kalau hingga mereka mengorbankan anaknya, itu artinya tidak ada lagi yang sanggup mereka jual demi bertahan hidup. Sepotong mutiara dan kehormatan yang tersisa, pun harus mereka jual. Itulah cermin nasib bangsa kami. Sementara segelintir orang Artikel Babo, hidup bermewahan seakan tidak pernah tahu arti kesulitan hidup. Inilah yang membuat saya terpanggil untuk sebuah perubahan. Peristiwa demi insiden yang kulalui yaitu sebuah ‘mukjizat’ bahkan lebih itu, menyadarkan saya untuk menghargai hidup orang lain. Itulah makna usaha pendiri negara kami. Perjuangan mencari kemuliaan di hadapan Tuhan, bukan semata mencari gambaran di hadapan manusia. Kalaupun ada sesuatu yang jelek yang harus terjadi untuk usaha ini, tidak akan pernah saya sesali. Inilah jalan hidup dan takdir yang harus kulalui.”
Mereka semua terdiam.
“Dan lagi,” lanjutku. “Tahukah kalian bahwa hasil tambang kami memasok 25% timah, 2% kerikil bara, 7% emas dan 6% nikel bagi kebutuhan seluruh dunia? Karunia Allah kepada negeri kami sangat besar. Sumber daya energi yang kami punya sangat lengkap. Dari minyak, gas bumi, kerikil bara hingga energi terbarukan ibarat tenaga air, angin, surya, geothermal hingga bio massa. Hutan yang terbentang dari Sabang hingga Merauke, setara dari London ke Siberia yang luasnya kurang lebih 72 juta hektar. Keanekaragaman hayatinya tiada tara, berada di urutan nomor 2 dunia. Lebih dari setengah 200 juta penduduk Indonesia yaitu tenaga kerja produktif. Tapi kenyataannya, kekayaan dan potensi besar itu tidak ada artinya sama sekali. Terbuang sia-sia, digadaikan liberalisasi dan privatisasi. Penjajahan model gres terjadi lewat Undang-Undang dan peraturan hasil konspirasi rezim yang berkuasa. Ambil contoh, dampak liberalisasi di sektor migas. Saat ini, 85% konsesi migas dikuasai oleh asing, hanya sisanya saja yang dikuasai Pertamina. Ada lebih dari 300 blok migas di tangan asing, yang jikalau ditandai titik-titik pada peta Indonesia, maka tampak sekali, bahwa Indonesia sudah digadaikan. Luas lahan konsesi migas yang diberikan pemerintah kepada investor asing mencapai hampir setengah dari seluruh daratan Indonesia. Semua itu terjadi berkat lobi korporasi raksasa asing yang memaksa pemerintah untuk tunduk menerima.” Aku menghela nafas. Menahan gelisah yang tak tertahankan.
“Dan kini, jawaban sistem moneter global. Kami harus mencicipi derita krisis moneter gara-gara permainan culas pasar uang dunia. Kami dilanda krisis anggaran dan sudah masuk ke dalam perangkap mematikan yang hampir mustahil diselesaikan tanpa revolusi. Sementara revolusi yaitu hal yang angker dan dihentikan terjadi. Lalu apa yang harus dilakukan?”
Aku kembali terdiam, kehilangan kata-kata. Aku merasa, kalau ada kesempatan untuk berkorban demi perubahan yang lebih baik, tentu bukan hal yang berlebihan untuk kutempuh. Meski kecil kemungkinannya untuk berhasil. Seperti situasi dikala ini, ketika berhadapan dengan group Fidelity. Bagiku, pilihan ini yaitu suatu keharusan, daripada hanya bisa kesal dan merutuk keadaan, tanpa berbuat apapun.
“Jak,” seru Huang. “Keadaan negerimu sekarang, tidak jauh berbeda dengan keadaan Cina di masa rezim komunis Mao dan kelompok empatnya. Bahkan boleh dibilang, keadaan rakyat Cina dikala itu lebih jelek dibanding kondisi negeri Anda. Ketika itu, para petani dipaksa bekerja keras untuk memuaskan partai. Sementara semua kehidupan dikontrol ketat oleh pemerintah dengan banyak aturan yang menyulitkan rakyat untuk bergerak bebas.”
“Lantas, apa yang diperbuat rakyat hingga bisa menyadarkan pemerintah untuk berbuat ibarat kini ini?” tanyaku.
“Prosesnya memang tidak mudah. Tapi budaya kami mengajarkan untuk selalu berjuang melawan kesulitan. Nah, dari sinilah awal munculnya perlawanan atau revolusi rahasia atau silent revolution, di Provinsi Zhejiang. Pada masa sebelum liberalisasi ekonomi, Zhejiang yaitu pola kemampuan pemerintah lokal melawan sistem komunis. Namun perlawanan ini tidak begitu diperhatikan oleh pemerintah sentra alasannya yaitu letak wilayahnya yang terlalu jauh, berada di perbatasan Taiwan. Kota ini awalnya tidak dirancang sebagai sentra industri oleh pemerintah pusat. Tapi sebagai sentra pertahanan militer alasannya yaitu berbatasan dengan Taiwan. Hanya selat yang membatasi keduanya. Daerah ini sangat sedikit sekali mendapatkan anggaran dari Pusat dan hampir mustahil membuat pertumbuhan. Namun rakyat Zhejiang berdiri dengan modal kemampuan kemandirian. Pembangunan dilakukan oleh masyarakat dengan proteksi pendanaan dari budaya arisan. Kebiasaan masyarakat Cina yang suka berkelompok berdasarkan pertemanan, hobi hidup ekonomis dan gemar menabung telah mengakibatkan sistem arisan sebagai amunisi utama menuju kemakmuran.
Ketika sistem arisan ini memperlihatkan keberhasilannya, maka patut kita ambil pelajaran. Bahwa mereka pun bisa berbuat jenius, meski tanpa proteksi penasehat keuangan Wall Street dan pengacara di London. Larangan mendapatkan dana dari sistem perbankan telah mendorong terbentuknya sistem perusahaan keluarga kolektif (koperasi). Lalu melobi perusahaan Negara untuk mengakibatkan mereka sebagai anak angkat. Lewat perjanjian dengan administrasi perusahaan Negara tersebut, koperasi itu akan membungkus dirinya dengan nama, dokumen-dokumen dan nomor rekening di bank, di mana perusahaan Negara itu tercatat sebagai nasabah utama. Kolaborasi tersamar ini berhasil dengan sukses alasannya yaitu didukung jaminan dari sistem arisan, sehingga bisa memperkuat likuiditas bank.
Langkah ini tidak hanya membuat usaha mereka halal mendapatkan kredit dari bank, tetapi juga membebaskannya dari keharusan membayar pajak. Para petani, melalui sistem pertanian kolektif yang ditetapkan pemerintah juga berhasil mengelabui pemerintah dengan cara yang sama. Tentu cara ini tidak akan berjalan dengan baik tanpa proteksi tidak langsung, baik dari penguasa partai lokal maupun intelektual kaum muda yang tersadarkan oleh ambisi rakyat untuk mandiri. Dukungannya bersifat tidak langsung, alasannya yaitu melawan secara pribadi kekuatan sentra yaitu tidak mungkin. Maka tidak ajaib bila banyak pemimpin usaha kolektif (koperasi) dimotori oleh pejabat partai lokal, gigih menawarkan pendidikan untuk semangat kemandirian. Para perjaka lulusan universitas Zhejiang melalui jadwal kebudayaan, secara belakang layar pergi ke penjuru Cina untuk memasarkan produk dan melobi pedagang Hong Kong untuk menjadi mediator mereka masuk ke pasar internasional.
Keberhasilan Zhejiang telah menyadarkan Pemerintah Pusat. Deng mengakibatkan ini sebagai momentum yang sempurna untuk melaksanakan reformasi ekonomi. Zhejiang pun dijadikan model pembangunan bagi seluruh provinsi. Partai Komunis mulai bersedia memperbaiki kesalahan ideologi radikal pada masa lalu, termasuk kesalahan Mao dan kelompok Empat Maois. Perubahan ini membuktikan kala kepemimpian yang lebih praktis.
Di bawah komando Deng, reformasi ekonomi dipantau dari erat oleh Partai Komunis. Pemberatasan korupsi dilakukan dengan cara mudah dan sistematis sebagai belahan tak terpisahkan dari sistem pengawasan kala reformasi. Hasilnya, hampir 40 ribu industri milik Negara yang tidak efisien telah ditutup. Sejak tahun 1996 hingga dengan 2001 sebanyak 53 juta orang yang bekerja di sektor pemerintahan diberhentikan. Jumlah ini sama dengan seperempat penduduk Indonesia.
Kini provinsi Zhejiang telah bermetamorfosis menjadi kekuatan ekonomi raksasa yang melahap sebagian besar lahan pertanian menjadi sentra industri bagi segala jenis produk. Di provinsi Zhejiang, 90% usaha dan penyedia infrastruktur ibarat tenaga listrik, jalan tol,dan lain-lain, dikelola oleh masyarakat atau swasta. Persentase tertinggi dibanding provinsi Artikel Babo. Dalam perjalanan dari bandara ke sentra kota, terlihat terang iklan aneka macam produk. Mulai dari kamera digital, telepon genggam hingga aneka macam alat permesinan. Semuanya yaitu produk lokal, tapi begitu diminati oleh pedagang besar dari Eropa dan Amerika. Masyarakat Zhejiang dan hampir semua provinsi di Cina telah menjadi momok angker bagi pencinta paham kapitalis wacana teori penguasaan modal. Teori mereka ternyata berhasil dijungkir-balikkan oleh kekuatan sistem komunitas yang bergerak bagaikan roket. Sebuah kekuatan yang hampir tidak bisa ditemukan dalam teori ekonomi kepitalis, yang menempatkan kekuatan konglomerisasi individu sebagai pendorong pertumbuhan.”
Wu tiba-tiba ikut menimpali, “Pertumbuhan ekonomi yang begitu pesat dan pencapaian kemakmuran di semua kota dan desa sangat mengejutkan kami. Tak pernah terbayangkan sebelumnya. Ini bukanlah hasil kerja dari pemerintah pusat. Semua itu lahir dari antusias masyarakat yang sadar untuk memperjuangkan kehormatan keluarga dan negaranya, berdasarkan cara-cara, tradisi dan budaya yang kami yakini. Bukan dengan menjiplak cara Amerika, Eropa atau Negara Artikel Babo.”
Aku terpukau. Benarlah apa kata orang bijak: Belajarlah hingga ke Negeri Cina!
“Sepertinya, kami di Indonesia yang terus menerus dilanda kebingungan, tak ada salahnya mempelajari resep kemajuan Cina. Pun tidak perlu malu untuk mengakibatkan Cina sebagai role model akselerasi pembangunan nasional.”
“Kita akan selalu bersama, tapi bagaimanapun itu tergantung garis politik negeri Anda. Sepertinya mereka masih menganggap komunis yaitu bahaya umat beragama. Padahal kami tidak pernah membenci agama. Kami hanya tidak ingin agama ditunggangi untuk kepentingan golongan. Itu saja,” kata Chang mantab. Obrolan asik kami terhenti ketika tiba-tiba teleponku berdering.
“Pak Jaka!” Terdengar bunyi yang sudah sangat kukenal.
“Ya, John?”
“Maaf, saya terpaksa mundur dari posisi sebagai lawyer Bapak,” bunyi John terdengar berat.
“Mengapa?”
“Aku tidak mengerti, Pak. Segera sesudah seseorang mengancamku, hampir sebagian besar klienku menarik diri. Kelihatannya bahaya dari orang itu benar-benar serius.”
“Apa yang kau maksud dengan ancaman?”
“Seseorang telah mintaku mengundurkan diri dari posisi sebagai lawyer Bapak.”
“Oh?!” Aku mengerutkan kening. “Baiklah, terima kasih.”
“Maaf, Pak Jaka.”
“Tak apa. Tidak ada masalah. Terima kasih.” Aku menundukkan kepala. Seakan tak mempercayai kabar yang gres kuterima. Tiba-tiba semua menjadi begitu kacau dan rumit.
“Ada apa, Jak?” Lien memegang bahuku.
“Lawyerku mengundurkan diri.”
Mereka semua terkejut. Langkah kami rupanya sudah terlacak Group Fidelity. Langkah strategis yang sudah matang di depan mata, dengan gampang dipatahkan group itu. Memang ini bukanlah usaha yang mudah. Group Fidelity tentu sanggup melaksanakan apa saja, termasuk memaksa orang lain untuk menuruti kemauannya.
“Oh, tidak ada masalah. Kita bisa cari lawyer lain, kan?” kata Yu.
“Aku tidak yakin akan ada lawyer lain yang bersedia. Namaku niscaya sudah di black-list oleh asosiasi lawyer.”
Kembali mereka semua terdiam. “Untuk sementara, tampaknya tidak ada yang sanggup kita lakukan,” kataku pasrah.
“Aku ada ide.” Wu berdiri.
“Apa itu?” kataku.
“Kami akan mencabut mandat. Surat pencabutan ini akan kami sampaikan kepada Global Asset Management dan kepada bank yang terkait dengan transaksi ini. Dengan demikian, kami bisa menunjuk lawyer sendiri untuk mendampingimu,” lanjut Wu.
“Posisimu tetap penentu dalam transaksi ini. Kita akan membentuk sebuah Private Investment Company yang terdaftar di Delaware, US sebagai mandataris. Di dalam perusahan itu, kau akan bertindak sebagai chairman,” sambung Lien.
“Tapi sebaiknya, Jaka tidak tercatat dalam kepemilikan saham atau jabatan apapun di perusahaan itu. Mulai dikala ini mereka harus tahu bahwa team kita yang akan bergerak untuk menghadapi mereka secara langsung. Kita tidak bisa terus-terusan bersembunyi di balik layar,” saran Huang berapi-api.
“Baiklah, kalau itu yang kalian mau.” Aku menatap mereka satu persatu, “Kalianlah pemiliknya dan kalian juga yang menentukan.”
“Jaka, kau akan tetap jadi penentu dalam transaksi ini. Karena kau yaitu orang yang terpilih. Kami yakini sepenuhnya, bahwa Anda-lah yang bisa menuntaskan decade asset ini,” kata Lien.
Mereka tersenyum dan mengangguk kepadaku. Sekarang saya sadar, bahwa keberadaanku dalam decade asset ini telah menampakkan posisi yang sebenarnya. Yaitu sebagai pemegang kunci gerbang penguasaan aset dari sebuah sistem yang belum pernah sanggup ditembus.
Aku teringat instruksi yang dulu kucatat dikala melihat harta itu di dalam gudang penyimpanan. Tapi, itu kan hanya di dunia mimpi. Apakah masuk akal berharap kebenaran dari sebuah mimpi untuk menghadapi duduk kasus di dunia nyata?
Tapi pertemuanku dengan orang bau tanah di Hobey, dan foto Darsa yang bersanding erat dengan orang bau tanah itu, telah membuatku yakin. Bahwa instruksi itu berasal dari kekuatan dunia lain. Sebagai orang beragama, harus mempercayai ini. Hal ghaib yaitu hal utama yang harus dipercayai umat islam.
Begitupula dengan team Chang. Walaupun hingga kini mereka tidak mengetahui posisiku sebagai pemilik acces code, namun perilaku mereka yang patuh dengan budaya takdir di balik kata, ‘orang terpilih’, sudah cukup menjadi bukti. Bahwa ada suatu kekuatan yang ada padaku.
Itulah mengapa, saya masih ditempatkan sebagai penentu dari semua upaya yang mereka lakukan untuk menguasai decade asset. Bagaimanapun, saya hanya menentukan mengikuti takdir yang sesungguhnya sudah diatur oleh sang Maha Kuasa.
“Beijing harus mengetahui seni administrasi kita ini,” kata Chang. “Sebaiknya besok kita segera terbang ke Beijing.”
“Tapi tidak akan cepat prosesnya. Beijing sangat birokratis,” sambung Huang.
“Kalau begitu, saya akan kembali ke rumah dan menunggu kabar selanjutnya dari kalian,” kataku.
“Sebaiknya kau tetap di Hong Kong, Jak. Kami akan sediakan kemudahan di sana. Itu lebih kondusif bagimu,” saran Chang.
“Ya. Kupikir, itu juga lebih baik,” kata Lien menimpali.
Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/